5 Pelajaran Penting Dari Perang Badar

5 Pelajaran Penting Dari Perang Badar

Fikroh.com - Prajurit Badar memiliki kedudukan tersendiri dalam Agama Islam. Kemuliaan mereka diposisikan setelah 10 sahabat yang dijanjikan masuk surga, setelah khulafaurrasyidin barulah Nabi Saw. Itu artinya Peristiwa Badar dan orang-orang yang didalamnya memiliki sorotan khusus dalam agama.

Sebagai bukti, kita bisa lihat kisah Hatib bin Abi Ba’ta’ah. Ringkasnya, karena tertangkap mengambil dan menyebarkan strategi perang dalam Fathul Makkah, ia hendak dihabisi oleh Umar bin Khattab. Namun Rasul melarangnya, dengan alasan ia adalah prajurit Badar.

Berikut 5 pelajaran penting yang bisa kita ambil dari perang badar.

Pelajaran Pertama, Allah akan selalu menang atas apa yang Ia Kehendaki.


Hal ini bisa kita lihat saat Allah mengganti niat baik mereka, dari yang awalnya hendak merebut kembali harta menuju hal yang lebih tinggi. Hal tersebut adalah mendakwahkan agama Allah, berjihad di jalan-Nya, juga pengorbanan secara jasmani, ruhani dan harta demi menegakkan kalimat Allah SWt. Hingga mereka pun mendapatkan kemenangan, bahkan keuntungan yang lebih besar dari apa yang mereka harapkan diawal, yaitu merebut kembali harta milik mereka pada kafilah Abu Sufyan.

Inilah pendidikan Ilahi yang Allah siapkan kepada generasi awal Islam. Meski pada awalnya kaget karena harus berperang dengan kafir Quraisy Makkah -yang mana ini di luar rencana. Namun pada akhirnya mereka tunduk dan patuh atas perintah Allah dan Rasul-Nya. Salah satu dari mereka bahkan berucap: “…Kalau harus masuk ke dalam laut pun kami siap, wahai Rasulullah”

Pelajaran Kedua, Dianjurkannya Bermusyawarah 


Perang badar telah mengajarkan satu tradisi penting bagi kaum muslimin yaitu musyawarah dalam perkara-perkara yang tidak ada ketentuannya dalam agama, atau menyangkut kemaslahatan bersama. Dalam sejumlah moment di peristiwa Badar, Rasulullah kerap bertanya kepada sahabat meminta pendapat. Salah satunya saat rencananya harus diubah karena penyerangan yang dilakukan oleh kaum Kafir Quraisy Makkah.

Ketiga, Pentingya bermunajat meminta kepada Allah, kendati apa yang kamu inginkan bisa dipastikan tercapai.


Dalam perang Badar, Rasul sudah pada tahap yakin akan kemanangan. Ini bisa dilihat saat beliau berkata, “di sinilah tempat wafatnya fulan, fulan dan fulan…” Namun pertanyaannya, mengapa beliau masih bersikukuh berdoa sepanjang malam kala itu di dalam tenda agar Umat Muslim diberikan kemanangan? Sampai-sampai Abu Bakar merasa kasihan dan berkata, “sudah cukup ya Rasulullah, sesungguhnya Allah akan menepati janji-Nya kepada Engkau”

Jawabannya adalah, bahwa keyakinan Nabi Muhammad atas sebuah kemenangan, merupakan keyakinan yang kuat juga atas apa yang dijanjikan oleh Allah kepada beliau. Tidak diragukan lagi Allah tidak mungkin melanggar janjinya (innallaha la yukhlif al-Mi’aad).

Adapun tenggelamnya beliau dalam doa, bersimpuh dan bermunajat mengangkat tanganya ke langit, itu merupakan kewajiban seorang hamba yang karena itulah hamba diciptakan. Itulah “harga” kemenangan yang sejati.

Maka, teruslah bermunajat kendati apa yang kamu inginkan sudah bisa dipastikan tercapai. Syekh Ramadhan Al-Buthi pernah berpesan, berdoalah karena doa itu sendiri. Jangan jadikan doa sebagai perantara agar keinginanmu tercapai. Sebab jika nantinya doamu sudah terkabul, maka kau akan meninggalkan doa itu.

Hamba adalah sifat terbesar yang mengatarkan seesorang mendekat kepada Allah. Pencapaian apapun, meski semua perantaranya sudah tersedia dan bisa dipastikan tercapai, tetap Allah-lah yang memberikan itu. Jangan sampai kesombongan dan keangkuhan membuat Allah murka. Apalah nilai sebuah pemberian jika Sang Pemberi itu tak peduli, bahkan marah.

Keempat, memahami bahwa tidak seluruh tindakan Nabi itu masuk dalam kategori tasyri’.  


Hal ini dapat dilihat tatkala Hubab bin Al-Mundzir memberi usulan kepada Nabi untuk berhenti di mata air yang lebih dekat dengan musuh. Itu artinya pilihan Nabi atas tempat sebelumnya bukanlah wahyu dari Allah Swt.

Masih banyak lagi perbuatan dan gerak-gerik Nabi yang masuk ke dalam kebiasaan Nabi seperti meminum minuman segar (al-Hulw al-Baarid), berkhutbah menggunakan tongkat dan lain sebagainya. Sejumlah ulama mengatakan hal tersebut tidak menjadi kewajiban atas umatnya. Nabi pernah berkata: “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu” (antum a’lamu biamri dunyaakum). Pembahasan lengkap ini bisa dilihat di buku-buku ushul fikih.

Kelima, mempercayai bantuan langit yang benar adanya, dan kemenangan hanyalah dari Allah. 


Peristiwa Badar merupakan bukti nyata bagaimana Allah memastikan kehendak-Nya dengan mengirimkan bala tentara. Kendati demikian, Allah ingin mengajarkan bahwa dari-Nyalah sebuah kemenangan. Adapunu bala tentara itu hanya untuk membuat mereka senang. Allah berfirman dalam al-Quran:

“(Ingatlah) ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu Dia mengabulkan(-nya) bagimu (seraya berfirman), “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu berupa seribu malaikat yang datang berturut-turut.”

“Allah tidak menjadikannya (bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Qs. Al-Anfal [8]: 9-10)

Dua hal yang perlu dicatata. Pertama, telah salah mereka yang mengartikan bahwa bala bantuan malaikat yang terdapat di perang Badar merupakan kekuatan maknawi atau ‘suntikan’ ruh. Sebab ayat tersebut secara gamblang menyebutkan jumlah, yaitu 100, yang mana menunjukan ada wujud fisiknya kendati kita tidak dapat melihatnya.

Kedua, pentingnya mengimani bala bantuan Allah dalam bentuk apapun. Kendati demikian, harus meyakini bahwa dari Allah-lah pertolongan tersebut. bukan yang lainnya. Semoga bermanfaat.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama