Ubadah bin Shamit, Sosok Tinggi Hitam, Utusan Yang Menakutkan

Ubadah bin Shamit, Sosok Tinggi Hitam, Utusan Yang Menakutkan

Fikroh.com - Dalam kisah pertempuran di Babilonia, pemimpin imperialis Romawi di Mesir Muqauqis berpesan, “Kirim utusan dari kalian, kami akan mengajak kepada perkara untuk kebaikan kalian dan kami.” 

Maka Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu Komandan Tertinggi pasukan Muslim saat itu mengutus sepuluh orang dan salah satunya adalah Ubadah bin As Shamit radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah seorang yang berperawakan tinggi. Tinggi beliau 10 hasta atau sekitar 2 meter lebih, dan memiliki coklat kehitaman. Amr menunjuknya sebagai juru bicara dan memesan agar tidak menerima pilihan selain tiga perkara yang telah disampaikan yakni masuk Islam, membayar upeti, atau perang. 

Delegasi pun bertemu Muqauqis. Tatkala Muqauqis melihat Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, dia merasa takut dan berkata kepada utusan kaum muslimin, “Jauhkan dariku orang hitam ini dan hadapkan kepadaku selainnya.” Maka mereka menjawab, “Sesungguhnya orang hitam ini adalah orang yang paling utama di antara kami pendapat dan ilmunya. Dia adalah orang mulia dan orang terbaik kami, dan kami mengembalikan semua pendapat kepadanya dan pemimpin kami telah memerintahkan supaya tidak menyelisihinya dan tidak memutuskan suatu perkara kecuali seizinnya.” 

Maka dia berkata, “Bagaimana kalian rida orang hitam ini sebagai orang utama kalian, padahal seharusnya dia adalah bawahan kalian?” Mereka menjawab, “Tentu tidak, walaupun dia hitam seperti kamu lihat, sesungguhnya dia adalah orang yang paling utama kedudukannya dan senior baik dalam kebijakan dan pendapatnya. Kulit hitam bukan suatu perkara yang diingkari pada agama kami.” Kemudian Muqauqis berkata kepada Ubadah, “Majulah wahai hitam! Dan bicaralah dengan lembut, sesungguhnya aku takut kulit hitammu, apabila kamu bicara dengan kasar maka bertambah rasa takutku.” 

Kemudian Ubadah maju dan berkata, “Aku telah mendengar ucapanmu, sesungguhnya di belakangku ada seribu orang-orang hitam lebih hitam dariku dan lebih mengerikan penampilannya. Andaikan engkau melihatnya pasti akan lebih takut. Sementara aku sudah tua dan telah berlalu masa mudaku, walaupun demikian – Alhamdulillah – aku tidak gentar berhadapan dengan 100 orang dari musuhku walaupun mereka menyerangku sekaligus, begitu pula teman-temanku. Hal ini karena kami tidaklah mengharapkan kecuali jihad karena Allah dan mendambakan rida-Nya.” 

“Bukan tujuan kami dalam memerangi musuh Allah untuk mendapatkan dunia dan tidak ada kepentingan bagi kami memperbanyak dunia, kecuali dari perkara yang telah Allah halalkan kepada kami. Dan kami tidak peduli apakah memiliki harta atau tidak memiliki kecuali satu dirham, karena tujuan kami di dunia hanyalah cukup untuk sesuap makanan yang menutup rongga kami siang dan malamnya. Jika salah satu dari kami tidak memiliki harta kecuali itu maka harta itu cukup baginya. Dan jika memiliki harta yang lebih, maka mereka infakkan dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mencukupkan dengan harta yang sekadar memenuhi kebutuhan di dunia, karena kenikmatan dunia bukan kenikmatan yang hakiki, dan kesenangannya bukan kesenangan yang hakiki. Sesungguhnya kenikmatan dan kesenangan yang hakiki adalah di akhirat. Dengan hal inilah Allah dan nabi memerintahkan, dan kami berjanji setia di atasnya yaitu hendaknya tidak ada tujuan kami di dunia kecuali suapan yang menghilangkan lapar kami dan baju yang menutupi aurat kami. Dan menjadikan tujuan utama kami adalah rida Rabb kami dan berjihad melawan musuh-Nya.” 

Maka ketika Muqauqis mendengar ucapan Ubadah, dia berpaling berkata kepada para menterinya, “Apakah kalian pernah mendengar ucapan seperti ini sebelumnya? Sungguh penampilannya telah membuat aku takut, dan ternyata ucapannya sungguh lebih aku takuti. Apa mungkin orang ini dan shahabatnya telah Allah keluarkan untuk menghancurkan dunia?! Aku mengira pasti kerajaan mereka akan menguasai dunia.” 

Kemudian Muqauqis kembali dan berkata kepada Ubadah, “Wahai orang Saleh! Aku telah mendengar ucapanmu yaitu apa yang engkau sampaikan tentangmu dan shahabatmu, maka tidaklah apa yang tampak padamu dan shahabatmu dari keberanian dan kesabaran kecuali keinginan kalian untuk meraih harta dunia. Dan sungguh jumlah besar dari pasukan Romawi telah siap bertempur melawan kalian, mereka adalah satu kaum yang dikenal keberanian dan kegarangannya, tidak peduli siapapun musuh yang dihadapinya dan aku sangat yakin bahwa kalian tidak akan mampu melawannya. Karena kalian lemah dan sedikit. Sungguh kalian telah tinggal di negeri kami berbulan-bulan dan kalian dalam keadaan sempit dan kekurangan logistik. Sementara kami sekarang bermurah hati kepada kalian untuk melakukan perdamaian dengan imbalan yang akan kami berikan kepada kalian yaitu untuk setiap prajurit dua dinar dan untuk setiap komandan seratus dinar dan untuk khalifah kalian seribu dinar. Setelah kalian mendapatkannya, kembalilah ke negeri kalian sebelum kekuatan besar membinasakan kalian.”

Berkata Ubadah, “Wahai Anda! Janganlah terbuai dengan dirimu dan pasukanmu. Adapun perkara yang engkau sebutkan untuk menakut-nakuti dan melemahkan kami, demi Allah –kalau itu benar- sungguh itu lebih kami cintai dan kami harapkan. Karena hal ini menjadikan kami memiliki udzur yang kuat di hadapan Allah ketika kami terbunuh dan semakin kuat harapan kami mendapatkan rida dan surga-Nya, dan tentunya tidak ada sesuatu pun yang kami dambakan kecuali ini. Dan sesungguhnya kami dalam berperang dengan kalian menantikan salah satu dari dua kebaikan, yaitu mendapatkan ghanimah dunia jika kami meraih kemenangan atau ghanimah akhirat jika kalian yang meraih kemenangan. Dan yang terakhir ini tentunya lebih kami cintai, selain itu pula Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Berapa banyak golongan yang sedikit mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah dan Allah bersama orang-orang yang sabar.” 

“Tidak ada seorang pun dari kami kecuali berdoa setiap pagi dan petang untuk mendapatkan mati syahid dan berharap tidak kembali ke negerinya bahkan kepada anak dan istrinya. Tidak ada sedikit pun kekhawatiran pada kami setelah itu. Sungguh masing-masing kami telah menitipkan anak dan istrinya kepada Allah.”

“Adapun ucapanmu, ‘Kami berada dalam kesempitan dan kekurangan,’ maka ketahuilah! Bahwa kami berada dalam keleluasaan dan kemudahan. Andaikan seisi dunia berada di genggaman kami, maka kami tidak menginginkan lebih banyak darinya kecuali yang kami berada sekarang ini.”

“Maka pertimbangkanlah tiga tawaran yang telah kami sampaikan, dan ketahuilah bahwa kami tidak meneriman kecuali tiga perkara tersebut. Begitulah kami diajarkan, inilah agama Islam yang Allah tidak menerima selainnya.”

Berkata Muqauqis, “Ini tidak mungkin terjadi, kalian tidak menginginkan kecuali kami menjadi budak selamanya.” Berkata Ubadah, “Iya begitulah, maka pilihlah yang engkau sukai.” Berkata Muqauqis, “Adakah pilihan lain selain itu?” Maka Ubadah mengangkat tangannya dan berkata, “Tidak ada, demi Rabbnya langit dan bumi dan Rabb segala sesuatu, kalian tidak memiliki pilihan selain itu, pertimbangkanlah!”

Maka Muqauqis bermusyawarah dengan para menterinya dan berkata, “Mereka telah selesai menyampaikan tujuannya, lalu bagaimana pendapat kalian?” Mereka menjawab, “Apakah kita rela dengan kehinaan ini? Adapun keinginan mereka supaya kita masuk agamanya maka ini tidak mungkin selamanya, meninggalkan agama Al Masih bin Maryam dan masuk agama yang kita tidak mengenalnya, dan adapun keinginan mereka menjadikan kita sebagai budak maka kematian lebih ringan bagi kita. Andaikan mereka rela dilipat gandakan imbalannya, maka ini lebih mudah.”

Kemudian berkata Muqauqis kepada Ubadah, “Mereka telah menolak tawaranmu, bagaimana pendapatmu jika kami berikan harta berlipat-lipat dari yang kami janjikan?” Maka Ubadah dan para utusan yang bersamanya bangkit dan kembali tanpa menanggapi permintaan terakhirnya.

Pertempuran hebat pun tak terelakkan. Walaupun jumlah pasukan tidak seimbang, namun keberadaan kaum muslimin bagai singa raksasa di hadapan ribuan mangsanya. Keperkasaan dan keberanian para pemburu syahid itu begitu tampak dan mendominasi medan laga. Dengan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala kemenangan diraih kaum muslimin dan benteng kuat Babilonia bisa ditaklukkan. Korban pertempuran dari musuh sangat banyak dan sebagiannya tertawan.” 

Saat itu Muqauqis berkata kepada menteri-menterinya, “Sudah aku katakan bahwa kalian akan mendapatkan perkara yang lebih kalian benci.” Maka tatkala mereka mengetahui benarnya pendapat sang raja, akhirnya mereka menerimanya. Kemudian Muqauqis berkata kepada Amr, “Sungguh kaumku telah menolak tawaran kalian dan mereka menyesal dengan hal itu. Maka berilah kesempatan kepada kami untuk menerima tawaran tersebut.” Maka Amr radhiyallahu ‘anhu pun bermusyawarah dengan para petinggi shahabat, akhirnya Amr berpendapat untuk menerima perdamaian dan menetapkan jizyah 12 ribu dinar per tahun bagi mereka.

Babilonia jatuh ke tangan kaum muslimin. Agama Allah semakin tersebar dan tegak di seantero penjuru dunia. Tentara-tentara Allah dan utusan-utusan yang saleh dan mulia telah membebaskan berbagai negeri dari kehinaan kesyirikan kepada cahaya kemuliaan tauhid. Adalah Ubadah bin Shamit sang sosok hitam tinggi, salah satu utusan yang terkemuka dan termulia. 

Shahabat Yang Mulia


Beliau, Ubadah bin As Shamit bin Qais Al Anshari Al Khazraji Abul Walid radhiyallahu ‘anhu termasuk orang yang pertama masuk Islam. Salah satu tokoh yang ikut berbai’at di Aqabah. Setelah masuk Islam tidak pernah tertinggal satu jihad pun bersama Nabi. 

Ayahnya, Shamit, wafat dalam keadaan kafir yaitu di atas agama kaumnya. Sementara ibunya, Qurratul ‘Ain, masuk Islam dan berbai’at kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Berkata Al Auza’i rahimahullah, “Orang pertama yang menjadi hakim di Palestina adalah Ubadah, dan dia adalah orang yang utama, dan mulia, tampan, tinggi, dan tegap. Beliau meninggal di Baitul Maqdis, dalam riwayat lain di Ramlah tahun 34 H, saat itu umurnya 72 tahun. Dalam riwayat lain disebutkan Beliau wafat saat umurnya 45 tahun. Namun pendapat pertama lebih shahih dan masyhur. 

Ketika saat akan wafat beliau berkata, “Keluarkan kasurku ke shahn (halaman tengah rumah).” Kemudian dia berkata, “Kumpulkan di hadapanku para budakku, pembantuku, dan tetanggaku. Dan orang yang pernah bermuamalah denganku…” Maka mereka pun dikumpulkan di hadapannya. Setelah itu beliau berkata, “Sungguh hari ini aku tidak melihat kecuali hari terakhirku di dunia dan awal malam di alam akhirat. Aku tidak tahu, mungkin aku pernah menzalimi kalian dengan tanganku atau dengan lisanku. Demi Dzat yang jiwa Ubadah berada di tangannya! (Aku takut) Qishash di hari kiamat! Dan aku meminta dengan sangat dari kalian yang pernah terzalimi untuk mengqishas ku sebelum nyawaku keluar.” Orang-orang itu pun menimpali, “Bahkan engkau adalah orang tua kami dan pembimbing kami, tidak pernah engkau berbicara jelek sedikit pun kepada pembantumu.” Ubadah berkata, “Apakah kalian memaafkanku?” Mereka menjawab, “Ya tentu.” Ubadah berkata, “Ya Allah persaksikanlah.” 

Kemudian dia berkata, “Jika tidak, maka laksanakanlah wasiatku. Aku merasa berat bila ada di antara kalian menangisiku. Apabila nyawaku keluar, maka berwudhulah kalian dengan sebaik-baik wudhu kemudian masuklah kalian ke masjid dan salatlah dan meminta ampun untukku dan untuk kalian. Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mintalah tolong kalian dengan sabar dan salat.” [Q.S. Al Baqarah: 45]. Kemudian bersegeralah menguburkanku. Jangan kalian iringi janazahku dengan api dan jangan letakkan di bawahku urjuwan (sebuah bunga berwarna merah).” Ubadah bin Shamit, semoga Allah meridainya. 

Sumber: Majalah Qudwah edisi 59 vol.05 1439 H rubrik Khairul Ummah. Pemateri: Ustadz Abu Ma’mar Abbas bin Husein.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama