Membayar Hutang Ketika Nilai Uang Kertas Terjadi Inflasi

Membayar Hutang Ketika Nilai Uang Kertas Terjadi Inflasi

Fikroh.com - Islam mengatur berbagai aspek kehidupan manusia melalui Al-Quran dan hadis, termasuk tentang hutang dan piutang.

Dalam bahasa Arab, istilah hutang dikenal sebagai Al-Qardh, yang secara harfiah berarti memotong. Secara syari, ini merujuk pada pemberian harta dengan dasar kasih sayang kepada orang yang membutuhkan, dengan harapan bahwa harta tersebut akan dikembalikan. Oleh karena itu, hutang juga dapat dipahami sebagai pinjaman.

Hutang di dalam Islam memiliki aturan yang jelas karena merupakan bagian penting dari ekonomi umat. Hutang tidak hanya dilakukan oleh mereka yang tidak mampu, tetapi juga oleh individu yang berkemampuan finansial. Berbagai masalah dan konflik sering kali muncul akibat masalah hutang. Untuk itu, Islam memberikan panduan tentang isu-isu yang dapat memengaruhi masyarakat, meskipun rincian teknis dapat bervariasi.

Membayar hutang ketika nilai uang kertas terjadi inflasi


Perubahan nilai uang kertas (inflasi) adalah masalah yang dapat mengganggu transaksi, terutama jika uang tersebut dipinjam atau dihutang dan kemudian nilainya turun. Dalam hal ini, ulama memiliki dua pandangan mengenai cara penyelesaian utang dengan uang kertas:

1. Pandangan Mayoritas Ulama

Menurut mayoritas ulama dari keempat mazhab, utang harus dilunasi dengan uang kertas yang sama dalam jenis, jumlah, dan kualitas tanpa penambahan atau pengurangan, untuk menghindari riba.

Semisal: pada tahun 2010 meminjam uang 1 JT untuk beli kambing,  maka pada saat 2023 harus mengembalikan uang 1 JT, meskipun pada 2023 uang 1jt tidak bisa buat beli kambing karena terjadi inflasi.

2. Pandangan Abu Yusuf dan Beberapa Ulama' Maliki

Abu Yusuf berpendapat bahwa utang harus dilunasi dengan nilai uang pada hari pinjaman dilakukan, atau pada saat penerimaan utang, dan harus membayar sesuai nilai uang pada hari transaksi jual beli. Pandangan ini juga dipegang oleh beberapa ulama Maliki (seperti al-Rahuni) jika perubahan nilai sangat signifikan, sementara jika perubahan nilai kecil, maka harus dibayar dengan jumlah yang sama.

Pandangan kedua dianggap lebih tepat untuk menjaga kepentingan masyarakat dan menghindari kerugian.

Semisal: pada tahun 2010 meminjam uang 1 JT untuk beli kambing, maka pada saat th 2023 harus mengembalikan uang 3 JT, karena pada th 2023 harga kambing 3 JT dan ini sudah terpaut banyak dengan harga kambing th 2010.

Menurut kami, pendapat kedua ini adalah solusi apabila terjadi cekcok antara debitur dan kreditur ketika nilainya sudah terpaut jauh. Wallahu A'lam.

Referensi: Al ahkam Al maliyah Al mu'assiroh Al haditsah, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili, hal 150.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama