Aspek Rasional Mazhab Ḥanbalī (Sebuah Review Disertasi)

Fikroh.com - Disertasi berjudul Al-Jānib al-‘Aqlī ‘inda al-Ḥanābilah (Aspek Rasional di Kalangan Mazhab Ḥanbalī) secara fundamental menantang dan berupaya mendekonstruksi stereotip yang telah lama melekat pada mazhab Ḥanbalī. Masalah sentral yang diangkat adalah citra historis mazhab ini sebagai kaum tekstualis (naṣṣiyūn) yang kaku, literalis, dan memusuhi penalaran rasional (‘aql). Stereotip ini begitu kuat sehingga salah satu peneliti menggambarkannya sebagai “cambuk yang mencambuk punggung siapa pun yang menjadikan akal sebagai metodologi intelektualnya”.

Menghadapi gambaran ini, disertasi ini mengajukan tesis utama bahwa persepsi tersebut merupakan sebuah kesalahan fatal (khaṭa’ fādiḥ). Argumen utamanya adalah bahwa mazhab Ḥanbalī, sejak masa-masa awalnya, justru memiliki tradisi rasional yang kuat, unik, dan berakar dalam. Namun, rasionalisme ini tidak berdiri sendiri, melainkan dikembangkan dalam sebuah kerangka metodologis di mana akal berfungsi sebagai pelayan wahyu (al-‘aql khādim li al-naql), yang bertugas untuk memahami, membela, dan menunjukkan koherensi logis dari teks suci.

Keunikan metode rasional Ḥanbalī, sebagaimana ditekankan oleh penulis, terletak pada kemampuannya untuk mengekstrak dalil-dalil rasional dan metode-metode perdebatan langsung dari Al-Qur’an. Pendekatan ini secara sadar membedakan mereka dari mazhab teologis lain, seperti Mu‘tazilah, yang kerangka rasionalnya sering kali meminjam dari tradisi logika Yunani. Dengan demikian, disertasi ini bukan sekadar kompilasi penggunaan akal oleh para ulama Ḥanbalī, melainkan sebuah argumen polemis yang bertujuan merevisi pemahaman sejarah intelektual Islam mengenai mazhab ini. Dengan membuktikan adanya rasionalisme yang berakar pada Al-Qur’an, penulis secara implisit mengkritik model-model rasionalisme lain dalam Islam sebagai kurang otentik atau terlalu dipengaruhi oleh sumber-sumber asing.

Ruang lingkup penelitian dibatasi dari masa awal berdirinya mazhab hingga akhir abad ke-6 Hijriah. Pilihan periode ini memiliki justifikasi yang kuat; pertama, untuk menjawab tuduhan anti-rasionalisme yang paling sering ditujukan kepada generasi awal; kedua, untuk menunjukkan spektrum rasionalisme internal yang muncul pada periode ini, mulai dari faksi yang lebih berorientasi pada teks (seperti Qāḍī Abū Ya‘lā) hingga yang lebih interpretatif dan filosofis (seperti Ibn ‘Aqīl dan Ibn al-Jauzī); dan ketiga, untuk mengisi kekosongan penelitian pada periode sebelum era Ibn Taimiyyah, yang kontribusi rasionalnya telah banyak dikaji.

Disertasi ini juga mengklaim beberapa kontribusi orisinal, di antaranya menyoroti peran tokoh-tokoh yang jarang dikaji dalam konteks rasionalisme (seperti Imām Bukhārī, Qādi̇ Abū Ya‘lā, Ibn ‘Aqīl, Ibn Qudāmah, dan Nāsiḥ al-Dīn ibn al-Ḥanbalī) dan membahas topik-topik spesifik yang menunjukkan kecanggihan pemikiran mereka, seperti kritik rasional terhadap prinsip penyerahan mutlak dalam tasawuf dan perbandingan argumen rasional internal mengenai sifat-sifat Tuhan. Stereotip anti-rasionalisme telah menyebabkan pengabaian terhadap kontribusi intelektual Ḥanbalī dalam studi modern, dan disertasi ini berupaya memutus rantai pengabaian tersebut dengan menyajikan bukti-bukti yang selama ini terlupakan.

Bagian I: Fondasi Rasionalisme Ḥanbalī: Konsep Akal dan Metodologi Penalaran


Bagian ini menunjukkan bahwa rasionalisme Ḥanbalī tidak bersifat ad-hoc, melainkan didasarkan pada epistemologi yang terdefinisi dengan baik dan metodologi yang ketat.

Definisi dan Hakikat Akal (‘Aql)


Perdebatan internal Ḥanbalī mengenai definisi akal menunjukkan kedalaman epistemologis mereka. Di satu sisi, terdapat pandangan Imām Aḥmad yang mendefinisikan akal sebagai naluri (gharīzah), sebuah fakultas bawaan yang ditanamkan Tuhan untuk membedakan yang benar dan yang salah. Di sisi lain, pandangan yang dianut oleh mayoritas teolog Ḥanbalī seperti Al-Qāḍī Abū Ya‘lā dan Ibn ‘Aqīl mendefinisikannya sebagai “sejenis pengetahuan niscaya” (ḍarb min al-‘ulūm al-ḍarūriyyah), seperti pengetahuan intuitif bahwa keseluruhan lebih besar dari bagiannya.
Kedua definisi ini, meskipun berbeda penekanan, secara kolektif menolak konsepsi filosofis Yunani tentang akal sebagai substansi (jauhar) yang terpisah. Sebaliknya, mereka mengikat akal erat-erat dengan epistemologi Islam, di mana akal adalah anugerah ilahi yang berfungsi untuk memahami wahyu dan realitas dalam kerangka tauhid. Definisi akal sebagai fakultas yang berorientasi pada wahyu ini secara langsung menyebabkan mereka mencari dan merumuskan metodologi rasional dari sumber wahyu itu sendiri, yaitu Al-Qur’an, bukan dari sumber eksternal.

Lokasi Akal: Perdebatan Jantung (Qalb) vs. Otak (Dimāgh)


Perdebatan mengenai lokasi fisik akal juga menunjukkan keterlibatan mereka dengan dalil naqli dan observasi empiris. Kubu yang berpendapat akal berlokasi di jantung (qalb), yang merupakan pandangan mayoritas termasuk Imām Aḥmad, mendasarkan argumen mereka pada dalil-dalil Al-Qur’an seperti, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati (qalb)” (QS. Qaf: 37). Sementara itu, kubu yang menunjuk otak (dimāgh), yang juga dinisbatkan kepada Imām Aḥmad, menggunakan dalil linguistik dan observasi bahwa kerusakan pada otak dapat mengganggu fungsi akal.

Sintesis yang kemudian dikemukakan oleh Ibn Taimiyyah, yang melanjutkan tradisi ini, menawarkan solusi yang mendamaikan keduanya. Ia berpendapat bahwa akal berpusat pada rūḥ, yang manifestasi utamanya terdapat di jantung sebagai pusat kehendak (irādah) dan di otak sebagai pusat pemikiran (fikr). Ini menunjukkan tradisi intelektual yang dinamis dan mampu melakukan sintesis, bukan sekadar pengulangan dogmatis.

Aturan Penyelidikan Rasional (Aḥkām al-Naẓar al-‘Aqlī)


Mazhab Ḥanbalī menegaskan kewajiban melakukan penyelidikan rasional (naẓar) untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan. Kewajiban ini didasarkan pada perintah-perintah eksplisit dalam Al-Qur’an untuk berpikir (tafakkur) dan merenung (tadabbur). Kontribusi Ibn ‘Aqīl dalam hal ini sangat signifikan; ia mengklasifikasikan penyelidikan menjadi penyelidikan yang benar (ṣaḥīḥ) yang mengarah pada pengetahuan (‘ilm), dan penyelidikan yang salah (fāsid) yang gagal mencapai tujuannya. Klasifikasi ini menunjukkan adanya kesadaran metodologis yang sistematis, di mana tujuan akhir dari penyelidikan rasional adalah “mencapai kebenaran dalam prinsip-prinsip agama” (iṣābat al-ḥaqq fī uṣūl al-diyānāt).

Sumber Dalil Rasional dan Teknik Argumentasi (Asālīb al-Jadal)


Salah satu kontribusi paling orisinal dari mazhab Ḥanbalī, sebagaimana diungkap oleh disertasi ini, adalah upaya sistematis untuk mengekstrak metode argumentasi rasional langsung dari Al-Qur’an. Tokoh sentral dalam upaya ini adalah Nāṣiḥ al-Dīn ibn al-Ḥanbalī, yang mengidentifikasi lebih dari 15 metode argumentasi rasional dari teks suci. Beberapa contoh metode ini antara lain:

  • Argumentasi melalui pembagian dan eliminasi (al-taqsīm wa al-sabr).
  • Menjawab makna, bukan lafaz harfiah (al-jawāb ‘alā ma‘nā al-kalām lā ‘alā lafẓih).
  • Argumentasi dari konsekuensi logis (ilzām al-khaṣm).

Selain itu, mereka juga menggunakan empat jenis utama qiyās (analogi) rasional: qiyās al-aulā (analogi a fortiori), qiyās al-tamṡīl (analogi perwakilan), dan qiyās al-syabah (analogi kemiripan). Namun, yang tak kalah penting adalah kritik tajam dari Ibn al-Jauzī dan Ibn Qudāmah terhadap penggunaan qiyās al-ghā'ib ‘alā al-syāhid (menganalogikan yang gaib dengan yang terlihat) dalam teologi, terutama terkait sifat-sifat Tuhan. Penolakan ini merupakan prinsip metodologis kunci yang membatasi jangkauan akal untuk mencegah antropomorfisme, sebuah contoh nyata dari prinsip bahwa “akal memiliki batas”. (bersambung...)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama