Fikroh.com - Pada sebuah wawancara yang mendalam di kanal YouTube Curhat Bang Denny Sumargo, mantan Menteri Perdagangan Indonesia, Thomas Trikasih Lembong, atau yang akrab disapa Tom Lembong, berbagi pengalaman hidupnya yang penuh makna. Salah satu pernyataan yang mencuri perhatian adalah ungkapannya yang penuh empati: “Penderitaan diri saya tidak ada apa-apanya dibandingkan penderitaan warga Gaza.” Pernyataan ini bukan sekadar ungkapan, tetapi cerminan dari refleksi mendalam Tom selama menghadapi masa sulit dalam hidupnya, termasuk pengalaman di balik jeruji besi. Artikel ini mengupas kisah di balik pernyataan tersebut, pengalaman Tom, dan pesan kemanusiaan yang ingin disampaikannya.
Latar Belakang Pernyataan Tom Lembong
Tom Lembong, seorang ekonom dan politikus yang pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan (2015–2016) dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (2016–2019), sempat menjadi sorotan publik karena kasus hukum terkait dugaan korupsi impor gula. Pada Oktober 2024, ia ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. Pengalaman di rumah tahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan Lembaga Pemasyarakatan Cipinang memberinya perspektif baru tentang hidup, penderitaan, dan solidaritas.
Dalam wawancara bersama Denny Sumargo, Tom menceritakan bagaimana masa tahanannya menjadi momen introspeksi. Ia belajar tentang tawakal—berserah diri kepada Allah setelah berusaha maksimal—dari seorang tahanan Muslim. Pengalaman ini menginspirasinya untuk melihat penderitaannya dalam konteks yang lebih luas, terutama dibandingkan dengan penderitaan warga Gaza yang menghadapi konflik berkepanjangan, kekurangan pangan, dan kehancuran akibat perang.
Konteks Penderitaan Warga Gaza
Pernyataan Tom merujuk pada krisis kemanusiaan di Gaza, yang telah berlangsung selama puluhan tahun dan semakin parah sejak eskalasi konflik pada 2023–2025. Menurut laporan, warga Gaza hidup di bawah ancaman serangan udara, blokade ekonomi, dan keterbatasan akses terhadap kebutuhan dasar seperti air bersih, listrik, dan layanan kesehatan. Ribuan warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan, menjadi korban jiwa, sementara ratusan ribu lainnya kehilangan tempat tinggal. Tom, dengan pengalamannya menghadapi ketidakpastian di tahanan, merasa penderitaannya jauh lebih ringan dibandingkan penderitaan warga Gaza yang terus berjuang untuk bertahan hidup di tengah krisis tersebut.
Makna di Balik Pernyataan Tom
Pernyataan Tom bukan hanya ungkapan empati, tetapi juga cerminan dari transformasi pribadinya. Di tengah tekanan hukum dan tuduhan yang membebani, ia memilih untuk tidak larut dalam keluh kesah, melainkan menc MCDOWELLmengalihkan fokus pada solidaritas kemanusiaan. Ia mengaku belajar *tawakal* dan merenungkan makna penderitaan yang lebih besar, seperti yang dialami warga Gaza. Pernyataan ini juga mencerminkan sikap rendah hati, yang menurut ajaran Islam adalah salah satu sifat mulia seorang pemimpin.
Dalam Islam, seorang pejabat harus memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) dan menjauhi takabbur (kesombongan). Al-Qur’an dalam Surah Al-Qasas ayat 83 menegaskan bahwa kesombongan dan kerusakan di bumi tidak dikehendaki Allah. Tom, dengan latar belakang pendidikan Barat di Universitas Harvard, menunjukkan sikap yang selaras dengan nilai ini dengan menyadari bahwa penderitaannya tidak sebanding dengan penderitaan orang lain yang lebih berat.
Pengalaman di Balik Jeruji: Belajar Makna Hidup
Selama ditahan, Tom menceritakan bahwa ia menghabiskan waktu dengan membaca, berolahraga, dan berdiskusi dengan tahanan lain. Salah satu momen yang mengubah pandangannya adalah ketika ia belajar tentang tawakal dari seorang tahanan Muslim. Konsep ini, yang berarti menyerahkan hasil kepada Allah setelah berusaha maksimal, memberinya kekuatan untuk menghadapi ketidakpastian hukum dengan tenang. Ia juga menyebutkan bahwa istrinya, Franciska, selalu mengingatkannya untuk tetap “bersinar” dan tenang dalam menghadapi cobaan, yang tercermin dalam senyumnya saat diborgol—sebuah momen yang sempat viral di media sosial.
Pada Juli 2025, Tom divonis 4,5 tahun penjara, namun dinyatakan tidak memiliki niat jahat (mens rea). Vonis ini menuai kontroversi, dengan banyak pihak, termasuk pakar hukum, menilainya sebagai bentuk kriminalisasi kebijakan. Namun, pada 1 Agustus 2025, Tom dibebaskan setelah mendapat abolisi dari Presiden Prabowo Subianto, yang memulihkan nama baiknya sebagai warga negara. Pengalaman ini memperkaya wawasannya tentang makna penderitaan dan solidaritas.
Pesan Kemanusiaan dan Relevansi Sosial
Pernyataan Tom tentang warga Gaza tidak hanya menunjukkan empati, tetapi juga mengajak kita untuk merenungkan realitas sosial yang lebih luas. Di tengah krisis kepercayaan terhadap pejabat publik di Indonesia, yang sering kali dituduh arogan atau korup, sikap rendah hati Tom menjadi contoh langka. Ia mengingatkan kita bahwa seorang pemimpin harus memiliki empati dan kesadaran akan penderitaan orang lain, sebagaimana diajarkan dalam Islam melalui konsep tawakal dan keadilan sosial.
Kisah Tom juga relevan dengan fenomena sosial saat ini, di mana banyak pejabat di Indonesia dikritik karena sikap semena-mena. Dengan merujuk pada penderitaan warga Gaza, Tom menunjukkan bahwa seorang pejabat harus tetap membumi, memahami bahwa jabatan adalah amanah, bukan alat untuk memamerkan kekuasaan.
Kisah Tom Lembong di Curhat Bang Denny Sumargo bukan sekadar cerita tentang seorang mantan pejabat yang menghadapi cobaan hukum, tetapi juga tentang transformasi batin dan solidaritas kemanusiaan. Pernyataannya tentang penderitaan warga Gaza mencerminkan kesadaran akan privilege dan tanggung jawab sosial seorang pemimpin. Di tengah dunia yang penuh konflik dan ketidakadilan, pesan Tom adalah pengingat bahwa empati dan kerendahan hati adalah kunci untuk menjadi manusia yang lebih baik—baik sebagai individu maupun sebagai pemimpin. Mari kita ambil pelajaran dari kisah ini untuk lebih peduli terhadap sesama, seperti warga Gaza, yang terus berjuang dalam penderitaan.
Posting Komentar