Fikroh.com - Sebagian kecil kalangan menyebut, lebih tepatnya menuduh, bahwa setiap bentuk perlawanan kepada pemimpin yang zalim adalah khawarij. Pelakunya layak diperangi sebagaimana dahulu diperangi oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, di daerah Nahrawan. Padahal, Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu adalah pemimpin yang shalih dan adil, bukan pemimpin yang zalim. Sedangkan perlawanan yang dimaksud adalah kepada pemimpin yang zalim. Dengan kata lain, berdalil dengan perbuatan Ali Radhiallahu 'Anhu jelas tidak pas dan amat jauh.
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan tentang pemimpin yang adil:
وأحسن ما فسر به العادل أنه الذي يتبع أمر الله بوضع كل شيء في موضعه من غير إفراط ولا تفريط
Tafsir terbaik tentang pemimpin yang adil adalah orang yang mengikuti perintah Allah dengan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya tanpa berlebihan dan menguranginya. (Fathul Bari, 2/145, 1379H. Darul Ma’rifah Beirut)
Maka, tidak benar menyamakan antara perlawanan kepada pemimpin yang zalim, pemimpin yang meninggalkan Al Quran dan As Sunnah, dengan perlawanan kepada pemimpin yang adil, yang masih berpegang teguh kepada Al Quran dan As Sunnah. Padahal keduanya jelas berbeda. Sebagian orang mengartikan zalim sekadar dan membatasi pada berbuat aniaya, menyiksa, menangkap, dan membunuh, padahal meninggalkan Al Quran dan As Sunnah lebih zalim dari itu.
Sikap simplistis (penyederhanaan) yang mereka lakukan tentu sangat berbahaya, berpotensi leluasanya para pemimpin zalim atas kezalimannya, dan menjadikan pemikiran dan fatwa mereka sebagai tameng untuk menyurutkan aktifis Islam.
Sayangnya, dengan lihai mereka menganggap itulah satu-satunya pendapat resmi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Benarkah demikian?
Bersama Para Imam Ahlus Sunnah
Kita lihat para Imam Ahlus Sunnah tidaklah seperti klaim mereka. Para imam telah terjadi dinamika pemikiran, ijtihad, dan fatwa. Sebagian mereka, tidaklah menyamakan antara perlawanan terhadap pemimpin zalim karena kezalimannya, dengan perlawanan terhadap pemimpin adil, atau perlawanan semata-mata ingin merebut kekuasaan.
Al Hafizh Al Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (w. 852)
Di antara ulama yang membedakan adalah Al Hafizh Ibnu Hajar. Beliau membedakan hukum pemberontakan antara melawan kezaliman penguasa, dengan semata-mata merebut kekuasaan. Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan:
وهم على قسمين أيضا قسم خرجوا غضبا للدين من أجل جور الولاة وترك عملهم بالسنة النبوية فهؤلاء أهل حق ومنهم الحسن بن علي وأهل المدينة في الحرة والقراء الذين خرجوا على الحجاج وقسم خرجوا لطلب الملك فقط سواء كانت فيهم شبهة أم لا وهم البغاة
Dan mereka (para pemberontak) ada dua macam juga:
Pertama. Mereka yang melakukan perlawanan karena kemarahan yang didasari oleh agama, karena kezaliman pemimpin dan perbuatan mereka meninggalkan sunnah nabi, maka mereka ini adalah AHLUL HAQ. Di antaranya: Al Husein bin Ali, penduduk Madinah di peristiwa Al Harrah, dan para ahli Qurra, yang telah melakukan perlawanan kepada Al Hajjaj.
Kedua. Mereka yang melakukan perlawanan semata-mata untuk mengambil kekuasaan saja, baik mereka punya alasan atau tidak, maka mereka inilah yang disebut Al Bughat (pemberontak). (Fathul Bari, 12/286)
Demikianlah Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah, dengan jeli Beliau membedakan jenis perlawanan dengan jitu, bahwa perlawanan terhadap pemimpin zalim yang dilakukan kaum muslimin adalah perlawanan Ahlul Haq. Bahkan, terhadap yang benar-benar Khawarij pun tidak asal diperangi sebagaimana yang dikatakan Khalifah Ali Radhiallahu ‘Anhu.
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah, mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu berkata, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir Ath Thabari dengan sanad yang shahih:
إن خالفوا إماما عدلا فقاتلوهم وإن خالفوا إماما جائرا فلا تقاتلوهم فإن لهم مقالا قلت وعلى ذلك يحمل ما وقع للحسين بن علي ثم لأهل المدينة في الحرة ثم لعبد الله بن الزبير ثم للقراء الذين خرجوا على الحجاج في قصة عبد الرحمن بن محمد بن الأشعث والله أعلم
Jika mereka menyelisihi pemimpin yang adil maka perangilah mereka, dan jika mereka menyelisihi pemimpin yang zalim maka jangan memerangi mereka, karena sesungguhnya mereka punya alasan (untuk melawan).
Aku (Ibnu Hajar) berkata: dan atas dasar inilah apa yang terjadi pada Al Husein bin Ali, lalu penduduk Madinah dalam peristiwa Al Harrah, Abdullah bin Az Zubeir, dan para Qurra yang memberontak melawan Al Hajjaj dalam kasus Abdurrahman bin Muhammad bin Al Asy’ats. Wallahu A’lam. (Ibid, 12/301)
Al Imam Ibnu Hajar Al Haitami (w. 974)
Beliau Rahimahullah berkata:
( مُخَالِفُو الْإِمَامِ ) وَلَوْ جَائِرًا لِحُرْمَةِ الْخُرُوجِ عَلَيْهِ أَيْ لَا مُطْلَقًا بَلْ بَعْدَ اسْتِقْرَارِ الْأَمْرِ الْمُتَأَخِّرِ عَنْ زَمَنِ الصَّحَابَةِ وَالسَّلَفِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَلَا يَرِدُ خُرُوجُ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ وَابْنِ الزُّبَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَمَعَهُمَا كَثِيرٌ مِنْ السَّلَفِ عَلَى يَزِيدَ وَعَبْدِ الْمَلِكِ
Orang-orang yang menyelisihi pemimpin walau pemimpin itu zalim, karena haramnya pemberontakan terhadap mereka maka itu tidak mutlak dikatakan pemberontakan, kecuali jika setelah stabilnya urusan ini pada masa-masa akhir para sahabat nabi dan salaf Radhiallahu ‘Anhum, maka tidaklah termasuk pemberontakan apa yang dilakukan oleh Al Husein bin Ali, Ibnu Az Zubeir Radhiallahu ‘Anhuma, dan yang bersama keduanya dari kalangan salaf ketika melawan Yazid dan Abdul Malik. (Tuhfatul Muhtaj, 4/97. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Tahqiq: Abdullah Mahmud Umar Muhammad)
Al ‘Allamah Ibnu Khaldun Rahimahullah (w. 808H)
Beliau Rahimahullah mengatakan bahwa perlawanan terhadap pemimpin yang zalim juga dilakukan oleh Al Husein bin Ali Radhiallahu ‘Anhuma, saat itu para sahabat nabi dan tabi’in tidak ada yang mengingkarinya, walau mereka sendiri melarang hal itu.
Al ‘Allamah Ibnu Khaldun Rahimahullah menjelaskan:
وأما غير الحسين من الصحابة الذين كانوا بالحجاز ومع يزيد بالشام، والعراق ومن التابعين لهم، فرأوا أن الخروج على يزيد وإن كان فاسقاً لا يجوز لما ينشأ عنه من الهرج والدماء فأقصروا عن ذلك ولم يتابعوا الحسين، ولا أنكروا عليه، ولا أثموه، لأنه مجتهد وهو أسوة المجتهدين.
Ada pun selain Al Husein, dari kalangan sahabat nabi yang tinggal di Hijaz, dan di Syam bersama Yazid, di Iraq, dan para tabi’in, mereka berpendapat bahwa berontak melawan Yazid walau dia fasiq adalah tidak boleh, karena hal itu bisa menimbulkan huru hara dan pertumpahan darah, maka mereka menahan dari dari itu dan tidak mengikuti Al Husein, mereka juga tidak mengingkari Al Husein, dan tidak menganggapnya berdosa, karena dia seorang mujtahid, dan dia seorang teladan para mujtahid. (Tarikh Ibnu Khaldun, 1/217, Cet. 4, Darul Ihya At Turats, Beirut)
Pandangan para ulama ini, secara akademik menjadi ruang diskusi yang belum final dan tidak boleh dimatikan, apalagi langsung dituduh sebagai sebuah kejahatan terhadap agama dengan menuduhnya khawarij. Namun, satu hakikat yang tidak bisa dielakkan adalah bahwa pemberontakan baik yang dilakukan untuk melawan pemimpin yang adil maupun zalim, memang pada akhirnya akan melahirkan huru hara dan pertumpahan darah, dan jelas itu merupakan kerugian bagi umat yang seharusnya dipikirkan matang-matang akibatnya. Hal ini tidak bisa disamaratakan di masing-masing negeri, dan masing-masing penguasa. Bisa pas dan bisa tidak.
Memerangi Pemberontak dan Khawarij adalah Wajib
Ada pun memerangi Ahlul Bughah (pemberontak) dan Khawarij adalah wajib, dan tidak ada perselisihan para ulama. Hal ini jika BENAR-BENAR bahwa mereka adalah pemberontak dan khawarij, bukan tuduhan. Sayangnya saat ini tuduhan khawarij begitu murah meriah ditembakkan ke sembarang orang, pemikir, ulama, dan gerakan da’wah. Dikira mereka, semua yang kontra dengan pemimpin dan kebijakannya adalah khawarij. Menasihati dan mengkritik penguasa disamakan dengan pemberontakan, dan itu khawarij. Jelas ini adalah gagal paham tingkat paling menyedihkan.
Memerangi pemberontak dan khawarij adalah wajib, Itu pun mesti didahului peringatan dan pertanyaan kepada mereka, alasan apa mereka memberontak. Itulah yang dilakukan oleh Khalifah Ali Radhiallahu ‘Anhu, saat memerangi Khawarij, dengan mengutus Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma terlebih dahulu kepada mereka untuk mencari tahu alasan mereka melawan pemerintahan Ali Radhiallahu ‘Anhu, juga menasihati mereka, sebelum mereka di perangi di Nahrawan, ketika mereka tidak ada perubahan.
Imam An Nawawi Rahimahullah (w. 676) menjelaskan:
هَذَا تَصْرِيحٌ بِوُجُوبِ قِتَال الْخَوَارِج وَالْبُغَاة ، وَهُوَ إِجْمَاع الْعُلَمَاء ، قَالَ الْقَاضِي : أَجْمَعَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ الْخَوَارِج وَأَشْبَاهَهُمْ مِنْ أَهْل الْبِدَع وَالْبَغْي مَتَى خَرَجُوا عَلَى الْإِمَام وَخَالَفُوا رَأْي الْجَمَاعَة وَشَقُّوا الْعَصَا وَجَبَ قِتَالهمْ بَعْد إِنْذَارهمْ ، وَالِاعْتِذَار إِلَيْهِمْ
Ini merupakan petunjuk wajibnya memerangi khawarij dan para pemberontak dan ini merupakan ijma’ ulama. Al Qadhi berkata: “Para ulama telah ijma’ bahwa khawarij dan yang semisal mereka dari para ahlul bid’ah dan pemberontak, ketika mereka melakukan perlawanan kepada pemimpin dan menyelisihi pendapat jamaah umat Islam dan mereka memecah belah tongkat (persatuan), maka wajib memrangi mereka setelah mereka diberikan peringatan dan ditanyakan alasan mereka.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/169-170. Cet. 2, 1392H. Dar Ihya At Turats. Beirut)
Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah (w. 450H) menjelaskan:
فَإِذَا قَلَّدَ الْإِمَامُ أَمِيرًا عَلَى قِتَالِ الْمُمْتَنِعِينَ مِنْ الْبُغَاةِ قَدَّمَ قَبْلَ الْقِتَالِ إنْذَارَهُمْ وَإِعْذَارَهُمْ ، ثُمَّ قَاتَلَهُمْ إذَا أَصَرُّوا عَلَى الْبَغْيِ كِفَاحًا وَلَا يَهْجُمُ عَلَيْهِمْ غِرَّةً وَبَيَاتًا
Jika seorang pemimpin mengangkat seseorang menjadi komandan untuk memerangi para pemberontak, maka sebelum memerangi mereka hendaknya memberikan peringatan dahulu dan meminta mereka untuk minta maaf. Lalu, memerangi mereka jika mereka masih membangkang tapi tidak dibolehkan menyerang mereka secara mendadak. (Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 100)
Pemberontakan Bukan Jalan Terbaik
Bagian ini bukan membicarakan boleh atau tidak boleh, tetapi memikirkan dampaknya terhadap umat. Setelah kita membicarakan wacana legalitas, maka yang krusial dipahami oleh umat secara umum, dan khususnya para aktifis Islam adalah maslahat madharat dari perlawanan dan pemberontakan.
Dalam hal ini, ada pandangan bagus dari Asy Syaikh Al ‘Allamah Dr. Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah:
“Mereka –kelompok-kelompok radikal- kupa pada perkara yang lebih penting, yaitu bahwa yang mereka kemukakan di sini adalah teks-teks syariat yang bersifat umum dan mutlak, yang dikhususkan atau diikat oleh teks-teks lainnya. Memerintahkan bersabar atas kezaliman penguasa dan kezaliman para pemimpin, walau mereka berbuat aniaya terhadap hak-hak individu dengan merampas harta dan membunuh, selama kekafiran mereka belum terang-terangan. Karena menurut kami, dalam hal ini ada keterangan dari Allah ﷻ, bahwa sikap perlawanan dilakukan tidak melupakan tujuan untuk menjaga kesatuan umat dan kestabilan negara, dengan menghindari pertumpahan darah, memelihara keselamatan jiwa dan harta, dan khawatir akan terbukanya pintu-pintu fitnah yang tidak terkendali.
Banyak hadits menekankan masalah ini sehingga orang-orang wara’ dan militan tidak tergesa-gesa untuk memberontak kepada penguasa yang sah, dengan segala sesuatu yang mereka pandang menyimpang yang tidak termasuk masalah-masalah krusial dalam agama.
Sejarah masa lalu dan sekarang menegaskan bahwa pemberontakan-pemberontakan bersenjata terhadap para penguasa tidak menemui kesuksesan dan gagal, kecuali sedikit saja di antaranya. Di balik itu juga, umat tidak mendapatkan apa pun selain kekacauan, hilang rasa aman, dan pertumpahan darah yang tidak sedikit.” (Fiqih Jihad, Hal. 871. Cet. 1, 1431H-2010M. Mizan, Bandung). Demikian. Wallahu A’lam
Oleh: Ust. Farid Nu'man Hasan