Fikroh.com – Publik kembali dihadapkan pada ironi besar dalam tata kelola negara: jurang yang lebar antara gaji pejabat legislatif dengan penghasilan rata-rata buruh atau pekerja di Indonesia. Data perbandingan gaji anggota parlemen dengan Upah Minimum Regional (UMR) di sejumlah negara memperlihatkan kesenjangan mencolok. Indonesia menempati peringkat teratas dalam rasio gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap pendapatan warganya.
Menurut data perbandingan yang beredar, seorang anggota DPR RI menerima total gaji dan tunjangan sekitar Rp100 juta per bulan. Sementara rata-rata pekerja Indonesia hanya menerima Rp3,7 juta per bulan. Artinya, gaji anggota DPR setara dengan 27 kali lipat UMR rata-rata pekerja. Rasio ini jauh di atas negara-negara maju, bahkan lebih besar dibanding sejumlah negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.
Perbandingan dengan Negara Lain
Mari lihat data pembanding. Di Amerika Serikat, anggota parlemen mendapatkan Rp232 juta per bulan. Angka itu memang besar, tetapi jika dibandingkan dengan rata-rata UMR di sana, yakni Rp64 juta per bulan, rasio gaji pejabat hanya 3,6 kali lipat.
Di Jerman, seorang anggota parlemen menerima Rp176 juta per bulan dengan UMR Rp72 juta. Rasio yang terbentuk hanya 2,4 kali lipat. Begitu pula di Australia, dengan gaji pejabat Rp227 juta dan UMR Rp73 juta, kesenjangan berada pada level 3 kali lipat.
Sementara di kawasan Asia, Singapura mencatat rasio 3,7 kali lipat, Thailand 8 kali lipat, Malaysia 10,5 kali lipat, dan Filipina 13 kali lipat. Angka-angka itu masih jauh lebih kecil dibanding Indonesia yang menyentuh 27 kali lipat.
Jurang Kesenjangan
Perbandingan tersebut membuka mata publik bahwa persoalan bukan semata pada besarnya gaji anggota DPR, melainkan pada rendahnya daya beli masyarakat yang bergantung pada UMR. Kesenjangan yang begitu ekstrem memunculkan pertanyaan mendasar: seberapa jauh wakil rakyat benar-benar memahami kehidupan rakyat yang diwakilinya?
Di negara-negara maju, meski nominal gaji parlemen tinggi, standar hidup warganya juga sebanding. Pekerja bisa mengakses layanan kesehatan, pendidikan, transportasi, hingga hunian layak tanpa harus terjebak dalam kesenjangan struktural. Sementara di Indonesia, gaji fantastis anggota DPR berdiri di atas kenyataan pahit bahwa jutaan buruh masih harus bergulat dengan gaji di bawah standar hidup layak.
Reaksi Publik
Tak heran jika perbandingan ini memicu kritik tajam. Serikat pekerja, akademisi, hingga masyarakat sipil mempertanyakan relevansi gaji DPR yang begitu tinggi di tengah rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat.
“Kalau dilihat dari kinerja legislasi, pengawasan, dan representasi, sulit dibenarkan mengapa gaji DPR harus 27 kali lipat lebih tinggi dari gaji pekerja. Ini menimbulkan kesan bahwa kursi parlemen lebih sebagai arena privilese ketimbang panggilan pengabdian,” ujar seorang pengamat politik dari salah satu universitas negeri di Jakarta.
Selain itu, publik juga menyoroti aspek keadilan sosial. Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa tujuan negara adalah menciptakan kesejahteraan umum. Namun, ketika jurang kesenjangan begitu nyata di antara rakyat dengan wakilnya, wajar jika muncul ketidakpercayaan terhadap institusi politik.
Dampak Terhadap Kepercayaan Publik
Fenomena kesenjangan gaji ini tidak bisa dilepaskan dari krisis kepercayaan publik terhadap DPR. Survei dari berbagai lembaga menunjukkan DPR sering kali berada di jajaran institusi dengan tingkat kepercayaan rendah. Publik menilai DPR lebih sibuk dengan urusan internal dan kepentingan kelompok politik daripada memperjuangkan kepentingan rakyat.
Kesenjangan gaji hanya mempertebal citra negatif tersebut. Di saat buruh menuntut kenaikan UMR beberapa ratus ribu rupiah saja sering ditolak, gaji DPR yang mencapai ratusan juta per bulan nyaris tak tersentuh kritik internal maupun pembahasan serius di parlemen.
Menakar Keadilan
Jika dibandingkan, gaji DPR Indonesia bukan yang terbesar di dunia. Namun, masalah utamanya adalah rasio yang jomplang. Rasio 27 kali lipat ini menunjukkan bahwa ketidakadilan struktural masih menjadi wajah nyata kehidupan berbangsa.
Idealnya, gaji pejabat publik memang harus mencukupi dan layak agar mereka dapat bekerja dengan tenang dan terhindar dari praktik korupsi. Tetapi di sisi lain, disparitas dengan pendapatan warga tidak boleh terlalu lebar, karena itu hanya akan memupuk kecemburuan sosial.
Di Jerman misalnya, dengan rasio 2,4 kali lipat, kesejahteraan pejabat dan rakyat terjaga tanpa menciptakan jurang kesenjangan. Kondisi serupa terlihat di Australia dan Amerika Serikat.
Jalan Reformasi
Kondisi ini memunculkan gagasan perlunya reformasi sistem penggajian pejabat publik di Indonesia. Ada dua langkah yang bisa ditempuh: menaikkan standar kesejahteraan pekerja melalui perbaikan UMR, sekaligus meninjau ulang besaran tunjangan pejabat agar rasio lebih adil.
Selain itu, transparansi anggaran gaji dan tunjangan DPR juga perlu diperkuat. Publik berhak tahu bagaimana uang pajak yang mereka setorkan dikelola, termasuk berapa banyak yang dialokasikan untuk kesejahteraan pejabat negara.
Penutup
Kesenjangan gaji DPR dan UMR di Indonesia adalah cermin dari persoalan mendalam dalam tata kelola negara: ketidakselarasan antara elit dan rakyat. Dengan rasio 27 kali lipat, Indonesia menunjukkan jurang yang paling lebar di antara negara pembanding.
Pertanyaannya sederhana: apakah wakil rakyat masih bisa disebut mewakili rakyat jika kesejahteraan mereka berada di langit, sementara rakyat bertahan di bumi?
Posting Komentar untuk "Perbandingan Gaji DPR vs UMR Warga, Indonesia Tertinggi"