Mengapa Para Ilmuan Banyak Yang Atheis Atau Sekuler?

Mengapa Para Ilmuan Banyak Yang Atheis Atau Sekuler?

Fikroh.com - Semakin dalam seseorang mengkaji ilmu pengetahuan dan alam ini, maka akan semakin dalam keimanannya kepada Allah swt, sebab mereka melihat dengan “mata kepala” sendiri keselarasan dan ketepatan semua proses yang terjadi di alam ini. Dan semua itu mustahil terjadi dengan sendirinya sebagai peristiwa kebetulan, sebab sebuah keteraturan pastilah ada yang mengaturnya. Sebuah proses kebetulan hanya mungkin terjadi sesekali pada proses sederhana, tetapi keteraturan pada proses yang sangat kompleks secara kontinyu hanya terjadi pada proses yang diatur atau dikendalikan atau terencana dengan sangat baik. Pengendali dan perencana alam yang sangat menakjubkan ini pastilah sesuatu yang Maha Cerdas dan Maha Sempurna. Dialah kausa prima, ujung dari segala ujung pencarian, sumber dari segala sumber energi, asal dari segala eksistensi, Dialah Pencipta alam semesta, Allah swt.

Dengan pernyataan tersebut, mestinya para ilmuan itu merupakan orang-orang dengan keimanan yang menghunjam, tetapi mengapa realitasnya justru banyak ilmuan yang atheis atau minimal tidak menganggap penting agama? Apa yang sebenarnya terjadi pada dunia ilmu pengetahuan sekarang?

*****

Kebanyakan orang sering menjawab bahwa mereka atheis atau sekuler karena belum mendapat hidayah. Meskipun jawaban ini mungkin cukup memuaskan bagi sebagian orang, tetapi bagi sebagian orang lain belum cukup memuaskan. Sebab, hidayah merupakan proses kompleks yang hanya diketahui hasil akhirnya. Sebagian orang terkadang ingin tahu prosesnya dan alasan yang lebih rasional di balik suatu fenomena, termasuk fenomena banyaknya ilmuan yang atheis atau minimal menganggap bahwa agama bukan sesuatu yang penting.

Dr. Salim Frederick dalam bukunya yang bejudul “Political and Cultural Invasion” menganalisis bahwa fenomena banyaknya ilmuan yang atheis atau tidak menganggap penting agama sangat erat hubugannya dengan paradigma ilmu yang mereka yakini dan ini merupakan bagian integral dari filsafat ilmu saat ini. Salah satunya, ilmu pengetahuan telah direduksi hanya untuk menjawab pertanyaan “how (bagaimana)”, tetapi dianggap tabu untuk menjawab “why (mengapa)”. Bahkan seandainya, pertanyaan “why” diajukan, itu pun hanya sekedar untuk membantu menjawab pertanyaan “how”. Pertanyaan tentang “how” inilah yang dikejar dan diteliti dengan sangat mendalam oleh para ilmuan. How did things happen? How will things happen? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang selalu berkecamuk pada pikiran para ilmuan.

Beberapa Fisikawan mungkin memiliki pertanyaan yang sangat mengagetkan, misalnya: Bagaimana alam semesta diciptakan? Terus terang pertanyaan ini merupakan sesuatu yang luar biasa, pertanyaan yang teramat sangat rumit. Perlu diketahui bahwa pertanyaan tersebut bukan untuk sekedar gaya-gayaan para Fisikawan, tetapi mereka benar-benar mencurahkan segala pikiran, tenaga, dana dan semua potensinya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Yang sangat menarik, berkat kerja keras mereka, setiap saat mereka mendapatkan serpihan-serpihan jawaban, lalu serpihan-serpihan jawaban itu mereka rangkai secara terus-menerus tanpa kenal lelah, untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana alam semesta diciptakan? Meski demikian, mereka tak pernah ingin menjawab pertanyaan lanjutannya: Mengapa alam semesta diciptakan?

Para Fisikawan dengan bidang penelitian yang lain, para Ahli Kimia, para Ahli Biologi, dan semua ilmuan juga sama. Mereka sangat serius dan mencurahkan segala potensi yang dimilikinya untuk menjawab pertanyaan mereka masing-masing tentang “how”, tetapi tidak tentang “why”.

Dari pertanyaan “how” memang telah menghasilkan perkembangan sains yang sangat mengagumkan. Einstein telah memberikan penjelasan yang mengagumkan tentang ruang-waktu, Hubble telah menjelaskan dengan sangat mencengangkan tentang Big-Bang dan pengembangan alam semesta dari pergeseran merah frekuensi radiasi bintang-bintang, Crick dan Watson telah menjelaskan tentang sangat menakjubkan tentang kompleksitas pewarisan sifat dan perkembangan makhluk hidup dengan bentuk spiral molekul DNA, dan beribu-ribu fenomena lain yang sangat menakjubkan. Bukan hanya sains, tetapi dengan menjawab pertanyaan “how” juga telah menghasilkan teknologi-teknologi canggih yang tak terlintas dalam pikiran generasi sebelumnya. Kini telah terdapat teknologi yang memungkinkan kita untuk mengobrol dengan teman dan keluarga yang berada di benua yang berbeda, tercipta “dunia maya” dengan media sosial, pesawat-pesawat ruang angkasa, berbagai organ tubuh tiruan, dan teknologi tinggi lainnya.

Namun demikian, pertanyaan dengan “why” tidak terjawab dengan memadai. Memang, para ilmua juga menjawab pertanyaan tentang “why”, tetapi hanya “why” yang berhubungan langsung dengan “how”. Misalnya pertanyaan: Mengapa apel jatuh? Dijawab oleh Newton, karena gravitasi bumi. Mengapa ada gravitasi bumi, dijawab Eisntein karena kehadiran massa benda yang mendistorsi ruang (space). Mengapa kehadiran massa suatu benda mendistorsi ruang? Belum terjawab hingga saat ini. Meskipun jawaban Newton dan Einstein tampak sebagai jawaban tentang “why”, tetapi sebenarnya masih jawaban tentang “how” atau bagaimana alama ini bekerja. 

Pertanyaan tentang “why” yang sebenarnya belum terjawab, seperti pertanyaan: Mengapa alam semesta ini ada? Mengapa dunia ini ada? Mengapa  ada gravitasi? Mengapa ada ruang dan waktu? Mengapa manusia hidup? Mengapa manusia dilahirkan dan akhirnya mati? Mengapa fenomena alam harus mengikuti hukum tertentu?

Semua pertanyaan “mengapa” ini memang dibiarkan tidak dijawab oleh para ilmuan. Ini pun memunculkan pertanyaan: Mengapa mereka tidak mau menjawabnya?

*****

Mengapa mereka tidak mau menjawab pertanyaan “mengapa”? Sebab mereka meyakini bahwa dalam filsafat ilmu, ilmu itu telah diklasifikasi menjadi berbagai cabang ilmu dan seorang ilmuan harus fokus dengan spesialisasi ilmu tertentu.

Seorang ilmuan fokus pada satu cabang ilmu. Mereka, setiap hari bahkan setiap saat, bergulat dan bergelut dengan spesialisasi ilmunya. Dengan demikian mereka menjadi pakar (expert) di bidang-nya masing-masing. Karena sangat fokus ini mereka mampu menemukan hal-hal baru pada bidangnya yang sangat mengagumkan. Seorang ilmuan ahli cacing misalnya, tiap hari ia bergulat dengan cacing, hingga “mengetahui” dengan detil tentang cacing, ibaratnya dari “ujung kuku hingga ujung rambutnya”. Tapi jangan pernah tanya mereka tentang semut. Dia akan menjawab dengan datar: “saya bukan ahli semut”. Demikian juga sikap pakar-pakar pada bidang yang lain. Sikap ini memang sangat positif, sehingga hanya hanya orang yang ahli di bidangnya yang akan bicara memberi penjelasan. Sementara orang yang tidak ahli di bidangnya, ia akan diam mendengarkan, tidak akan banyak bicara, apalagi “memberi fatwa” tanpa bekal ilmu yang cukup.

Para ilmuan, mereka sangat ahli tentang fenomena fisis pada bidangnya masing-masing. 

Kembali ke pertanyaan “mengapa”, menurut mereka adalah pertanyaan metafisika, bukan pertanyaan fisika (fisis). Oleh karena itu, pertanyaan tentang “mengapa”, jawabannya bukan di ilmu pengetahuan, tetapi di agama. Jadi, sekulerisme memang menjadi paradigma ilmu. Jika selama ini kita mengetahui sekulerisme itu ada dalam politik-ekonomi-hukum, maka sekuler juga mejadi paradigma ilmu. Sains-teknologi dan agama itu dua hal yang berbeda. Sains dan teknologi itu berurusan dengan fenomena fisis, sementara fenomena meta-fisis itu hanya berhubungan dengan agama. Agama dan sains-teknologi tidak ada hubungannya sama sekali. 

Terdapat banyak fenomena dimana jawaban agama dan sains-teknologi bahkan bertolak belakang terhadap suatu fenomena. Oleh karena itu mereka harus menerima “takdir” bahwa sains-teknologi dan agama memang dua hal yang berbeda, yang tidak berhubungan sama sekali. Keduanya terpisah sama sekali.

Sekedar contoh menurut doktrin “agama” (yang ada di Barat), bumi adalah pusat tata surya (geosentris), sebab manusia adalah makluk utama, dan makhluk utama pastilah ada di tempat utama, dan tempat utama pastilah sebagai pusat dan dikelilingi yang lain, bukan mengelilingi yang lain. Karena itu, bumi yang dihuni makhluk utama haruslah dikelilingi bulan, matahari, dan planet-planet yang lain. Sementara itu, sains yang dasarnya adalah observasi dan penarikan kongklusi secara logis menjelaskan bahwa bulan memang mengitari bumi, tetapi matahari tidak mengelilingi bumi. Bumi dan planet-planet yang lain justru berputar  matahari (helio-sentris). 

Contoh yang lain, menurut doktrin “agama” (yang ada di Barat) dikenal konsep trinitas, dan salah satunya adalah tuhan anak, yang lahir sekitar 2000 tahun yang lalu. Sementara menurut sains berdasarkan pengamatan teropong Hubble bahwa alam muncul melalui fenomena Big-Bang yang terjadi milyaran tahun yang lalu. Jika tuhan anak baru lahir 2000 tatun atau anggap saja jauh lebih lama sekitar 20.000 tahun, lalu siapa yang memunculkan alam semesta dan megaturnya dengan keteraturan yang menakjubkan dalam segala aspeknya sejak milyaran tahun lalu.

Inilah misalnya yang dikatakan dengan jujur oleh Fisikawan terkenal Lipson terkait dengan asal-usul alam semesta: “Satu-satunya penjelasan yang dapat diterima adalah PENCIPTAAN. Saya mengetahui bahwa hal ini adalah SANGAT HARAM dan TABU bagi ahli Fisika, bahkan bagi saya sekalipun, tetapi kita tidak bisa menolak sebuah teori yang tidak kita sukai jika bukti-bukti eksperimental benar-benar mendukungnya”. Mereka percaya pencipta, tetapi pencipta alam yang sebenarnya, bukan pencipta versi “agama” yang dinilainya irasional dan hanya kumpulan doktrin. 

Dalam konstruksi paradigma Barat, “agama” dan sains memang dua hal yang berbeda dengan doktrin-doktrin dan filosofi yang berbeda. Orang harus memilih apakah percaya “agama” atau percaya sains. Orang tidak bisa percaya keduanya, karena keduanya memiliki doktrin yang saling kontradiktif. Bisa ditebak meski orang awam lebih percaya “agama”, tetapi para ilmuan tentu lebih percaya sains dan teknologi yang diperoleh dari hasil pengamatannya sendiri dan kolega-koleganya yang memiiki paradiga yang sama. Itulah mengapa para ilmuan tampak sebagai orang-orang “atheis” dan “sekuler” yang cenderung tak peduli dengan agama.

Karena itu, para ilmuan berusaha menghindari untuk menjawab pertanyaan tentang “why”, sebab itu pertanyaan tentang metafisika. Itu pertanyaanya “agama”, dan sangat tabu ilmuan bicara “agama”. Dengan bahasa “halus” mereka menjawab bahwa para ilmuan tidak fokus tentang urusan metafisika dan agama. Namun, sebagian ilmuan yang berani berterus terang, mereka menganggap agama hanyalah kumpulan pengabdi mitos, kumpulan orang-orang tak rasional, dan kumpulan orang-orang dengan pemikiran jumud.

Begitulah kira-kira gambaran paradigma ilmu pengetahuan saat ini. Paradigma tersebut tersebut telah mengkerangkeng ilmu dan para ilmuan pada zona sempit yang bersifat sangat teknis. Meskipun menghasilkan ledakan sains dan teknologi yang luar biasa, paradigma tersebut telah memenjara para ilmuan pada khususnya dan manusia pada umumnya untuk tidak berani menerobosnya pada pertanyaan yang membebaskan, yaitu: Mengapa dunia ini ada? Mengapa manusia hidup? Dan untuk apa hidup ini? 

Konsekuensinya di Barat dan di dunia yang menjadikan Barat sebagai kiblat, terciptalah masyarakat atheis dan sekuler secara masif. Ini bukan fenomena yang terjadi secara kebetulan, tetapi terjadi secara sistematis oleh paradigma ilmu yang mereka gunakan.

*****

Tentu saja di mana pun selalu ada orang-orang yang berpikir out of the box, keluar dari zona aman dan nyaman, untuk kemudian menembus batas-batas yang dipagari oleh paradigma ilmu dan dianggap tabu oleh komunitas dan masyarakatnya.

Dr. Maurice Bucaille, misalnya. Dia berani dianggap tabu dan menembus batas pagar paradigma ilmu. Beliau beusaha meneliti secara obyektif, kebenaran sains dan kitab-kitab suci agama-agama. Peneliian dan penelusuran itu beliau tulis dalam bukunya yang terkenal “ La Bible le Coran et la Science”.

Dalam penelitiannya, Ia menempatkan Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan Al-Qur’an yang dianggap sebagai kumpulan kitab agama-agama samawi. Menurut dia, alam adalah ciptaan Sang Pencipta dan kitab suci adalah firman Sang Pencipta. Oleh karena itu keduanya pasti menghasilkan kesimpulan yang sama pada fenomena yang sama. Tentu saja, sains adalah sesuatu yang progresif yang terus berkembang, demikian pula penafsiran kitab suci. Namun, ada suatu titik dimana hal-hal fundamental dianggap proven dan tidak mengalami perkembangan lagi kecuali pada hal-hal yang bersifat permukaan. Pada titik itulah, ia membandingkannya. Ia membandingkan bukan hanya satu fenomena alam, tetapi banyak fenomena alam yang dianggap proven dan sampai pada titik yang diyakini kebenarannya.

Dari penelitian tersebut, Ia memeperoleh kesimpulan bahwa terdapat keselarasan yang mengagumkan antara sains modern dengan al-qur’an, sebaliknya ia mendapat banyak fenomena yang kontradiktif antara sains modern dengan kitab suci yang lain. Dengan demikian, al-qur’an memang kitab suci yang berasal dari Sang Pencipta. Sedangkan selainnya, mungkin berasal dari Sang Pencipta, tapi mungkin mengalami perubahan-perubahan secara historis oleh pihak-pihak tertentu.

Terdapat ribuan ayat al-quran yang menantang manusia untuk mengkaji alam secara seksama dan mengkritisi kebenaran al-qur’an. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi. Silih bergantinya malam dan siang. Berlayarnya bahtera di laut yang membawa apa yang berguna bagi manusia. Dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering). Dan Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan. Dan pengaturan angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sesungguhnya (semua itu) terdapat tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (TQS. Al-Baqarah [2]: 164). “Katakanlah: (‘Kalau benar apa yang kamu katakan), maka cobalah datangkan sebuah surat yang menyerupainya (al-qur’an)” (TQS. Yunus [10]: 38).

Oleh karena, menganggap semua agama bertentangan dengan sains modern, merupakan cara pandang sempit yang dikungkung oleh opini sempit dan paradigma yang perlu dikoreksi. Agama itu tidak hanya satu, yaitu yang dominan di Barat. Di luar itu ada agama yang berbeda dengan agama yang dominan di Barat, yaitu Islam.

Namun, apakah para ilmuan menerima Islam begitu saja? Meski banyak yang akhirnya menemukan kebenaran di dalam Islam, tetapi banyak yang justru menganggap Islam lebih hina dibanding agama yang eksis di Barat. Jika di Barat, agama yang eksis hanya dianggap bertentangan dengan Sains, Islam lebih parah lagi sudahlah dianggap kontradiksi dengan Sains, Islam juga mengajarkan terorisme, pembunuhan, konflik, peperangan dan segala atribut negatif lainnya.

Inilah salah satu medan dakwah fikriyah yang juga harus dipikirkan oleh umat Islam. Atheisme dan sekulerisme tidak bisa diluruskan hanya dengan marah dan gebar-gembor. Atheisme, sosialisme, dan sekulerisme ini merupakan suatu paham tentang kehidupan yang bersemanyam dengan kuat di hati dan pikiran para pengikutnya. Pemikiran tersebut memiliki bangunan dan pondasi yang menopangnya. Meskipun kritik pada sebagian aplikasi praktisnya terkadang berdampak, tetapi selama paradigma dan fondasinya tidak berubah, maka secara keseluruhan tidak akan ada perubahan apa-apa. 

Satu-satunya cara untuk mencabut dan membongkar paham tersebut hanya dengan menghadirkan pemahaman ideologi Islam dengan bahasa yang dapat dipahami mereka. Pada titik ini, battle for minds and hearts adalah battle yang sebenarnya. Inilah sebenarnya esensi dari dakwah fikriyah wa siyasiyah. Wallahu a’lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama