Kisah Tragis Raya: Balita Sukabumi yang Tubuhnya Dipenuhi Cacing


Fikroh.com - Sebuah kabar duka mengguncang hati banyak orang ketika seorang balita bernama Raya, bocah mungil berusia empat tahun, harus meregang nyawa dalam kondisi yang memilukan. Tubuh kecilnya dipenuhi ribuan cacing yang merayap hingga ke otak, seolah-olah hidupnya direnggut secara perlahan oleh kemiskinan, lingkungan tak layak, dan keterbatasan akses kesehatan. Kematian Raya bukan sekadar kisah tragis seorang anak desa, melainkan potret buram tentang nasib anak-anak tak beridentitas yang terpinggirkan dari perhatian negara.

Awal Kisah di Desa Cianaga

Di sebuah desa kecil bernama Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, hidup seorang balita mungil bernama Raya. Usianya baru empat tahun, tetapi perjalanan hidupnya begitu singkat sekaligus memilukan. Di balik wajah polosnya, tersimpan derita panjang yang mungkin tak semestinya dipikul seorang anak sekecil itu.

Raya lahir dari pasangan sederhana, Udin (32) dan Endah (38). Sang ayah dalam kondisi sakit-sakitan, sementara sang ibu mengalami keterbatasan mental. Keluarga ini tinggal di sebuah rumah bilik sederhana. Namun rumah itu bukanlah tempat yang sehat untuk ditinggali. Bagian bawahnya dijadikan kandang ayam yang penuh kotoran, bau menyengat, dan kelembapan yang memicu penyakit.

Tak ada yang menyangka, dari sanalah sumber malapetaka itu bermula—cacing gelang yang kemudian merayap dan berkembang biak dalam tubuh mungil Raya.

Pertolongan yang Terlambat

Tanggal 12 Juli 2025, Raya jatuh sakit. Tubuhnya lemas, matanya kosong, dan ia tak lagi bisa menyuarakan keluhan. Keesokan harinya, tim pegiat sosial yang dipimpin oleh seorang perempuan bernama Iin mendengar kabar tentang kondisi balita malang itu. Mereka bergegas menjemput Raya, dan membawanya ke rumah sakit pada malam hari.

Namun masalah lain muncul. Raya tak memiliki identitas resmi. Tidak ada akta kelahiran, tidak ada Kartu Keluarga, bahkan tidak terdaftar di BPJS Kesehatan. Bagi sistem, seakan-akan Raya tidak pernah ada.

Ketika nyawa balita ini dipertaruhkan, birokrasi menjadi penghalang. Iin dan timnya berusaha keras meminta bantuan ke dinas sosial hingga dinas kesehatan, tetapi semuanya nihil. Akhirnya, mereka harus menanggung biaya perawatan sendiri yang membengkak hingga 23 juta rupiah.

Tubuh Kecil yang Dipenuhi Cacing

Dalam masa perawatan, tragedi yang lebih mengejutkan terjadi. Dari tubuh mungil Raya, cacing gelang keluar satu per satu. Dari hidungnya, seekor cacing hidup sepanjang 15 cm tiba-tiba menjulur. Dari kemaluan hingga anusnya, ratusan cacing keluar, seolah-olah tubuh kecil itu telah menjadi sarang mereka.

Para tenaga medis berupaya keras mengeluarkan semua parasit yang bersarang di dalam tubuhnya. Dalam hitungan hari, hampir 1 kilogram cacing telah berhasil dikeluarkan. Namun penderitaan Raya belum berhenti di situ.

Hasil CT Scan menunjukkan kenyataan yang lebih mengerikan: telur dan cacing telah menyebar hingga ke otaknya. Tak ada obat yang bisa sepenuhnya menyelamatkan, karena infeksi itu sudah menjalar begitu jauh.

Perjuangan yang Sia-Sia

Selama sembilan hari dirawat di rumah sakit, Raya berjuang melawan rasa sakit yang tak terbayangkan. Tubuh kecilnya dipenuhi selang, napasnya tersengal, dan matanya hanya sesekali terbuka. Di sampingnya, sang ayah yang sakit-sakitan tak kuasa menahan tangis. Sang ibu, dengan segala keterbatasannya, hanya bisa duduk termenung tanpa benar-benar mengerti betapa besar penderitaan yang dialami anaknya.

Tim pegiat sosial Iin terus mendampingi. Mereka yang bukan siapa-siapa bagi Raya justru menjadi keluarga yang berusaha sekuat tenaga menolongnya. Namun mereka pun tahu, harapan itu semakin menipis seiring berjalannya waktu.

Dan benar saja, pada 22 Juli 2025, tepat sembilan hari setelah dirawat, Raya menghembuskan napas terakhirnya.

Luka yang Tertinggal

Kematian Raya meninggalkan luka mendalam, bukan hanya bagi keluarga kecilnya, tetapi juga bagi masyarakat sekitar dan siapa pun yang mendengar kisahnya. Bagaimana mungkin seorang anak berusia empat tahun meninggal dengan cara yang begitu memilukan—tubuhnya dipenuhi cacing, otaknya diinvasi parasit, dan hidupnya tak terlindungi oleh sistem?

Raya hanyalah satu dari sekian banyak potret buram anak-anak Indonesia yang tumbuh dalam kemiskinan ekstrem. Di desa-desa terpencil, masih banyak keluarga yang tidak memiliki identitas resmi, tidak terjangkau layanan kesehatan, dan hidup di lingkungan yang tidak layak.

Sebuah Cermin Bagi Bangsa

Kisah tragis ini seharusnya menjadi cermin bagi bangsa. Kita boleh berbangga dengan pembangunan kota, jalan tol, dan gedung-gedung megah. Namun di sisi lain, masih ada anak-anak seperti Raya yang tak tersentuh perhatian negara.

Kematian Raya menyuarakan sebuah pertanyaan tajam: Apakah pembangunan sudah benar-benar menyentuh yang paling membutuhkan?

Kita tidak bisa hanya menyalahkan keadaan, karena realita ini menuntut aksi nyata. Kesehatan lingkungan, sanitasi yang layak, program gizi anak, hingga kemudahan akses administrasi kependudukan adalah hal-hal mendesak yang tak bisa ditunda.

Warisan Kisah Raya

Raya memang telah tiada, tetapi kisahnya tidak boleh terkubur begitu saja. Ia menjadi simbol perjuangan anak-anak miskin yang terpinggirkan. Tubuh kecilnya yang dipenuhi cacing adalah gambaran nyata tentang rapuhnya sistem yang seharusnya melindungi generasi penerus bangsa.

Lebih dari itu, kisah ini juga menyadarkan kita akan pentingnya kepedulian sosial. Tanpa kehadiran Iin dan tim pegiat sosialnya, mungkin penderitaan Raya tak pernah terungkap ke publik. Mereka adalah bukti bahwa secercah kemanusiaan masih hidup di tengah masyarakat.

Penutup

Kisah Raya dari Sukabumi adalah sebuah narasi pilu tentang ketidakadilan, kemiskinan, dan kelalaian. Balita itu meninggalkan dunia dengan cara yang tidak pantas untuk usianya—tubuhnya digerogoti cacing, suaranya terkubur dalam diam, dan hidupnya berakhir sebelum sempat berkembang.

Namun dari tragedi inilah, kita seharusnya belajar. Bahwa setiap anak berhak hidup sehat, berhak memiliki identitas, dan berhak mendapat perlindungan. Jangan sampai ada lagi “Raya-Raya” lain yang meninggal dalam sunyi, hanya karena lahir di keluarga miskin dan terpinggirkan.

Raya telah pergi, tetapi kisahnya adalah suara kecil yang menggema. Sebuah seruan agar bangsa ini tidak lagi menutup mata terhadap penderitaan anak-anak di pelosok negeri. Karena sejatinya, masa depan bangsa ada pada mereka. Dan kehilangan satu nyawa kecil seperti Raya, berarti kehilangan harapan yang tak ternilai.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama