Oleh: Bana Fatahillah
Fikroh.com - Istilah the Abrahamic Faiths (agama-agama Ibrahim a.s) populer di tahun 1979. Tepatnya pasca diadakannya The Muslim-Jewwish-Christian Cconference (MJCC) atau Konferensi Muslim-Yahudi-Kristen yang diselenggarakan oleh American Academy of Religion (ARR) di kota New York. Konferensi ini hendak megupayakan satu komunikasi antara ilmuan-ilmuan Yahudi, Kristen dan Islam mengenai persoalan Agama.
Dalam diskursus Studi Agama, ideologi ini sejatinya hendak membangun paradigma kesatuan antar 3 agama. Mark Silk dalam tulisannya “Agama-Agama Abrahamik sebagai Konsep Modern” mengatakan bahwa konsep Abrahamic religions berakar pada teologi Kristen. Pada abad ke-19, para Teolog Protestan membangun gagasan 'Perjanjian Ibrahim' (Abrahamic Covenant) dalam mengembangkan ide tentang hubungan antara Yudaisme, Kristen, dan Islam.
Menurutnya, konsep agama-agama Ibrahim tidak menghalangi keistimewaan suatu agama atas agama lainnya. Ini justru memberikan cara yang efektif bagi para cendekiawan dan orang awam untuk mengeksplorasi landasan bersama dari ketiga agama tersebut.
Dengan alasan memiliki kesamaan, baik secara historis maupun ideologiS, maka Istilah Abrahamic Faiths pun oleh kalangan pluralis diklaim sejalan dengan istilah al-Qur’an yaitu Millah Ibrahim. Syamsuddin Arif dalam INSISTS Saturday Forum (INSAF) pada (27/7/2024) mengutip tulisan Azyumardi Azra dalam harian Republika:
“Saya melihat Abrahamic Faiths’ yang dalam al-Qur’an disebut sebagai millah Ibrahim memiliki banyak kesamaan dan afinitas; lebih dari itu ketiganya juga berbagi sejarah yang sama. Tetapi, tentu saja, masing-masing agama Nabi Ibrahim tersebut unik dalam dirinya sendiri. Lagi pula, para penganut ketiga agama itu ibarat kakak-adik, juga terlibat dalam persaingan, kecemburuan, konflik bahkan perang”
Bantahan dan Jawaban
Ideologi ini terkesan memukau saat hendak mendamaikan tiga agama. Namun jika diteliti dalam diskursus para pengusung Abrahamic Faiths, maka akan terlihat kekeliruan dan bahanya.
Dalam bukunya Al-Ibrāhimiyyah Baina Khidā’ Al-Musthalahāt wa Khuturat Al-Tawajjuhāt dijelaskan bahwa ideologi Abrahamic Faiths mengantarkan pada paham pluralisme, bahkan lebih dari itu akan mengantarkan pada kekufuran.
Pada awalnya ia mencoba menjatuhkan perbedaan fundamental (al-Fawāriq Al-Jauhariyyah) dalam setiap kepercayaan baik Yahudi, Kristen dan Islam. Kemudian mempertemukan poin-poin kesamaan yang ada antar ketiganya. Hingga pada akhirnya pengakuan atas kebenaran itu semua. Inilah paham pluralisme. (Lihat Al-Ibrahimiyyah, hal. 13-14)
Jika demikian adanya, maka agama tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral. Semua terkesan sama dan tidak ada lagi kebenaran mutlak bagi satu agama. Agama seperti pakaian yang seseorang bisa menggantinya kapanpun sesuai seleranya. Padahal Islam menyatakan bahwa mengakui ada tuhan selain Allah atau syirik adalah dosa terbesar, dan agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam (Qs. Ali Imran: 19)
Ideologi Abrahamic Faiths juga dapat mencabut keyakinan muslim bahwa Islamlah satu-satunya yang benar, dan al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang terselamatkan dari penyelewengan. Sebab secara tidak langsung Abrahamic Faiths menuntut pengakuan kebenaran dalam keyakinan lain. Lantas apa nilai dari kebenaran Islam? (Lihat Al-Ibrahimiyyah, hal. 57-59)
Statement yang menyatakan Abrahamic Faiths sebagai millah Ibrahim pun jelas keliru. Ibnu Katsir mengartikan Millah Ibrahim dalam surat An-Nisa 125 dengan “apa yang diyakini oleh Nabi Muhammad dan para pengikutnya hingga hari akhir”. Inilah ajaran tauhid.
Al-Qur’an pun menegaskan bahwa orang yang paling dekat dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya, Nabi Muhammad, dan orang-orang yang beriman. (Qs. Ali Imran: 68). Nabi Muhammad membawa ajaran Islam. Maka Islamlahs satu-satunya jalan untuk mengikuti Nabi Ibrahim.
Millah Ibrahim yang dijelaskan dalam al-Qur’an adalah ajaran tauhid, yang intinya adalah Islam. Ini bisa dilihat saat al-Qur’an menegaskan bahwa Nabi Ibrahim sebagai seorang Muslim, bukan Musyrik, Yahudi ataupun Nasrani. (Lihat Qs. Ali Imran: 67, Qs. Al-An’am: 161, Al-Nahl: 123). Ini tentu telah membatalkan klaim mereka bahwa agama-agama Ibrahim atau Abrahim Faith’s merupakan agama yang dibawa oleh Ibrahim.
Abrahamic Faith’s ini agaknya sudah tercium oleh Imam Qurthubi sejak 8 abad lalu. Ini bisa dilihat saat menafsirkan Firman Allah pada An-Nisa 150 “…Serta bermaksud mengambil jalan tengah antara itu (keimanan atau kekufuran)” ia mengatakan “yakni menjadikan antara iman dan kekufuran jalan, yang mana itu adalah agama baru antara Islam dan Yahudi”
Pemuka agama dan sejumlah cendekiawan telah mengkritik ide ini. Salah satunya Grand Syekh Al-Azhar (GSA), Syekh Ahmad Muhammad At-Thayyib yang tegas menolak istilah Abrahim Faith’s pasca diresmikannya Rumah Keluarga Abraham (Abrahamic Family House) di Abu Dhabi.
Pada akhirnya, istilah Abrahamic Faiths (dalam bentuk jamak) yang memasukkan agama Yahudi dan Kristen sebagai millah Ibrahim jelas keliru dan menyesatkan. Ia memberikan kesan seolah-olah ada banyak agama Ibrahim, padahal sejak awal Islam menyatakan bahwa yang dibawa Ibrahim adalah agama tauhid yaitu Islam. Wallahu a’lam bi al-Shawāb.