Oleh: Muhammad Atim
Fikroh.com - Kalau sekilas membaca kitab Tauhid yang ditulis oleh Syaikh Hassan bin Ahmad atau yang dikenal dengan A. Hassan (Ahmad Hassan, Ahmad adalah nama ayah beliau), ulama dan guru utama Persatuan Islam (Persis), mungkin orang menganggap beliau bermadzhab Asy'ari dalam aqidah. Karena, dalam sistematika pembahasannya dengan menggunakan rumusan madzhab Asy'ari, yaitu dengan menyebut sifat-sifat Allah dengan urutan wujud, qidam, baqa, dst.
Namun, kalau kita lebih teliti dan jeli dengan pemaparan beliau dalam kitabnya ini, belum bisa dikatakan bahwa beliau bermadzhab Asy'ari. Karena bermadzhab Asy'ari tidaklah cukup diukur dengan menyebutkan sifat-sifat wujud, qidam, baqa, dst. Karena sifat-sifat tersebut, secara esensi dan sederhana sebenarnya diterima pula oleh seluruh kalangan Ahlus Sunnah (baik penisbatan ataupun yang benar berkesesuaian), termasuk aqidah Atsariyyah/Salaf, jika dimaknai dengan benar istilah-istilah tersebut.
Kata "wujud, qidam, hawadits" meski tidak ada penyebutannya di dalam nash, tapi kalau dimaksudkan hanya berupa pengungkapan lain atau membahasakan ulang (ikhbar) dari sifat yang disebut di dalam nash, maka tidak mengapa. Misalnya wujud adalah istilah lain dari al-haq (yang nyata, benar adanya), qidam istilah lain dari al-awwal, dan hawadits istilah lain dari makhluk, artinya ketika disebut mukhalafah lil hawadits, dimaksudkan berbeda dengan makhluk.
Esensi madzhab Asy'ari adalah menggunakan teori jisim dan huduts yang khas (yang disebut sebagai doktrin kalam) yang dijadikan sebagai kekhususan makhluk lalu dinafikan dari Allah. Dengan teorinya ini, berimplikasi pada penolakan sebagian sifat, yaitu dua kategori sifat; dzatiyyah khobariyyah seperti wajah, tangan, mata, dst, bahkan sebagian dzatiyyah 'aqliyyah pun mereka menolaknya, yaitu sifat tingginya Allah di atas seluruh makhluk-Nya, dan sifat fi'liyyah ikhtiyariyyah (perbuatan yang dilakukan sesuai kehendak-Nya) yaitu seperti datang, turun, istiwa (bersemayam), dst. Tentu ini menyalahi aqidah Ahlus Sunnah yang telah dipaparkan secara jelas, kuat dan tegas, oleh kalangan ulama yang berpegang kepada aqidah Salaf Atsariyyah, dan inilah yang tepat sebagai Ahlus Sunnah, dimana Ahlus Sunnah menetapkan semua sifat-sifat Allah yang disebutkan di dalam nash, tanpa terkecuali.
Kalau kita perhatikan pemaparan A. Hassan, beliau tidak menggunakan teori doktrin kalam di atas. Misalnya ketika membahas hawadits beliau secara sederhana mengartikannya dengan makhluk. Karena kalau yang dimaksudkan hawadits itu secara sederhana adalah makhluk, maka tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah rincian apa yang dimaksud hawadits tersebut oleh ahli kalam Asy'ari, yaitu bukan hanya yang tadinya tidak ada lalu diciptakan (makhluk), tetapi menurut mereka hawadits juga mencakup suatu perbuatan yang memiliki awalan dan akhiran. Sehingga mereka menafikan satuan perbuatan dari Allah, dan yang namanya perbuatan itu sudah maklum memiliki satuannya, awalan dan akhirannya, sehingga sebenarnya mereka menafikan perbuatan dari Allah. Tentu A. Hassan tidak memaksudkan "hawadits" dalam makna tersebut, selain karena beliau tidak merinci dengan rincian tersebut, mengartikannya secara simpel dengan makhluk, ditambah dengan secara jelas beliau menetapkan adanya sifat fi'liyyah (perbuatan) bagi Allah, termasuk sifat istiwa (bersemayam) misalnya.
Bahkan secara jelas beliaupun menetapkan sifat-sifat dalam kategori dzatiyyah khobariyyah seperti wajah, tangan, mata, dll dalam makna hakiki/zhahirnya. Ini tentu sangat ditentang oleh ahli kalam Asy'ari. Mari kita cermati terlebih dahulu pemaparan beliau :
Apakah Allah bertangan, bermata, bermuka,
bersemayam, beserta berhampiran (dekat)?
Di dalam Al-Qur’an ada terdapat ayat-ayat artinya : “Tangan Allah itu di atas tangan-tangan mereka” (QS. Al-Fath :10). “Di tangan-Mu lah ada kebaikan” (QS. Ali Imran : 26). “Apa yang melarangmu daripada sujud kepada (makhluq) yang Aku telah jadikan dengan kedua tangan-Ku” (QS. Shad : 75). Apa maknanya ? Apakah Allah bertangan?
Dalam bahasa Arab, kalimah tangan atau dua tangan itu, terpakai juga buat arti pemberian, kekuasaan, diri dan sebagainya. Jadi, ayat-ayat itu, boleh kita pakaikan salah satu dari arti-arti majazi yang tersebut, menurut tempat yang layak bagi masing-masing.
Boleh juga kita berkata, Allah bertangan, tetapi tidak sama dengan makhluq.
Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang artinya : “Buatlah kapal itu di (hadapan) mata-mata Kami” (QS. Hud: 73). “Sesungguhnya engkau di (hadapan) mata-mata Kami” (QS. Ath-Thur : 48). Apa maksudnya? Apakah Allah mempunyai mata?
Di dalam bahasa Arab, dan di lain-lain bahasa, kalimah mata itu, terpakai juga buat arti perhatian, anggapan, pengawasan, pengetahuan dan sebagainya.
Sering orang-orang berkata: “Si anu diperanakkan di hadapan mata saya”. Maksudnya saya tahu kapan dia diperanakkan. “Pada penglihatan saya, perkara itu tak baik dijalankan.” Maksudnya menurut anggapan saya, perkara itu tak baik dikerjakan. “Perkara ini selamanya di hadapan mata saya”. Maksudnya, perkara ini selalu di dalam pengawasan dan perhatian saya.
Oleh sebab yang demikian, maka di ayat-ayat tadi, boleh dipakaikan salah satu makna majazi yang tersebut itu, menurut tempat yang pantas buat masing-masing.
Boleh juga kita berkata: Allah melihat dengan mata, tetapi mata-Nya tidak sama dengan kita.
Di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits ada banyak tersebut kalimah wajhu rabbika, wajhullah, dan sebagainya. Adakah kalimah-kalimah itu berarti muka Allah?
Di dalam bahasa Arab, kalimah liwajhillah, liwajhi rabbika, dan sebagainya itu, sungguhpun salinan kalimahnya : karena muka Allah, karena muka Tuhanmu, tetapi makna yang terpakai ialah, karena Allah, karena Tuhanmu. Jadi, di dalam susunan seperti itu, kalimah wajhu tidak diartikan, atau bisa juga diartikan dengan diri. Jadi, maknanya : karena diri Allah, karena diri Tuhanmu."
Di dalam Al-Qur’an ada tersebut ayat yang artinya : “Rahman itu istiwa di atas arsy” (QS. Thaha : 5). Apa maknanya itu, Allah duduk di atas arsy?
Istiwa itu asal maknanya, ialah bersemayam, duduk dan sebagainya.
Ulama Salaf, yaitu ulama Islam zaman dahulu, berkata, bahwa firman Allah yang Ia bersemayam di atas arsy itu, kita percaya lantaran Ia berkata sendiri, tetapi caranya, kita tidah tahu, yakni tentulah dengan cara yang layak dan patut dengan kesucian-Nya daripada sifat-sifat kemakhlukan.
Sebagian dari ulama Khalaf, yaitu ulama mutaakhirin berkata, maknanya itu : Allah memerintah di atas arsy, atau Allah berkuasa di atas arsy. Jadi, istiwa itu, mereka ta’wilkan dengan arti istaula : memerintah, berkuasa.
Ulama ini, kalau kita bertanya : apakah Allah memerintah atau berkuasa itu sama caranya dengan makhluk ? Tentu mereka menjawab : tidak sama dengan makhluk.
Lantaran itu, bukankah lebih selamat dan lebih mudah, kita berkata : Allah bersemayam di atas arsy, tetapi caranya tidak sama dengan makhluk.
Apakah makna ayat-ayat “Allah beserta kamu di mana kamu ada” (QS. Al-Hadid : 4). “Sesungguhnya Allah bersama kita” (QS. Al-Bara’ah : 40). “Kami lebih hampir kepada (manusia) daripada urat nyawanya.” (QS. Qaf : 16).
Maksudnya, bahwa Allah beserta kita, dan hampir kepada kita, dengan penjagaan-Nya, pemeliharaan-Nya, rahmat-Nya, bukan dzat-Nya. (A. Hassan, Kitab Tauhid, hal. 26-28).
Dalam paparannya tersebut, jelas sekali A. Hassan membolehkan memaknai dengan makna zhahir/hakikinya, yaitu tangan Allah tidak sama dengan tangan makhluk, mata Allah tidak sama dengan mata makhluk, dst. Dimana ini sangat ditentang oleh kalangan Asy'ari.
Adapun perkataan beliau "boleh kita pakaikan salah satu dari arti-arti majazi yang tersebut, menurut tempat yang layak bagi masing-masing" tidak menunjukkan beliau menta'wil sifat-sifat tersebut, karena kalau beliau memaksudkan menta'wilnya, beliau tidak akan membolehkan memaknainya dengan makna zhahir. Karena hal tersebut sangat kontradiktif. Kita mesti memahami perkataan ulama itu dengan mendudukinya secara selaras dan jangan membuatnya kontradiktif.
Memahami kata "yad", " wajh", "'ain" dst, dengan makna majazi di sebagian tempat tidak otomatis berarti menta'wilkan sifat tersebut, atau menafikan hakikat sifatnya. Memaknai dengan makna majazi itu karena memang tuntutan siyaqul kalamnya (alur pembicaraannya). Misalnya kata "yadullah fauqo aidihim" (tangan Allah di atas tangan mereka) maksudnya Allah menyaksikan dan ridha kepada para sahabat yang berbaiat dalam peristiwa Hidaibiyyah. Ini adalah makna majazinya. Tetapi bukan berarti sifat yadullah (tangan Allah)nya harus dinafikan dengan dita'wilkan ke makna lain, dengan kata lain tidak berarti bahwa Allah tidak punya tangan. Justru nash tersebut secara tegas menunjukkan Allah punya tangan dan sekaligus menunjukkan makna majazi tersebut. Karena penggunaan makna majazi bagi satu pihak itu tidak otomatis menghilangkan kelayakannya menyandang makna hakikinya. Misalnya ketika seseorang disebut dengan makna majazi "Orang itu panjang tangan" maksudnya orang tersebut banyak membantu, atau bisa juga dimaksudkan suka mencuri. Apakah berarti otomatis menunjukkan orang tersebut tidak punya tangan? Kan tidak! Begitu pula ketika Allah disebut dengan makna majazi, tidak berarti Allah tidak memilikinya secara hakiki.
Kemudian ketika beliau membahas tentang sifat istiwa (bersemayam) di atas arsy, jelas sekali beliau berpegang kepada aqidah Salaf/Atsariyyah dengan menetapkan makna zhahirnya apa adanya yang tentu sangat ditentang oleh ahli kalam, bahkan melakukan bantahan yang sangat telak kepada kalangan kholaf/ahli kalam, "Ulama ini, kalau kita bertanya : apakah Allah memerintah atau berkuasa itu sama caranya dengan makhluk ? Tentu mereka menjawab : tidak sama dengan makhluk. Lantaran itu, bukankah lebih selamat dan lebih mudah, kita berkata : Allah bersemayam di atas arsy, tetapi caranya tidak sama dengan makhluk."
Ketika membahas sifat ma'iyyah khassah (kebersamaan secara khusus) maknanya adalah dengan penjagaan, pemeliharaan dan rahmat-Nya, bukan dengan dzat-Nya. Itu jelas merupakan aqidah Salaf Atsariyyah.
Selain itu, yang menunjukkan beliau berpegang kepada aqidah Salaf/Atsariyyah, atau orang sekarang namakan "Wahabi" adalah beliau mengklasifikasikan tauhid kepada Rububiyyah, Uluhuiyyah/Ubudiyyah, dan Asma wash Shifat, juga pembagian lainnya. Juga pembahasan beliau tentang syirik, kebid'ahan, kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah, dan kecaman terhadap taqlid. Wallahul Muwaffiq.
Link: t.me/butirpencerahan
Posting Komentar