Israel Perkirakan 100 Tentara Tewas Jika Serang Kota Gaza

Fikroh.com - Israel, entitas penjajah yang selama puluhan tahun membanggakan diri sebagai kekuatan militer paling tangguh di Timur Tengah, kini menghadapi krisis internal yang serius. Perang yang berlangsung di Gaza tidak hanya mengguncang dari sisi militer, tetapi juga merobek fondasi moral dan semangat tentaranya. Fakta terbaru menunjukkan bahwa tentara Israel semakin kehilangan arah, kepercayaan, dan keberanian untuk melanjutkan perang brutal yang mereka ciptakan sendiri.


Survei Mengejutkan: Tentara Israel Kehilangan Kepercayaan pada Pemerintah

Sebuah survei yang dirilis oleh Hebrew University menjadi bukti nyata keretakan tersebut. Hasil survei itu menunjukkan bahwa 47 persen tentara aktif Israel merasa kecewa dan muak terhadap pemerintah. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan gambaran nyata kekecewaan mendalam akibat kegagalan strategi militer serta kebuntuan politik dalam menghadapi pejuang Gaza.

Kekecewaan itu kian membesar ketika pemerintah Israel gagal mengatur strategi yang efektif untuk menghadapi perlawanan Palestina dan bahkan tidak mampu menuntaskan negosiasi pembebasan sandera. Hal ini membuat barisan tentara semakin ragu terhadap kepemimpinan politik yang justru menjadikan mereka korban dari ambisi pribadi penguasa.


Cadangan Militer yang Enggan Kembali ke Medan Perang

Jika tentara aktif saja sudah gamang, kondisi pasukan cadangan Israel jauh lebih parah. Laporan dari media Zionis Yedioth Ahronoth mengungkapkan bahwa hanya 30 persen tentara cadangan yang bersedia kembali bertugas di medan perang. Angka ini mencerminkan kehancuran moral yang begitu dalam.

Padahal, sejak Operasi Taufan Al Aqsha, Israel telah mengerahkan sekitar 360.000 tentara cadangan, mobilisasi terbesar sejak Perang Yom Kippur 1973. Namun kini, semangat nasionalisme yang dulu diagung-agungkan tinggal cerita. Banyak di antara mereka justru memilih mundur dan bergabung dalam aksi mogok nasional, menuntut pemerintah segera menghentikan perang.


Gelombang Protes dari Tentara Sendiri

Keretakan di tubuh militer Israel juga terlihat dari keterlibatan sejumlah tentara cadangan dalam aksi mogok nasional pada Ahad, 17 Agustus. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk solidaritas kepada keluarga sandera yang menuntut Benjamin Netanyahu segera menandatangani kesepakatan damai dengan Hamas.

Salah satunya adalah Roni Zehavi, mantan pilot cadangan yang telah bertugas lebih dari 200 hari. Ia memilih mundur setelah gencatan senjata terakhir gagal. Dalam wawancara dengan Reuters, Zehavi menegaskan:

“Perang ini sepenuhnya bersifat politik. Tidak ada tujuan lain selain mempertahankan posisi Netanyahu sebagai perdana menteri. Ia rela mengorbankan sandera, tentara, bahkan warga sipil demi kekuasaan.”

Pernyataan tersebut menambah bukti bahwa perang Israel di Gaza lebih bernuansa politik kekuasaan dibanding strategi pertahanan nasional.


Kesaksian Kelam dari Prajurit dan Medis Tempur

Selain aksi terbuka para tentara cadangan, suara lirih juga datang dari barisan medis tempur Israel. Salah seorang petugas medis mengaku dihantui oleh perannya dalam operasi militer yang penuh darah:

“Saya tidak ingin menjadi bagian dari sistem yang tahu bahwa akan membunuh para sandera. Hal itu menghantui saya setiap malam.”

Kesaksian semacam ini mengungkap sisi gelap militer Israel yang selama ini tertutup rapat. Tentara yang seharusnya menjadi simbol kekuatan justru runtuh secara psikologis karena beban moral yang tak tertahankan.


Perhitungan Peti Mati: Pengakuan Jenderal Israel

Krisis moral ini semakin terang ketika Kepala Staf Umum Israel, Eyal Zamir, secara terbuka mengakui dalam sebuah rapat strategis bahwa sekitar 100 tentara Israel diperkirakan akan tewas jika dilakukan serangan darat ke Gaza City.

Pernyataan ini menunjukkan betapa rapuhnya perencanaan militer Israel. Alih-alih menyiapkan strategi kemenangan, mereka justru sibuk menghitung jumlah peti mati. Situasi ini menampar keras klaim Israel sebagai militer modern yang digdaya di kawasan.


Retaknya Rezim Penjajah Israel

Semua fakta di atas membuktikan bahwa Israel kini tidak hanya menghadapi perlawanan sengit dari para pejuang Palestina, tetapi juga sedang dihantam gelombang kehancuran dari dalam tubuh militernya sendiri. Krisis kepercayaan, kelelahan moral, dan runtuhnya nasionalisme menjadi bukti nyata bahwa mitos keperkasaan militer Israel perlahan runtuh.

Rezim kolonial modern yang selama ini membungkus kekejaman dengan propaganda kini tak mampu lagi menyembunyikan retakan internal yang kian melebar. Semakin lama perang ini berlanjut, semakin terlihat wajah asli Israel: sebuah negara penjajah yang rapuh, kehilangan arah, dan sibuk mempertahankan kekuasaan politik daripada menyelamatkan rakyatnya sendiri.


Kesimpulan

Israel yang selama ini dikenal sebagai kekuatan militer superior di Timur Tengah kini tengah menghadapi krisis moral dan kepercayaan internal yang serius. Dari survei yang menunjukkan hampir separuh tentaranya muak terhadap pemerintah, minimnya kesediaan pasukan cadangan untuk kembali berperang, hingga pengakuan terbuka jenderal mereka tentang potensi besar jumlah korban, semuanya menjadi bukti nyata kehancuran itu.

Bagi dunia, fakta ini membuka mata bahwa perlawanan Palestina bukan hanya berhasil mengguncang militer Israel dari luar, tetapi juga telah menggerogoti kekuatan mereka dari dalam. Seiring waktu, semakin jelas bahwa kekuatan sejati tidak hanya ditentukan oleh jumlah senjata, tetapi juga oleh keyakinan, moral, dan legitimasi perjuangan.

Israel mungkin masih memiliki teknologi canggih, tetapi tanpa moral dan kepercayaan diri tentaranya, mereka hanyalah raksasa yang rapuh.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama