Fikroh.com - Dalam ajaran Islam, peran guru tidak dapat dipisahkan dari sosok yang memiliki keimanan dan keilmuan tinggi, yang menjadi penerang jalan kebaikan bagi umat manusia. Guru ibarat lentera yang menerangi kegelapan, menjadi tiang penyangga kemajuan sebuah bangsa. Tanpa perjuangan dan pengorbanan mereka, sulit membayangkan bagaimana peradaban dan ilmu pengetahuan dapat mencapai puncak kejayaannya. Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW secara konsisten menegaskan betapa mulianya profesi guru dan tingginya kedudukan mereka di sisi Allah SWT.
Salah satu ayat Al-Qur’an yang menegaskan hal ini terdapat dalam Surah Al-Mujadalah ayat 11, yang berbunyi,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Ayat ini, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud, menunjukkan pujian Allah terhadap orang-orang yang berilmu. Menurut tafsir Imam Al-Qurthubi, derajat seseorang di sisi Allah diangkat melalui dua hal utama: keimanan dan keilmuan. Penyebutan “iman” dan “ilmu” dalam ayat ini mencerminkan bahwa seorang guru memiliki visi mulia untuk menyebarkan kebaikan kepada umat manusia, sebuah tugas yang sangat agung.
Hal ini diperkuat oleh sabda Rasulullah SAW dalam hadis riwayat At-Tirmidzi:
“Sesungguhnya Allah, para malaikat, dan seluruh makhluk di langit dan bumi, hingga semute di sarangnya dan ikan di lautan, mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.”
Hadis ini menegaskan betapa istimewanya peran guru, yang tidak hanya mendapatkan doa dari manusia, tetapi juga dari seluruh makhluk ciptaan Allah. Abdullah bin Mubarak bahkan menyatakan bahwa tidak ada kedudukan yang lebih mulia setelah kenabian selain menyebarkan ilmu agama.
Hadis lain yang sejalan dengan hal ini berasal dari Abu Darda’, yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Orang yang memahami ilmu agama dan mengajarkannya akan senantiasa dimintakan ampunan oleh seluruh makhluk di langit dan bumi, termasuk ikan-ikan di lautan” (HR. Abu Daud).
Hadis ini menegaskan bahwa kebaikan yang disebarkan oleh seorang guru tidak hanya berdampak di dunia, tetapi juga mendatangkan rahmat dan ampunan di sisi Allah.
Keistimewaan guru juga tercermin dalam firman Allah dalam Surah Az-Zumar ayat 9:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ ٩
“Katakanlah, Apakah sama orang-orang yang mengetahui (hak-hak Allah) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (hak-hak Allah)?” Sesungguhnya hanya ululalbab (orang yang berakal sehat) yang dapat menerima pelajaran."
Ayat ini dengan tegas menolak persamaan antara mereka yang memiliki ilmu dan yang tidak. Menurut Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, kemuliaan seorang guru bergantung pada keikhlasan niatnya dalam menjalankan tugas mulia ini. Allah menjanjikan peningkatan derajat baik di dunia maupun di akhirat bagi mereka yang mengajarkan ilmu dengan tulus, sebuah bentuk kemuliaan yang tak tertandingi.
Al-Qur’an juga mendorong umat manusia untuk terus mengejar ilmu dan memperdalam pengetahuan. Ilmu merupakan pilar keimanan; semakin bertambah ilmu seseorang, semakin kokoh pula keimanannya. Dalam Surah Ali Imran ayat 18, Allah berfirman,
شَهِدَ اللّٰهُ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۙ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ وَاُولُوا الْعِلْمِ قَاۤىِٕمًا ۢ بِالْقِسْطِۗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ ١٨
“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia, demikian pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu yang menegakkan keadilan.”
Ayat ini menunjukkan keistimewaan para ulama, karena kesaksian mereka akan keesaan Allah disejajarkan dengan kesaksian Allah dan para malaikat. Menurut tafsir Ibnu Katsir, hal ini menegaskan kedudukan istimewa para ulama dalam pandangan Allah.
Selain itu, Al-Qur’an juga memberikan teladan tentang bagaimana seharusnya seorang murid bersikap terhadap gurunya. Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Surah Al-Kahfi ayat 66 menggambarkan adab yang luhur dalam menuntut ilmu. Musa dengan penuh kerendahan hati bertanya kepada Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan ilmu yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?” Ibnul Jauzi menjelaskan bahwa permintaan Musa ini mencerminkan adab yang tinggi, sekaligus menunjukkan pentingnya tawadu’ dan kesediaan belajar, bahkan kepada seseorang yang mungkin memiliki kedudukan lebih rendah, demi meraih kemuliaan ilmu.
Kisah para sahabat Nabi juga menjadi teladan nyata dalam memuliakan guru. Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan, ketika Rasulullah SAW datang dan duduk di hadapan para sahabat di masjid, mereka begitu menghormatinya sehingga tidak ada satu pun yang berbicara, seolah-olah ada burung di atas kepala mereka (HR. Bukhari). Ini adalah gambaran adab yang luar biasa dari para murid terhadap guru mereka. Begitu pula dengan Ibnu Abbas, yang rela menuntun tali kendaraan Zaid bin Tsabit sambil berkata, “Beginilah kami diperintahkan untuk memuliakan para ulama.” Ar-Rabi’ bin Sulaiman juga mengisahkan bahwa ia merasa segan bahkan untuk minum air di hadapan Imam Syafi’i karena rasa hormatnya yang begitu besar. Imam Syafi’i sendiri pernah bercerita bahwa ia membolak-balik kertas dengan sangat pelan di hadapan gurunya, Imam Malik, agar tidak mengganggu sang guru, menunjukkan betapa tingginya adab seorang murid terhadap gurunya.
Syair Ahmad Syauqi dengan indah menggambarkan kemuliaan guru:
Sambutlah sang guru, dan berikan penghormatan untuknya,Hampir saja seorang guru menjadi seorang Rasul.
Ia menegaskan bahwa tidak ada profesi yang lebih mulia daripada mereka yang membentuk jiwa dan akal manusia. Umar bin Khattab juga berpesan, “Tawadu’lah kepada orang yang telah mengajarkan kalian.” Tawadu’, kesantunan, dan kerendahan hati adalah kunci untuk memperoleh ilmu, sebagaimana diungkapkan dalam sebuah syair: “Ilmu tidak akan diperoleh oleh orang yang sombong, sebagaimana air tidak akan mengalir ke tempat yang lebih tinggi.”
Dalam hadis-hadis Nabi, kemuliaan profesi guru juga dijelaskan secara berulang. Salah satunya adalah sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi” (HR. Abu Daud). Gelar ini menunjukkan betapa tingginya kedudukan mereka, karena mereka melanjutkan misi para nabi dalam menyebarkan kebaikan dan ilmu. Bahkan, hilangnya ilmu karena wafatnya para ulama dianggap sebagai tanda mendekati hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak mencabut ilmu dengan sekali tarik, tetapi dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak ada lagi ulama, manusia akan mengambil orang-orang bodoh sebagai rujukan. Mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga sesat dan menyesatkan” (HR. Bukhari).
Keistimewaan guru tidak hanya terbatas di dunia, tetapi juga berlanjut di alam barzakh. Dalam hadis riwayat At-Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda, “Jika seseorang meninggal, amalnya terputus kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh.” Ilmu yang diajarkan oleh seorang guru akan terus mengalirkan pahala, bahkan setelah ia meninggal dunia, selama ilmu tersebut masih dimanfaatkan oleh orang lain.
Demikianlah betapa mulianya kedudukan seorang guru dalam pandangan Islam. Setiap kebaikan yang mereka ajarkan, setiap pengorbanan yang mereka berikan, menjadi amal yang tak terputus pahalanya di sisi Allah SWT. Semoga para guru senantiasa mendapatkan keberkahan dan kemuliaan, baik di dunia maupun di akhirat. Barakallahufiikum wahai para guru. Wallahu a’lam.
Posting Komentar