Hukum Bersuci Menggunakan Air Kemasan
Fikroh.com - Air minum dalam kemasan saat ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Produk seperti AQUA dan merek lainnya tidak hanya digunakan untuk minum, tetapi dalam situasi tertentu juga dimanfaatkan untuk bersuci, misalnya untuk wudu atau istinja. Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah bersuci dengan air kemasan diperbolehkan?
Secara hukum, air mineral kemasan seperti AQUA dan sejenisnya tergolong suci dan mensucikan. Air ini termasuk kategori air mutlak, yaitu air yang dapat digunakan baik untuk minum maupun bersuci. Meskipun dalam proses pengolahannya mungkin ditambahkan bahan tertentu, jumlahnya sangat sedikit dan tidak mengubah status air tersebut sebagai air mutlak. Perubahan pada warna, rasa, atau bau akibat proses tersebut pun tergolong ringan, sehingga tidak mempengaruhi kemampuannya untuk bersuci.
Imam Al-Bajuri dalam kitab Hasyiyatul Bajuri menjelaskan:
“Jika campuran tidak menghilangkan kemutlakan nama ‘air’, seperti hanya terjadi sedikit perubahan karena bercampur dengan benda suci lain atau zat yang sifatnya menyerupai air, dan campuran itu tidak merubah sifat-sifat utama air, maka statusnya tetap sebagai air yang mensucikan.”
Dalam kajian fikih, air dibagi menjadi tiga jenis:
-
Air Mutlak
Air yang tidak berubah warna, rasa, atau bau, atau perubahannya sangat sedikit. Air mutlak dihukumi suci dan mensucikan. Contohnya adalah air mineral kemasan seperti AQUA. Air jenis ini boleh digunakan untuk wudu, mandi wajib, maupun istinja. -
Air Musta’mal
Air yang sudah digunakan untuk bersuci wajib atau tercampur bahan suci hingga mengubah warna, rasa, atau baunya. Contohnya air bekas wudu, air teh, atau air pacar. Hukumnya suci, tetapi tidak boleh digunakan kembali untuk bersuci. -
Air Mutanajjis
Air yang terkena atau bercampur dengan najis. Hukumnya najis, sehingga tidak boleh diminum maupun dipakai untuk bersuci.
Air yang Tercampur Najis Namun Tidak Berubah Sifatnya
Para ulama membedakan hukum air yang terkena najis berdasarkan perubahan sifat-sifatnya. Air memiliki tiga sifat utama: warna, rasa, dan bau. Jika salah satu dari sifat ini berubah akibat najis, maka air tersebut dihukumi najis dan tidak boleh digunakan untuk bersuci atau diminum.
Namun, jika air terkena najis tanpa mengubah sifat-sifatnya, para ulama sepakat bahwa air tersebut tetap suci. Hal ini didasarkan pada kaidah yang diambil dari hadits sumur Budha’ah. Jumlah atau volume air yang besar membuat najis yang masuk menjadi tidak berpengaruh, sehingga tidak menghilangkan status sucinya.
Dalam praktiknya, ulama membedakan dua kondisi:
-
Air Banyak (Lebih dari Dua Qullah)
Jika air berjumlah banyak—dalam ukuran fikih disebut lebih dari dua qullah—maka najis yang jatuh ke dalamnya tidak mempengaruhi kesuciannya selama sifat air tidak berubah. -
Air Sedikit (Kurang dari Dua Qullah)
Untuk air yang jumlahnya sedikit, sebagian ulama mengatakan bahwa najis yang jatuh ke dalamnya membuatnya menjadi najis meskipun sifatnya tidak berubah. Namun, pendapat yang lebih kuat (rajih) menyatakan air tetap suci selama tidak ada perubahan sifat, sebagaimana hadits sumur Budha’ah.
Air yang terkena najis namun tidak mengalami perubahan pada warna, rasa, atau bau, hukumnya tetap suci dan boleh digunakan untuk bersuci. Dalil dan penjelasan ini menjadi pedoman dalam banyak kasus, seperti air sungai, sumur, atau kolam yang terkena sedikit kotoran tetapi memiliki volume besar sehingga tidak terpengaruh.
Dengan demikian, bersuci menggunakan air mineral kemasan hukumnya boleh, selama air tersebut tetap memenuhi kriteria air mutlak dan tidak tercampur najis atau bahan yang mengubah sifat-sifat utamanya.
