Notification

×

Iklan

Iklan

Sikap Tegas Para Ulama Terhadap Pungutan Pajak

Senin | Agustus 18, 2025 WIB | 0 Views
Sikap Tegas Para Ulama Terhadap Pungutan Pajak

Oleh : KH. Ahmad Syahrin Thoriq 

Fikroh.com - Bayangkan sebuah negeri tanpa pajak bulanan, tanpa potongan gaji, dan tanpa beban finansial yang menggerogoti rakyat setiap waktu—namun rakyatnya tetap makmur, jalan raya terpelihara, sekolah gratis, dan rumah sakit berdiri di setiap kota. Itulah potret dunia Islam di masa kejayaannya.

Negara hidup dari sumber pendapatan yang telah diatur oleh syariat: zakat dari kaum muslimin yang mampu, jizyah dan kharaj dari non muslim, serta hasil pengelolaan tanah dan harta milik negara lainnya. Sementara kebutuhan umum rakyat terpenuhi bukan hanya oleh fasilitas yang disediakan oleh negara namun juga berkat semangat yang kuat dari orang-orang kayanya untuk mendermakan harta mereka dalam bentuk waqaf.

Kaum Muslimin di masa lalu memiliki kesadaran yang tinggi untuk turut berpartisipasi dan berkontribusi membangun dalam membangun negeri. Hal yang sangat lumrah di kala itu, orang-orang kaya berlomba dengan negara guna menyediakan pelayanan prima nan gratis untuk masyarakat luas. 

Catatan sejarah menyebutkan bahwa di masa Daulah Islam, kota-kota besar memiliki ratusan lembaga wakaf yang mengurus segala macam kebutuhan masyarakat—dari penyediaan air minum di jalanan hingga beasiswa bagi pelajar miskin. Di Kairo, Damaskus, Baghdad, dan Cordoba, wakaf menjadi nadi peradaban: rakyat berlomba memberi, negara tidak perlu memungut pajak rutin, dan kesejahteraan tetap terjamin.

Dalam atmosfer kemakmuran seperti itu, pungutan pajak kepada rakyat adalah sesuatu yang sangat jarang terjadi, bahkan bisa dianggap sebagai langkah aneh dan kebijakan pemerintah yang hanya mungkin diambil ketika terjadi kondisi darurat luar biasa. Dan dalam sejarah ketika ada penguasa yang mencoba memberlakukannya, para ulama akan bersuara lantang menyatakan penolakannya. 

Sebagian ulama memang pada akhirnya banyak yang melunak karena menerima alasan yang dianggap bisa diterima dari penguasa. Namun tak sedikit yang tetap tegas menolak dan baru menyetujui bila diberlakukannya pajak itu diiringi syarat-syarat yang sangat ketat.

Inilah yang terekam dalam sejarah sebagai sikap tegas yang diambil oleh dua ulama besar kebanggaan kaum Muslimin yakni yang bergelar sultanul Ulama, al Imam Izz Abdussalam dan sang penghidupnya agama, al Imam Nawawi rahimahumallah ketika penguasa di masanya hendak memungut pajak dari rakyat guna membangun angkatan perang yang kuat untuk mengusir musuh yang menyerang kala itu.

Diriwayatkan bahwa ketika sultan Mesir hendak bersiap-siap untuk menghadapi invasi tentara Tartar, ia berkonsultasi dengan al imam Izz Abdussalam kaitannya dengan pesiapan kampanye tersebut. Sultan meminta persetujuan dari alim ulama untuk mengambil pajak dari orang-orang kaya dan para pedagang karena harta negara tidak cukup untuk membiayai perang tersebut.

Sang ulama dengan tegas mengatakan :

إذا أحضرت ما عندك وعند حريمك وأحضر الأمراء ما عندهم من الحلي الحرام وضربته سكة ونقدا وفرقته في الجيش ولم يقم بكفايتهم ذلك الوقت اطلب القرض وأما قبل ذلك فلا

“Jika engkau telah membawa apa yang ada padamu, juga apa yang ada pada istrimu, dan para amir membawa apa yang ada pada mereka berupa perhiasan haram itu, lalu engkau mencetaknya menjadi mata uang dan membagikannya kepada pasukan, namun itu masih belum mencukupi kebutuhan mereka saat itu, maka pinjamlah. Tapi sebelum itu, jangan!'

Mendengar ini terpaksa Sultan dan seluruh menteri dan pejabat lainnya bersegera mengumpulkan harta-harta mereka dan membawa semua yang mereka miliki ke hadapan sang imam. Tidak ada satupun dari para pejabat itu berani sedikitpun untuk menentang fatwanya karena beliau memiliki kedudukan yang agung di hadapan mereka dan wibawa yang sangat tinggi.[1]

Demikian juga di masa al imam Nawawi hidup, saat itu raja yang berkuasa adalah Sultan Adz Dzahir Baybars, sultan yang dikenal adil dan teguh dalam berjihad. 

Pada suatu waktu sang sultan berangkat untuk memerangi Tatar di Syam, ia mengambil fatwa dari para ulama yang menyatakan bahwa boleh baginya mengambil harta dari rakyat untuk membantunya dalam memerangi musuh tersebut. Maka para ahli fiqih Syam menulis fatwa tersebut untuknya, kecuali imam Nawawi yang menolak dengan tegas.

Ketika Sultan memanggilnya dan menanyakan alasannya mengapa tidak mendukung program pengambilan pajak tersebut, sang imam menjawab dengan kalimat yang menohok :

"Aku tahu bahwa dahulu engkau ini hanyalah seorang budak milik orang yang Amir Banduqdar, dan tidak memiliki harta sama sekali. Kemudian Allah memberimu anugerah dan menjadikanmu seorang raja. Aku mendengar bahwa engkau memiliki seribu budak, dan setiap budak memiliki sabuk emas, serta memiliki dua ratus hamba wanita, dan setiap wanita memiliki bagian perhiasan.

Jika engkau telah menghabiskan semua itu, dan para budakmu tinggal mengenakan pakaian kasar sebagai pengganti sabuk emas, dan para wanita tetap memakai pakaian mereka tanpa perhiasan, barulah aku akan memberi fatwa yang membolehkanmu mengambil harta dari rakyat jelata!"[2]

Demikianlah, sikap tegas para ulama seperti al imam Izzuddin dan imam Nawawi yang telah kita tuturkan mungkin akan sulit dipahami dengan baik oleh orang-orang seperti kita yang hidup di zaman di mana aneka pajak merajalela karena pemerintahnya begitu kreatif kalau urusan memalak rakyatnya. Wallahu a’lam.
________
[1] Thabaqat Asy Syafi’iyyah li Subki (8/216)
[2] Husnul Muhadharah (2/105)
×
Berita Terbaru Update