Apakah Meyakini Tuhan Harus Dibuktikan Secara Empiris?

Apakah Meyakini Tuhan Harus Dibuktikan Secara Empiris?

Fikroh.com - Ilmu empiris adalah pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman, pengamatan, dan eksperimen yang dilakukan secara nyata berulang kali. Hasilnya adalah kesimpulan yang dapat diukur dan diuji benar salahnya.

Misalnya kita baca di bungkus mie instan bahwa mie itu harus dimasak dalam air mendidih selama 3-5 menit. Pengetahuan tentang durasi memasak mie instan ini didapat dari pengamatan dan eksperimen berulang kali yang bertujuan melihat berapa lama mie tersebut bisa matang ideal dalam air mendidih. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat dan diukur sendiri kenyataannya di dapur anda semua. Inilah yang dimaksud dengan pengujian empiris. Ini juga yang oleh orang barat disebut sebagai metode ilmiah. Dengan cara ini, semuanya terukur, teramati, bisa diuji coba di waktu berbeda dan hasilnya akan sama selama tidak ada faktor lain yang membuatnya menghasilkan kesimpulan lain.

Lalu apakah kesimpulan rasional harus diuji secara empiris melalui apa yang disebut sebagai "metode ilmiah" di atas? Dalam ilmu kalam, pertanyaan ini sudah sangat basi sebab sudah dijawab lebih dari satu milenium lalu seiring lahirnya ilmu kalam itu sendiri. Jawabannya adalah tidak perlu dan tidak pada tempatnya memakai cara tersebut.

Metode ilmiah dalam pengertian di atas, saya ulangi bahwa ini hanya dalam pengertian di atas yang serba bergantung pada pengamatan inderawi dan repetisi, hanyalah berlaku dalam ranah hukum 'adiy atau putusan yang berlandaskan pada pengamatan pada fenomena hukum alam. Dalam semua hukum 'adiy, memang kesimpulannya harus melalui eksperimen dan repetisi (pengujian berulang) agar bisa diputuskan sebagai putusan yang valid secara ilmiah.

Namun, dalam hal yang sifatnya hukum aqli atau putusan rasio murni, anda sama sekali tidak membutuhkan eksperimen, pengamatan atau pun repetisi. Kesimpulannya langsung didapat dengan memenuhi satu syarat saja, yaitu berpikir sehat. Selama anda mampu berpikir sehat, maka putusan hukum aqli pasti anda pahami.

Contoh hukum aqli adalah semisal 2:2=1, angka yang tidak genap pastilah ganjil, setiap objek fisik pasti punya ukuran dan volume, dua benda besar yang berbeda mustahil menempati ruang yang sama persis, keberadaan jebakan hewan di hutan menunjukkan pasti ada pemburu yang memasangnya dan keberadaan desain menunjukkan pasti ada desainernya. 

Anda tidak perlu melakukan eksperimen "ilmiah" untuk sampai pada semua kesimpulan rasional itu. Justru menunjukkan bahwa anda bodoh, dungu dan tidak ilmiah kalau pengetahuan aqli (rasional) tersebut menurut anda masih harus diuji dan diamati berulang kali. Hal yang ilmiah dalam kasus putusan rasional adalah ketika dipahami dengan penalaran sehat, bukan dengan diuji seperti halnya hukum 'adiy. Jadi, putusan rasional (hukum aqli) sebenarnya juga pengetahuan ilmiah, tapi ilmiah dalam ranah yang berbeda dari putusan eksperimental (hukum 'adiy) sehingga cara mengukur keilmiahannya juga berbeda.

Dengan demikian, kata ilmiah lebih umum dari sekedar kata empiris. Ada teori dan konsep yang disebut ilmiah meskipun belum berupa fakta empiris tapi masih berupa hipotesis rasional sehingga masih disebut sebagai teori. Namun, demikian tetap disebut ilmiah. 

Baru dikatakan tidak ilmiah ketika misalnya ada yang menyimpulkan bahwa secara rasional angka yang tidak ganjil belum tentu genap, keberadaan jebakan di hutan belum tentu menunjukkan ada pemburu yang memasangnya, keteraturan dalam hukum fisika menunjukkan tidak ada pihak yang merancangnya dan seterusnya. Ini semua adalah putusan yang cacat nalar. Tentu saja pembuktian cacatnya tidak memakai uji laboratorium atau eksperimen tapi dengan uji argumen yang logis. 

Ilmu teologi islam (ilmu kalam) yang mengkaji tentang pembuktian adanya Tuhan termasuk dalam ranah rasio murni. Kadar ilmiahnya bukan diukur melalui eksperimen inderawi tapi melalui nalar yang sehat. Alam semesta adalah desain sehingga pasti ada Desainernya, yakni Tuhan. Ini adalah putusan nalar sehat yang syaratnya hanya satu, yakni punya nalar sehat. Kalau tidak percaya pada kesimpulan rasional ini berarti nalarnya sakit.

Tapi apakah berarti teologi islam sepenuhnya tidak terikat pada bukti-bukti empiris? Jawabannya adalah tidak demikian. Justru sebelum muncul putusan rasional (hukum aqli) di atas, awal mulanya adalah pengamatan empiris yang tentu saja indrawi. Kita lihat bahwa alam semesta terdiri dari banyak unsur dengan ciri dan bentuk tertentu yang saling melengkapi satu sama lain, dari situ secara rasional kita tahu bahwa alam semesta adalah sebuah desain. Kemudian putusan rasional terakhirnya adalah bahwa setiap desain pasti ada desainernya. Dengan demikian maka Tuhan pasti ada. Dalam istilah teknis ilmu kalam, setiap takhshis pasti ada mukhasshisnya. 

Sebab itulah bertaburan ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk melakukan observasi atau pengamatan terhadap semesta dengan teliti dan menggunakan akal sehat. Lihat saja gunung-gunung itu, daratan, pepohonan benda langit, hewan-hewan bahkan manusia sendiri, semuanya merupakan tanda-tanda yang membuktikan bahwa Tuhan itu pasti ada dan bahwa Tuhan Maha Kuasa atas segalanya. Itulah makna yang ditegaskan dalam berbagai tempat dalam al-Qur’an. Di sisi ini semuanya serba empiris. Tapi berhenti di sisi empiris saja bukanlah ciri manusia berakal sehingga harus diteruskan pada sisi rasio murni agar pengetahuannya utuh.

Semoga bermanfaat.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama