Transfusi Darah Dalam Tinjauan Syariat Islam

Transfusi Darah Dalam Tinjauan Syariat Islam


Oleh: Prof. Dr. La Jamaa, MHI

Deskripsi Materi


Darah memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kesehatan dan bahkan dalam kondisi tertentu kekurangan darah dapat mengancam nyawa seseorang. Dalam konteks itu transfusi darah merupakan solusi. Namun demikian menurut hukum Islam, darah merupakan najis dan haram hukumnya. Karena itu transfusi darah masih perlu dikaji dalam perspektif hukum Islam. Dalam materi ajar ini akan dibahas tentang arti transfusi darah, pandangan hukum Islam tentang transfusi darah, hukuman jual beli darah (donor menerima imbalan dalam transfusi darah) serta hubungan hokum donor dan resipien.

{tocify} $title={Table of Contents}

A. Pendahuluan


Darah pada hakekatnya memiliki kaitan yang sangat erat dengan kehidupan manusia. Bahkan keberadaan darah dalam tubuh manusia sangat mempengaruhi kelangsungan hidup manusia.
Dalam berbagai kasus menunjukkan bahwa terkadang manusia kehilangan darah dalam volume besar sehingga dapat mengakibatkan nyawanya terenggut. Dalam kasus kecelakaan misalnya, pasien tentu banyak mengeluarkan darah dari tubuhnya sehingga stamina tubuhnya menjadi menurun. Atau dalam proses penyembuhan pasien melalui operasi, keberadaan darah sangat vital.

Dalam realitasnya problem tersebut diatasi dengan menggunakan darah dari donor melalui sistem transfusi darah. Permasalahan yang muncul, adalah apakah transfusi dari dapat dilakukan oleh sembarang donor kepada sembarang respien ataukah harus memenuhi prosedur medis? Bagaimana pula implikasi hukumnya? Apakah transfusi darah tidak tergolong memperjualbelikan darah? dahal darah adalah benda najis. Bagaimana pula dengan transfusi darah yang dilakukan antar orang berbeda agama atau antara orang jahat dengan orang baik-baik. Apakah transfusi darah dapat diklasifikasikan sebagai amal jariah? Beberapa permasalahan tersebut akan dibahas dalam tulisan ini.

B. Pengertian Transfusi Darah


Menurut Dr. Rustam Musri, transfusi darah, adalah proses pemindahan darah dari orang yang sehat kepada orang yang sakit yang bertujuan:

1)  Menambah jumlah darah yang beredar dalam tubuh orang yang sakit yang darahnya berkurang karena sesuatu sebab, misalnya pendarahan, operasi, kecelakaan, dan lain-lain.

2) Menambah kemampuan darah dalam tubuh si sakit untuk menambah/membawa zat asam/oksigen (O2).1

Sedangkan menurut Dr. Ahmad Sofian, bahwa transfusi darah, ialah memasukkan daerah orang lain ke dalam pembuluh darah orang akan ditolong. Jadi, transfusi darah, adalah suatu cara membantu suatu cara pengobatan yang telah ada, dan dalam kaitan ini darah hanya membantu saja sebagai salah satu pelengkap dari metode pengobatan yang dilakukan kepada pasien. Transfusi darah itu sendiri merupakan tindakan yang mengandung resiko, termasuk bagi si respien (sakit).2

Karena itu donor (penyumbang) darah dibatasi pada orang yang telah berumur dewasa sampai dengan 60 tahun, serta memenuhi syarat medis/kesehatan. Jelasnya, dalam kegiatan transfusi darah harus memenuhi beberapa persyaratan medis, yaitu:

1) Donor harus sehat fisik dan rohani sehingga donor tidak dirugikan;
2) Dilakukan saat yang amat membutuhkan;
3) Donor tidak mengidap penyakit menular dan golongan darah donor cocok dengan golongan darah respien.
4) Donor melakukan transfusi darah secara sukarela.3

Jadi, orang yang darahnya kurang, atau sedang mengalami flu, baru dicabut giginya tidak diperbolehkan menjadi donor. Jelasnya, bahwa untuk kemaslahatan baik donor (penyumbang darah) mau pun respien (penerima darah), maka transfusi darah harus dilakukan setelah memenuhi persyaratan medis  (setelah  melalui  pemeriksaan   kesehatan)  terhadap kedua belah pihak, terutama donor harus bebas dari penyakit menular, seperti AIDS, serta kondisi kesehatan donor memungkinkan sehingga transfusi darah yang dilakukannya tidak  membahayakan keselamatan jiwanya sendiri.

Dalam transfusi darah terdapat dua pihak, yaitu donor dan respien. Donor darah adalah orang yang menyumbangkan darah kepada orang lain dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa orang yang membutuhkan. Sedangkan respien adalah orang yang membutuhkan darah dari orang lain untuk keselamatan jiwanya.

C. Pandangan Hukum Islam terhadap Transfusi Darah


Manusia dalam kehidupannya selalu mengalami kondisi yang disebut sehat dan sakit atau penyakit. Penyakit yang dialami seseorang pada dasarnya bisa ditangani melalui pengobatan medis atau secara tradisional.
Dalam pengobatan medis ternyata ada kondisi tertentu yang membutuhkan bantuan melalui transfusi darah. Walau pun transfusi darah hanya merupakan alat bantu dalam proses pengobatan/penyembuhan secara medis, namun transfusi darah  memiliki peranan yang sangat signifikan dalam upaya memelihara keselamatan jiwa pasien.

Dalam ajaran Islam, pemeliharaan jiwa atau hifz al-nafs merupakan salah satu maqasid al-syari’ah (peringkat kedua setelah pemeliharaan agama atau hifz al- din).4 Karena itu transfusi darah pada dasarnya dibolehkan oleh Islam. Jelasnya, bahwa Islam membolehkan seorang muslim menyumbangkan darahnya  untuk tujuan kemanusiaan, baik disumbangkan secara langsung kepada orang yang membutuhkan transfusi darah (respien), mau pun melalui Palang Merah Indonesia atau Bank Darah. Hal ini didasarkan kepada QS. Al- Maidah: 32

أنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا                                                                                            
‘… barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara  kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya…’5
Menurut ayat di atas, memelihara jiwa seorang manusia memiliki nilai setara dengan memelihara jiwa manusia semuanya. Ungkapan di atas berkaitan erat dengan pertambahan jumlah manusia melalui garis keturunannya. Dalam kasus ini jika orang yang ditolong melalui transfusi darah itu sehat kembali, maka peluang untuk berketurunan atau menambah keturunannya semakin terbuka lebar. Sebaliknya, jika tidak diselamatkan, maka pertambahan manusia melalui garis keturunannya praktis terhenti. Jadi, menurut isyarat ayat di atas, trasfusi darah memberikan andil terhadap upaya mempertahankan eksistensi manusia serta berpengaruh pula terhadap perkembangan generasi manusia di muka bumi.

Ungkapan memelihara kehidupan seorang manusia dalam ayat di atas, menunjukkan, bahwa perbedaan agama antara donor dengan respien tidak menjadi masalah karena mentrasfusikan darah kepada orang yang membutuhkannya merupakan usaha untuk menolong dan menghormati harkat dan martabat manusia. Apalagi dalam ayat di atas digunakan susunan kalimat  وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا

Di samping itu, transfusi darah merupakan aktivitas muamalah (hubungan sosial dalam dimensi horisontal) sehingga berlaku ketentuan yang berkaitan dengan muamalah, yang didasarkan kepada kaedah fiqh (hukum Islam):

  الاصل في الاشاء الاباحة حتي يقوم الدليل علي تحريمها

‘Pada prinsipnya segala sesuatu itu adalah boleh (mubah) kecuali ada dalil yang mengharamkannya.’6

Padahal tidak ada nash Al Quran dan hadis yang secara tegas melarang transfusi darah. Dengan demikian, maka transfusi darah boleh dilakukan dengan memenuhi persyaratan medis. Jadi, yang menjadi persyaratan keabsahan trasfusi darah dalam hukum Islam bukanlah persyaratan kesamaan agama, melainkan persyaratan medis.

Tegasnya. Persyaratan dilakukannya transfusi darah berkaitan erat dengan masalah medis dan bukan masalah agama. Yang terpenting adalah kesamaan golongan darah antara respien dengan donor. Persyaratan medis ini harus dipenuhi, karena didasarkan kepada beberapa kaedah hukum Islam, antara lain:
1)       ‘Bahaya itu harus dihilangkan atau dicegah.’7    الضرر يزال                         

Kaedah ini bersumber dari QS. Al-Qashash: 77    إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ     
‘Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.’8

Namun demikian, suatu bahaya tidak boleh dihilangkan yang justru menimbulkan bahaya yang lain, baik terhadap orang lain (respien) mau pun diri sendiri (donor), berdasarkan:

2) Kaidah Fiqh                                                                   بالضرر  الضرر لا يزال
Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang lain.’9

3) Kaidah fiqh                             لا ضرر و لا ضرر                                           
'Tidak boleh membuat mudarat (bahaya) kepada orang lain dan tidak boleh juga membahayakan diri sendiri.’10

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa hukum Islam sangat fleksibel dalam mengatur tatanan kehidupan umat manusia. Sebesar apa pun usaha manusia dalam meraih prestasi kebaikan namun tidak dibenarkan sampai membahayakan dirinya sendiri, apalagi membahayakan orang lain. Hal ini selaras dengan ajaran Islam yang selain bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia, juga bertujuan untuk menghindari segala bentuk kemudaratan atau yang merugikana manusia. Karena itu menyumbangkan darah kepada orang lain (respien) yang amat membutuhkannya, menurut kesepakatan ulama fiqh, termasuk dalam kerangka tujuan syariat Islam, yaitu menghindari salah satu bentuk kemudaratan yang akan menimpa diri seseorang.11

Ulama fiqh juga mendasarkan pendapatnya kepada tindakan Nabi saw yang berbekam (HR. Bukhari dari Anas bin Malik). Karena berbekam menurut ulama fiqh, adalah mengeluarkan atau menghisap darah dari bagian-bagian anggota tubuh, misalnya dari kuduk, untuk membersihkan darah dan agar mendapatkan darah lagi. Tujuan berbekam adalah untuk menurunkan tekanan darah sekaligus menghilangkan rasa sakit kepala. Dalam pemikiran ulama hadis, berbekam adalah salah satu cara mengeluarkan darah yang digunakan untuk pengobatan sebagian penyakit yang ada dalam tubuh.Darah yang dikeluarkan itu tidak dimanfaatkan lagi. Dalam hal ini ulama fiqh menganalogi (mengqiyas)kan tindakan Nabi saw dengan menyumbangkan darah. Jika Nabi saw berbekam untuk menghilangkan penyakit dan darah yang dihisap keluar itu dibuang saja, maka menyumbangkan darah tentu saja dibolehkan, karena tujuannya tidak sekedar menghilangkan penyakit, bahkan untuk menyelamatkan jiwa orang lain. Menyelamatkna nyawa orang lain merupakan salah satu bentuk pemeliharaan terhadap al-daruriyat al-khamsah (lima kebutuhan pokok) yang dituntut oleh syariat Islam.12

Transfusi darah dalam perkembangannya menimbulkan beberapa problem, di antaranya: komersialisasi (jual beli) darah manusia, donor menerima upah dari respien dalam kegiatan transfusi darah, serta hubungan antara donor dengan respien.

D. Hukum Jual Beli Darah


Terhadap permasalahan ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Menurut fuqaha mazhab Hanafiah dan Zahiriah, bahwa Islam membolehkan jual beli darah manusia walau pun darah itu tergolong najis, namun besar manfaatnya untuk menolong jiwa manusia yang membutuhkan transfusi darah.13 Pemahaman kelompok ini, bisa jadi memandang petunjuk hukum ayat 32 surat al-Maidah berlaku umum, baik darah itu diberikan donor secara sukarela mau pun melalui pembelian. Sehingga dengan demikian prinsip kemaslahatannya yang lebih diprioritaskan ketimbang beban yang harus ditanggung respien dalam pembelian darah tersebut. Nyawa manusia lebih berarti (berharga) ketimbang nilai uang yang harus dikeluarkan respien dalam pembelian darah.
Perlu dijelaskan bahwa darah yang diperoleh melalui transfusi darah tidak sama dengan darah berbekam. Secara medis, teknis yang digunakan ahli medis dalam transfusi darah, menurut Abdul Salam Abdul Rahim al-Sakari, ulama fiqh kontemporer dari mesir, berbeda dengan berbekam. Transfusi darah dilakukan melalui alat khusus yang bisa memindahkan darah seseorang kepada orang lain tanpa mengubah sedikit pun zat-zat darah tersebut dan darah itu belum terpengaruh sama sekali oleh udara, sebab walaupun darah itu dipindahkan dahulu ke dalam tabung, namun tabung itu adalah tabung khusus yang telah steril. Sehingga darah yang ditransfusi masih tetap sama dengan darah yang terdapat dalam tubuh donor. Dengan demikian darah dalam tabung itu tidak bersifat najis.14

Namun jumhur ulama berpendapat, bahwa jual beli darah manusia itu tidak etis karena bertentangan dengan tujuan semula yang luhur, yaitu untuk amal kemanusiaan semata, guna menyelematkan  jiwa manusia dan bukan untuk mencari keuntungan. Di samping itu darah bukan barang yang dibolehkan untuk diperjualbelikan-termasuk bagian manusia yang Allah muliakan dan tak pantas memperjualbelikan darah sebagai barang komoditas.15 Apalagi bila pasien termasuk keluarga kurang mampu. Jadi pendapat jumhur ulama fiqh tersebut lebih memandang jual beli darah akan menambah beban yang harus ditanggung respien ketimbang kemasalahatan yang akan diperoleh melalui pembelian darah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jual beli darah kurang manusiawi bahkan tidak manusiawi sebab darah digunakan untuk menolong nyawa respien. Sehingga idealnya transfusi darah dilakukan karena panggilan hati nurani, dan bukan karena pertimbangan keuntungan materi semata.

E. Donor Menerima Imbalan dari Kegiatan Transfusi Darah


Masalah ini berbeda dengan jual beli darah. Karena imbalan yang diterima donor hanyalah sekedar untuk mengembalikan stamina tubuhnya sehingga kesehatan tubuhnya tetap terpelihara. Asumsi ini memang selaras dengan kaedah hukum Islam, bahwa ‘Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan memberikan bahaya kepada orang lain.’ Dan kaedah hukum Islam, bahwa la drara wa la dirara (‘Tidak boleh membahayakan orang lain, dan tidak boleh pula membahayakan diri sendiri’).
Dengan demikian, bahwa imbalan atau upah yang diterima donor tidaklah berarti yang bersangkutan telah mengkomersialkan darahnya. Sehingga imbalan bagi donor yang bertujuan untuk mengembalikan staminanya, boleh hukumnya. Karena menurut al-Sakari, imbalan yang diterima donor tidak identik dengan jual beli, sebab tujuannya bukan untuk sebagai bayaran sama sekali, melainkan sekedar untuk mengembalikan stamina donor. Jelasnya, bahwa jika donor diberikan imbalan atau penghargaan, baik materi maupun non materi tanpa ikatan transaksi, dibolehkan sebagai hadiah untuk memulihkan tenaganya.16

Prinsip ini sama  juga dengan yang dilakukan oleh Palang Merah Indonesia (PMI). Biaya yang harus dibebankan oleh PMI kepada keluarga respien saat mengambil darah di PMI, bukanlah atas dasar komersil atau untuk memperoleh keuntungan. Namun hal itu dilakukan untuk menutup biaya pemeliharaan terhadap darah yang diperoleh dari donor dan harus ditanggung PMI.

Karena itu imbalan uang yang diberikan kepada pihak Palang Merah atau keluarga respien kepada donor pada dasarnya untuk pemulihan atau menjaga kesehatan donor, sehingga tidak dilarang oleh Islam.

F. Hubungan Hukum antara Donor dengan Respien


Walau pun transfusi darah menyebabkan terjadinya perpindahan darah dari donor kepada respien, namun tidak membawa akibat hukum. Tegasnya, transfusi darah tidak menimbulkan adanya hubungan kemahraman (haramnya perkawinan) antara donor dengan respien. Karena faktor-faktor yang menyebabkan kemahraman telah ditentukan oleh hukum Islam, sesuai QS. Al-Nisa: 23

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ ءَابَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا  حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُوَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Diharamkan juga bagimu menikahi ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan ibu, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusukan kamu, perempuan-perempuan sepersusuanmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaan dari isteri yang telah kamu campuri. Tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, dan (diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’17

Ayat di atas mengandung petunjuk hukum, bahwa yang menyebabkan kemahraman, ada 3 faktor, yaitu:

Karena adanya hubungan nasab atau keturunan, misalnya hubungan anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung, sebapak/seibu;

b. Karena adanya hubungan perkawinan, misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya, atau anak tiri dari isterinya yang telah digauli dsb;

c. Karena adanya hubungan persusuan, misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang sepersusuan, dsb.18

Ketiga faktor di atas bersifat limitatif-alternatif, bukan flesibel. Dengan demikian perkawinan antara donor dengan respien diizinkan oleh Islam berdasarkan mafhum mukhalafah (pemahaman hukum sebaliknya) dari ayat 23-24 surat al-Nisa di atas. Karena itu kendati darah memegang peranan penting bagi kelangsung hidup manusia, transfusi darah seseorang (donor) ke tubuh orang lain (respien) tidak membawa akibat hukum apa pun dalam Islam, baik yang berkaitan dengan masalah perkawinan maupun warisan.19

Demikian juga meskipun donor yang menyumbangkan darahnya secara ikhlas itu dikategorikan sebagai perbuatan ibadah, donor tidak ikut memperoleh pahala seperti pahala yang diperoleh respien. Tegasnya, donor darah bukan amal jariyah yang pahalanya bertambah sesuai dengan jumlah pahala orang yang memanfaatkannya. Begitu pula donor tidak ikut memikul dosa seperti besar dosa yang diterima respien, walau pun respien tergolong orang yang durhaka kepada Allah, berdasarkan QS. Fathir: 18

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى

Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.’20

Begitu pula jika respien termasuk orang yang taat atau beramal saleh, maka donor pun tidak akan memperoleh bagian dari pahala yang diperoleh respien, karena mendonorkan darah tidak termasuk  dalam amal (sedekah) jariyah. Jadi transfusi darah berbeda dengan usaha seseorang mengajak seseorang untuk melakukan suatu amal saleh. Jika si A mengajak si B untuk mengerjakan amal kebaikan dan ajakan itu dilakukan si B, maka si A mendapat pahala (karena ajakannya melakukan amal kebaikan), ditambah sebesar pahala yang diperoleh si B (karena mengikuti ajakan si A). Sebaliknya, jika si C mengajak si D melakukan perbuatan dosa dan ajakan itu dilakukan si D, maka si C mendapat dosa (karena ajakannya untuk melakukan perbuatan dosa), ditambah sebesar dosa yang diperoleh si D (karena mengikuti ajakan si C). Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi saw:

من سن سنة  حسنة فعمل أجرها و مثل أجر من عمل بها لا ينقص من أجورهم شيأ  و من سن سنة سيأة فعمل بها كان له  وزرها و وزر من عمل بها لا ينقص من أوزارهم شيأ (رواه ابن ماجة عن المنذر بن جرير عن أبيه) 21

Barangsiapa yang mempelopori suatu amalan yang baik, maka ia mendapat pahala atas perbuatannya itu dan (ditambah) pahala orang-orang yang ikut mengerjakannya sampai kiamat. Dan barangsiapa yang mempelopori suatu amalan yang jahat, maka ia berdosa atas perbuatannya itu, dan menanggung dosa orang-orang yang ikut jejaknya hingga hari kiamat.’ (HR Ibn Majah dari al-Munzir bin Jarir dari ayahnya).

Jelasnya, bahwa dalam transfusi darah, donor hanya memperoleh pahala sesuai dengan eksistensi darah yang disumbangkannya kepada respien, tetapi tidak ikut mendapat bagian pahala seperti pahala yang diperoleh respien dari amal salehnya. Sebab amal kebaikan respien tidak ada kaitannya dengan usaha donor. Berbeda halnya dengan amal (sedekah) jariyah, unsur usaha sangatlah dominan. Yang jelas, bahwa unsur manfaat pada benda yang diberikan penyumbang dalam sedekah jariyah bersifat permanen dan kontinyu, bukan insidentil dan tidak kontinyu seperti yang terjadi dalam transfusi darah.
Karena itu pula maka seorang muslim boleh mendonorkan darahnya kepada orang non muslim, begitu pula sebaliknya. Seorang muslim yang taat beribadah boleh mentransfusikan darahnya kepada muslim yang suka berbuat dosa, begitu juga sebaliknya. Prinsip utama yang diberlakukan dalam transfusi darah adalah faktor kemanusiaan, dan bukan faktor agama. Karena itu pula menyumbangkan darah secara ikhlas melalui transfusi darah, adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan dalam Islam.

Karena prinsip ibadah dalam Islam adalah dilakukan dengan cara yang benar (tidak bertentangan dengan syariat) dan dilandasi niat (motivasi) untuk mentaati (mencari reda) Allah serta ikhlas karena Allah. Namun demikian harus dilakukuan secara proporsional dan profesional.

Rangkuman


1. Transfusi darah bukan saja dibolehkan hukum Islam akan tetapi merupakan perbuatan amal yang sangat dianjurkan dalam Islam. Dalam hal ini semata-mata didasarkan kepada pertimbangan kemanusiaan, dan relasi donor dengan respien didasarkan kepada faktor agamanya.

2. Jual beli darah boleh secara hukum, tetapi tidak etis secara moral apalagi jika respien dari kelurga kurang mampu.

3. Donor boleh menerima imbalan untuk memulihkan stamina tubuhnya.
4. Donor darah tidak menimbulkan akibat hukum, baik dalam perkawinan maupun kewarisan.
5. Walaupun mendonorkan darah merupakan ibadah, namun bukan amal jariyah, sehingga tidak berkembang pahalanya sesuai pahala yang diperoleh respien. Begitu pula donor tidak ikut menanggung dosa respien. Karena itu transfusi darah antara orang yang berbeda agama, adalah dibolehkan dalam Islam.
                                                                             
Daftar Pustaka:
Dahlan, Abdul Azis, et al. (ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 1. Cet. VI; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003.
Departemen Agama R.I. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1989.
Hasan, M. Ali.  Masail Fiqhiyah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Cet. IV; Jakarta: PT Grafindo Persada, 2000.
Ibn Rusyd. Bidayat al-Mujtahid, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Ibn Majah. Sunan Ibn Majah, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr, t,t.
Muslim. Sahih Muslim, Juz II. Beirut: Dar al-Fikr, 1992.
Al-Sayuti. Al-Asybah wa al-Naza’ir fi al-Furu, Juz I. Mesir: Matba’ah Mustafa Muhammad, 1936.
Sabiq, Sayid.  Fiqh al-Sunnah, Juz III. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Ibn Rusyd.  Bidayat al-Mujtahid, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Cet. IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Utomo, Setiawan Budi. Fikih Kontemporer. Cet. I; Jakarta: Pustaka Setia, 2000.
Zein, Satria Effendi M. Ushul Fiqh. Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2005.
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah.Cet. X;  Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997.
1M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam (Cet. IV; Jakarta: PT Grafindo Persada, 2000), h. 112.
2 Ibid., h. 113.
3Lihat Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Cet. X; Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997), h. 50. Lihat pula Abdul Azis Dahlan, et al. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 1 (Cet. VI; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003), h. 280. 
4Maqasid al-syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan tersebut berorientasi kepada kemaslahatan manusia. Lihat Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 232.
5Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1989), h. 164.
6Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (Cet. IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 119.
7Ibid., h. 132.
8Departemen Agama R.I, op.cit., h.  623.
9Muchlis Usman, op.cit., h. 138.
10Al-Sayuti, Al-Asybah wa al-Naza’ir fi al-Furu, Juz I (Mesir: Matba’ah Mustafa Muhammad, 1936), h. 61.
11Lihat Abdul Azis Dahlan, et al. (ed.), op.cit., h. 279.
12Lihat ibid.
13Lihat Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 130-131. Lihat pula Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, [t.th.]), h. 109.
14Lihat Abdul Azis Dahlan, et al. (ed.), op.cit., h. 279.
15Lihat ibid., h. 280. Lihat pula Setiawan Budi Utomo, Fikih Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Pustaka Setia, 2000), h. 207.
16Lihat Abdul Azis Dahlan,  et al. (ed.) op.cit., h. 280. Lihat pula Setiawan Budi Utomo, op.cit., h. 207.
17Departemen Agama R.I, op.cit., h. 120.
18Masjfuk Zuhdi, op.cit., h. 51-52.
19Lihat Abdul Azizs Dahlan, et al. (ed.), op.cit., h. 280.
20Departemen Agama R.I, op.cit., h. 
21 Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz I (Bayrut: Dar al-Fikr, [t.th.]), h. 74.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama