Fikroh.com - Di tengah euforia Hari Kemerdekaan ke-80 pada tahun 2025 ini, kita justru disuguhkan pemandangan memilukan: rakyat yang semakin muak dengan kelakuan para pejabat yang sombong, ugal-ugalan, dan semena-mena. Fenomena ini bukan sekadar gosip media sosial, melainkan gejala sistemik yang telah lama menginfeksi tubuh pemerintahan Indonesia. Sebagai warga negara yang peduli, saya merasa wajib menyuarakan kritik tajam atas perilaku ini, karena jika dibiarkan, ia akan menghancurkan kepercayaan publik dan mengancam stabilitas demokrasi kita. Bagaimana bisa kita bicara tentang "Indonesia Maju" jika para pemimpinnya justru bertindak seperti raja kecil yang tak tersentuh hukum?
Bentuk Arogansi yang Semakin Menjijikkan
Arogansi pejabat Indonesia sering kali tampil dalam bentuk pernyataan kontroversial yang merendahkan rakyat, penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi, dan gaya hidup hedonis yang kontras dengan penderitaan masyarakat. Ambil contoh kasus Bupati Pati Sudewo, yang pada Agustus 2025 memicu amarah warga hingga terjadi kerusuhan, termasuk pembakaran mobil polisi. Warga menuntut mundurnya karena dianggap arogan dan tidak pro-rakyat, yang menunjukkan bagaimana satu pejabat bisa memprovokasi konflik antara aparat dan masyarakat. Pernyataan seperti "kabur sajalah" dari Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer terhadap WNI yang ingin berkarier di luar negeri, atau pelecehan verbal Gus Miftah terhadap pedagang es teh, hanyalah puncak gunung es dari sikap meremehkan ini.
Lebih parah lagi, penyalahgunaan kekuasaan sering berujung pada korupsi dan nepotisme. Pada 2024-2025, kasus jual beli jabatan seperti yang menjerat Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan wakilnya menjadi bukti nyata bagaimana wewenang dimanfaatkan untuk memperkaya diri. Korupsi di sektor pertambangan juga mencuat, dengan kerugian negara mencapai triliunan rupiah, sementara rakyat kecil berjuang dengan pajak yang mencekik dan kesulitan hidup. Ini bukan sekadar kesalahan individu, tapi pola sistematis di mana hukum tampak "tumpul ke atas dan tajam ke bawah". Pejabat yang seharusnya melayani justru bertindak semena-mena, seolah-olah jabatan adalah warisan keluarga atau alat untuk memperkaya kroni.
Akar Penyebab: Budaya Feodal dan Lemahnya Sistem Pengawasan
Mengapa fenomena ini terus berulang? Jawabannya terletak pada akar budaya dan struktural. Pertama, budaya feodal yang masih kuat di masyarakat Indonesia membuat pejabat merasa superior, seperti "raja kecil" yang tak boleh dikritik. Politik transaksional, di mana jabatan diperoleh melalui uang atau koneksi, semakin memperburuk hal ini. Pejabat yang naik karena "bayar mahal" cenderung mengembalikan modal dengan cara korup, bukan melayani rakyat.
Kedua, lemahnya penegakan hukum dan pengawasan menjadi biang keladi. Meski ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), intervensi politik sering kali melemahkan institusi ini. Studi menunjukkan bahwa ketidakmampuan mengendalikan kekuasaan, ditambah tuntutan gaya hidup mewah, mendorong penyalahgunaan wewenang. Di era digital, media sosial seperti X (Twitter) semakin memperlihatkan kemarahan rakyat, dengan tagar seperti #IndonesiaGelap atau postingan yang menyebut "Indonesia Spring" sebagai potensi ledakan sosial jika arogansi ini tak dihentikan.
Ketiga, krisis akhlak di kalangan elit. Banyak pejabat berpendidikan tinggi tapi miskin etika. Pendidikan kita lebih fokus pada gelar daripada pembentukan karakter, sehingga jabatan dilihat sebagai kesempatan untuk "panen" kekayaan, bukan amanah.
Dampak yang Menghancurkan: Dari Hilangnya Kepercayaan hingga Potensi Kerusuhan
Dampak dari arogansi ini tak bisa diremehkan. Secara ekonomi, korupsi dan penyalahgunaan wewenang menyebabkan kerugian negara yang masif, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur. Rakyat miskin semakin termarginalkan, sementara ketimpangan sosial melebar. Secara sosial, fenomena ini menghancurkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, memicu demonstrasi dan bahkan kerusuhan seperti di Pati.
Lebih jauh, ini mengancam stabilitas demokrasi. Jika rakyat terus merasa dikhianati, potensi "Indonesia Spring" – revolusi rakyat seperti Arab Spring – bukan lagi mimpi buruk, tapi kemungkinan nyata. Di tengah tantangan global seperti perubahan iklim dan ketegangan geopolitik, kita butuh pemimpin yang humble dan akuntabel, bukan yang ugal-ugalan.
Saatnya Reformasi: Dari Kritik ke Aksi
Kritik ini bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk membangun. Kita perlu reformasi mendalam: perkuat independensi KPK, terapkan transparansi dalam pengangkatan pejabat, dan dorong pendidikan etika bagi calon pemimpin. Rakyat juga harus aktif: gunakan hak suara dengan bijak, pantau pejabat melalui media sosial, dan tuntut pertanggungjawaban melalui jalur hukum.
Para pejabat, ingatlah: kekuasaan bukan hak abadi, tapi pinjaman dari rakyat. Jika terus sombong dan semena-mena, jangan salahkan jika amarah rakyat meledak. Indonesia pantas punya pemimpin yang melayani, bukan yang menguasai. Mari kita bangun negeri ini dengan integritas, sebelum terlambat!
Sikap Seorang Pejabat Menurut Islam
Dalam Islam, sikap seorang pejabat publik tidak hanya dinilai dari kompetensi teknis, tetapi juga dari akhlak, integritas, dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan, Islam memberikan pedoman jelas tentang bagaimana seorang pejabat harus bersikap, berdasarkan Al-Qur’an, hadis, dan pandangan ulama. Artikel ini menguraikan sikap ideal seorang pejabat menurut Islam secara ilmiah, dengan merujuk pada prinsip-prinsip syariat dan nilai-nilai kepemimpinan Islam.
1. Amanah: Tanggung Jawab sebagai Kepercayaan Ilahi
Dalam Islam, jabatan adalah amanah (kepercayaan) dari Allah SWT yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Al-Qur’an menegaskan pentingnya amanah dalam Surah An-Nisa ayat 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” Ayat ini menunjukkan bahwa seorang pejabat harus menjalankan tugasnya dengan integritas, tidak menyalahgunakan kekuasaan, dan memastikan keadilan bagi semua pihak.
Menurut Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, amanah mencakup tanggung jawab moral untuk menghindari korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang. Pejabat yang mengkhianati amanah dianggap melanggar perjanjian dengan Allah, yang dapat berakibat pada dosa besar dan kerusakan sosial.
2. Keadilan sebagai Inti Kepemimpinan
Keadilan (‘adl) adalah prinsip utama dalam kepemimpinan Islam. Rasulullah SAW bersabda: “Pemimpin yang adil adalah mereka yang berada di bawah naungan Allah pada hari kiamat” (HR. Bukhari dan Muslim). Keadilan dalam konteks ini berarti memperlakukan semua orang secara setara, tanpa memandang status sosial, agama, atau etnis. Seorang pejabat harus menghindari sikap arogansi, diskriminasi, atau favoritisme, yang sering kali menjadi akar konflik sosial.
Ibn Taimiyyah dalam As-Siyasah Asy-Syar’iyyah menegaskan bahwa keadilan adalah fondasi pemerintahan yang stabil. Pejabat yang tidak adil, seperti yang menunjukkan sikap semena-mena atau ugal-ugalan, tidak hanya merugikan rakyat, tetapi juga melemahkan legitimasi kepemimpinannya di mata Allah dan masyarakat.
3. Kesyukuran dan Kerendahan Hati
Islam menekankan pentingnya kesyukuran dan kerendahan hati (tawadhu’) bagi seorang pejabat. Dalam Surah Al-Qasas ayat 83, Allah SWT berfirman: “Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi.” Sikap sombong (takabbur) adalah sifat yang sangat dicela dalam Islam, karena menunjukkan ketidakpatuhan terhadap Allah dan merendahkan martabat manusia lain.
Rasulullah SAW menjadi teladan utama dalam kerendahan hati. Meskipun sebagai pemimpin umat, beliau hidup sederhana, mendengarkan keluhan rakyat, dan tidak pernah memamerkan kekuasaan. Menurut Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sultaniyyah, seorang pejabat harus meneladani Rasulullah dengan bersikap rendah hati, mudah diakses oleh rakyat, dan menghindari gaya hidup mewah yang memicu kecemburuan sosial.
4. Pelayanan kepada Rakyat
Dalam Islam, pejabat bukanlah penguasa, melainkan pelayan (khadim) rakyat. Rasulullah SAW bersabda: “Pemimpin umat adalah pelayan mereka” (HR. Abu Dawud). Prinsip ini menegaskan bahwa jabatan adalah sarana untuk melayani, bukan untuk mencari keuntungan pribadi. Seorang pejabat harus memprioritaskan kesejahteraan rakyat, mendengarkan aspirasi mereka, dan menghindari tindakan yang merugikan, seperti korupsi atau kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat.
Imam Al-Farabi, dalam karyanya tentang negara ideal (Madinah Al-Fadhilah), menyatakan bahwa pemimpin harus memiliki kebijaksanaan (hikmah) untuk menyeimbangkan kepentingan pribadi dan publik, dengan fokus pada kebaikan bersama. Sikap ugal-ugalan, seperti memaksakan kebijakan tanpa musyawarah atau menunjukkan gaya hidup hedonis, bertentangan dengan prinsip ini.
5. Akuntabilitas dan Transparansi
Islam menuntut pejabat untuk akuntabel, baik di hadapan Allah maupun rakyat. Dalam Surah Al-Zalzalah ayat 7-8, Allah SWT menegaskan bahwa setiap perbuatan, sekecil apa pun, akan dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, pejabat harus transparan dalam pengelolaan keuangan negara, pengambilan kebijakan, dan pelaksanaan tugas. Menurut Said Nursi dalam Risale-i Nur, akuntabilitas mencakup kesediaan untuk menerima kritik dan memperbaiki kesalahan, bukan bersikap defensif atau arogan.
6. Menghindari Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan
Korupsi (risywah) dan penyalahgunaan wewenang adalah dosa besar dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang kami berikan jabatan, lalu dia mengambil sesuatu darinya secara tidak sah, maka dia adalah pengkhianat” (HR. Muslim). Ulama seperti Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menegaskan bahwa korupsi merusak tatanan sosial dan melemahkan negara. Pejabat yang terlibat dalam praktik ini tidak hanya melanggar syariat, tetapi juga mengkhianati kepercayaan rakyat.
Kesimpulan
Sikap seorang pejabat menurut Islam harus mencerminkan amanah, keadilan, kerendahan hati, pelayanan, akuntabilitas, dan penghindaran dari korupsi. Al-Qur’an, hadis, dan pandangan ulama seperti Al-Ghazali, Ibn Taimiyyah, dan Al-Mawardi menegaskan bahwa kepemimpinan adalah tanggung jawab ilahi yang harus dijalankan dengan penuh kesadaran moral. Pejabat yang sombong, ugal-ugalan, atau semena-mena tidak hanya melanggar prinsip Islam, tetapi juga merusak kepercayaan publik dan stabilitas sosial. Oleh karena itu, seorang pejabat harus meneladani Rasulullah SAW sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa yang menindas. Dengan menerapkan nilai-nilai ini, pejabat dapat menjadi teladan yang membawa kebaikan bagi umat dan negara.
Posting Komentar