Kriteria Muallaf Yang Berhak Menerima Zakat


Fikroh.com - Pengertian muallaf adalah orang yang dilunakkan hatinya agar mereka tertarik pada agama Islam karena belum keimanan mereka belum mantap, atau untuk menghindari petaka yang mungkin mereka lakukan terhadap kaum Muslimin, atau mengambil keuntungan yang mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Ulama fikih membagi mualaf dalam dua golongan, yaitu Muslim dan kafir

Golongan Muslim yang perlu dilunakkan hatinya dengan harta dari zakat terdiri dari empat kriteria: 

Pertama, golongan yang terdiri dari para tokoh dan pemimpin kaum Muslimin. Mereka mempunyai hubungan erat dengan tokoh-tokoh kafir. Dengan memberikan zakat kepada para tokoh Muslim tadi, diharapkan musuh mereka akan masuk Islam. Contohnya, sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar ra. ketika memberikan zakat kepada Adi bin Hatim dan Zibargan bin Badar, karena kedudukan dan pengaruh mereka berdua di kalangan kaumnya, meskipun keislaman mereka tidak perlu diperdebatkan lagi. 

Kedua, para tokoh kaum Muslimin yang memiliki tingkat keimanan yang lemah tetapi disegani oleh masyarakat mereka. Dengan memberikan zakat kepadanya, diharapkan dapat menambah keyakinannya, menguatkan imannya, dan dapat memberi nasihat kepada rakyatnya agar ikut serta dalam berjihad dan berbagai aktivitas keislaman yang lain. Misalnya, orang-orang yang diberi hadiah dari hasil rampasan (ghanimah) perang Hawazin oleh Rasulullah. Mereka adalah sebagian dari penduduk Mekah yang telah masuk Islam dan dibebaskan oleh Rasulullah. Namun, di antara mereka ada yang masih munafik dan memiliki keimanan yang lemah. Tetapi setelah itu, keimanan mereka semakin kuat. 

Ketiga, kaum Muslimin yang menjaga benteng pertahanan yang berbatasan dengan Negara musuh. Mereka berhak menerima zakat dengan harapan mereka tetap mempertahankan kaum Muslimin dari serangan musuh secara tiba-tiba. Pengarang al-Manar berkata, “Menurut hemat kami, inilah yang disebut dengan al-murabathah. Para ulama fikih memasukkan bagian mereka ke dalam golongan fisabilillah, yang artinya berjuang di jalan Allah. Pada zaman kita sekarang ini, ada golongan yang lebih layak untuk dijinakkan hatinya agar tetap mempertahankan agama Islam, yaitu sekelompok kaum Muslimin yang dibujuk oleh orang-orang kafir supaya bernaung di bawah perlindungan atau masuk agama mereka. 

Kita melihat Negara-Negara penjajah yang berhasrat memperbudak sekaligus menjajah seluruh umat Islam dan menyelewengkan mereka dari agama mereka telah mempersiapkan dana dari anggaran keuangan Negara untuk menghancurkan golongan muallaf yang baru saja memeluk Islam. Ada di antara kaum Muslimin yang dibujuk supaya memeluk agama Nasrani dan keluar dari Islam. Ada pula yang dirayu supaya bergabung bersama mereka untuk memecah belah Negara dan kesatuan Islam. Bukankah kaum Muslimin zaman sekarang lebih layak memperhatikan permasalahan seperti ini agar mereka selamat dari godaan orang-orang kafir? 

Keempat, kelompok kaum Muslimin yang ditugaskan untuk mengambil zakat dari orang-orang yang enggan menyerahkannya, kecuali dengan pengaruh dan wibawa mereka. Maka, untuk menghindari peperangan dan kekerasan, kelompok kaum Muslimin tersebut dibujuk supaya dapat membantu pemerintah dalam soal pemungutan zakat. Dengan cara demikian, bahaya yang lebih besar yaitu peperangan, dapat dielakkan dengan melakukan alternatif yang lebih ringan dan mengutamakan kemaslahatan dengan memberikan mereka bagian zakat. 

Orang kafir yang perlu dilunakkan hatinya dengan harta zakat terdiri dari dua golongan, yaitu: 

Pertama, orang yang bisa dibarapkan memeluk Islam dengan perantara pemberian zakat, sebagaimana yang pernah terjadi pada Shafwan bin Umayyah yang telah diberi jaminan keamanan oleh Rasulullah ketika penaklukan Mekah dan diberi tempo selama empat bulan untuk berpikir dan menentukan pilihan sendiri. Setelah itu, dia pergi dan begitu kembali dia ikut serta dalam perang Hunain bersama kaum Muslimin, sebelum menyatakan keislamannya. Ketika hendak pergi ke Hunain, Rasulullah sempat meminjam senjata darinya dan beliau memberinya unta dalam jumlah yang cukup banyak lengkap dengan bawaannya yang berada di suatu lembah. Shafwan bin Umayyah pun berkata, ini adalah pemberian dari orang yang tidak pernah takut terhadap kemiskinan. 

Dia juga berkata, demi Allah, Rasulullah telah memberiku harta yang sangat banyak, padahal beliau adalah orang yang paling aku benci. Tetapi beliau terus memberiku hingga akhirnya dia menjadi orang yang paling aku cintai. 
Kedua, orang yang dikhawatirkan akan berbuat jahat hingga dengan memberikan zakat kepadanya kekhawatiran tersebut dapat dihindarkan. Ibnu Abbas ra. berkata, “Sejumlah orang datang menemui Rasulullah. Jika diberi hadiah, mereka memuji agama Islam dengan berkata, inilah agama yang baik. Namun jika tidak diberi hadiah, mereka mencela dan mencaci Islam. Di antara mereka yang berhati busuk seperti ini adalah Abu Sufyan bin Harb, Aqra bin Habis, dan Uyainah bin Hishn. Rasulullah memberi hadiah kepada masing-masing sebanyak seratus ekor unta. 

Mazhab Hanafi berpendapat, bagian muallaf telah digugurkan seiring dengan kemenangan agama Allah di muka bumi ini. Uyainah bin Hishn, Aqra bin Habis, dan Abbas bin Mirdas pernah datang kepada Abu Bakar dan menuntut bagian mereka. Abu Bakar menulis surat persetujuan dan mereka akhirnya membawanya kepada Umar. Tetapi Umar menolak dan merobek surat tersebut dan berkata, “Ini adalah pemberian dari Rasulullah untuk memikat kalian supaya memeluk Islam. Tetapi, sekarang Allah telah menguatkan Islam dan tidak membutuhkan kalian lagi. Jika kalian tetap dalam keislaman, maka itulah yang terbaik. Tetapi jika tidak, pedanglah yang akan berbicara dalam permasalahan yang terjadi di antara kita. Allah berfirman, 

Dan katakanlah, “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaknya dia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah dia kafir.” (Al-Kahfi: 29)

Akhirnya, mereka kembali menghadap Abu Bakar ra. dan berkata, siapakah sebetulnya yang menjadi khalifah, engkau atau Umar? Engkau tadi memberi selembar surat kepada kami, namun Umar merobeknya. Abu Bakar menjawab, terserah dia. Jika dia menyetujuinya, hal itu adalah urusannya. Jika dia menolak, maka terserah saja. Mereka berkata, ternyata Abu Bakar menyetujui Umar dan tidak seorang pun di antara sahabat yang menyangkalnya, sebagaimana tidak ada berita yang mengatakan bahwa Utsman dan Ali memberikan zakat kepada golongan ini. 

Kebijakan Umar tersebut mempunyai alasan tersendiri yang merupakan hasil ijtihad Umar. Menurutnya, tidak ada gunanya memberikan zakat kepada mereka setelah Islam mendapat kekuatan, hingga tidak ada kekhawatiran bahwa mereka akan kembali murtad. 
Keterangan yang menegaskan bahwa Utsman dan Ali tidak pernah memberikan zakat kepada golongan ini, tidak dapat dijadikan sebagai alasan bahwa mereka telah menggugurkan bagian zakat yang seharusnya diterima oleh golongan muallaf. Mungkin saja hal itu disebabkan tidak diperlukan lagi untuk memikat orang kafir saat itu. Hal ini tidak berarti gugurnya zakat bagi kepala pemerintahan yang masih membutuhkan pembagian zakat untuk golongan muallaf. Apalagi yang menjadi pedoman dalam masalah ini adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya merupakan landasan utama yang tidak dapat diabaikan walau dalam keadaan apa pun. 

Imam Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah tidak pernah menolak satu permintaan pun yang diajukan kepada dirinya demi kepentingan Islam. Suatu hari, seorang laki-laki menemui beliau dan mengajukan permohonan. Beliau memberikan domba dalam jumlah yang cukup banyak, yakni domba-domba hasil pungutan zakat. Orang itu akhirnya pulang menuju kaumnya dan berkata, wahai kaumku, masuklah Islam. Sesungguhnya Muhammad telah memberi hadiah sedemikian banyak, sebagai pemberian orang yang tidak takut terhadap kemiskinan.' 

Syaukani berkata, “Ulama yang berpendapat bahwa bagian muallaf masih tetap berlaku adalah Itrah, Jubai, Balkhi, dan Ibnu Mubasysyir.” Syafi'i berkata, “Hal ini tidak berlaku lagi bagi orang kafir, namun orang fasik masih diperbolehkan menerima zakat.” 

Abu Hanifah dan para penganut mazhabnya berkata, “Bagian muallaf telah digugurkan seiring dengan tersebarnya ajaran agama Islam.” Mereka berlandaskan pada sikap Abu Bakar yang enggan memberikan zakat kepada Abu Sufyan, Uyainah, Aqra, dan Abbas bin Mirdas. Pendapat yang paling kuat adalah, bagian zakat untuk golongan muallaf masih berlaku saat terdapat kebutuhan yang mendesak. Seandainya seorang kepala Negara menemukan satu golongan yang tidak tunduk pada pemerintahan Islam, kecuali dengan cara memberikan kepada mereka harta duniawi, sedangkan kepala Negara tidak mampu menaklukkannya, kecuali dengan cara peperangan dan kalah, maka dibolehkan memberi zakat kepada mereka. Meskipun tersebarnya Islam tidak ada kaitannya dengan pengaruh tertentu seperti dalam kasus seperti ini. 

Dalam kitab al-Manar dinyatakan, “Inilah pendapat yang benar yang dalam pelaksanaannya ijtihad seharusnya memainkan peranan seperti terkait masih berlakunya hak muallaf, jumlah zakat yang diperlukan, pembagian harta rampasan, dan demikian juga dengan kemaslahatan dana-dana sosial yang lain. Adapun yang perlu diperhatikan di sini adalah mengikuti pertimbangan orang-orang yang layak terlibat dalam musyawarah, sebagaimana yang telah dilakukan para khalifah berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiah. Adapun pendapat yang menyatakan ketidakmampuan pemerintah untuk menaklukkan gerakan separatis dengan cara kekerasan sebagai syarat untuk membolehkan pemberian zakat kepada mereka, perlu dikaji ulang, karena hal ini tidak dapat dipastikan. Sebab, landasan utama dalam masalah ini harus mengutamakan bahaya yang lebih ringan, jika terpaksa memilih dari sekian banyak bahaya serta merupakan jalan yang terbaik jika berhadapan dengan sekian kemaslahatan yang ada.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama