Fikroh.com - Diantara contoh kesempurnaan Syari’at Islam adalah bersifat insaniyyah, yaitu memeprhatikan aspek kemanusiaan dalam ketetapan hukumnya. Seperti tidak menimbulkan madhorot, mengganggu, merugikan dan menyakiti orang lain. Di antara larangan islam yang jika dilanggar mengakibatkan madhorot dan kerugian bagi orang lain adalah kencing di air tergenang.
Mengapa dilarang? Karena kencing di tempat semacam itu dapat menyakiti orang lain atau merugikan orang yang menggunakannya setelahnya. Semisal kotor, bau dan lainnya.
Berikut ini hadits tentang larangan kencing di air tergenang beserta penjelasannya. Ada beberapa jalur riwayat hadits tentang larangan kencing di air tergenang.
Hadits pertama, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِى الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ مِنْهُ
“Janganlah salah seorang dari kalian kencing di air yang diam kemudian ia mandi darinya” (HR. Bukhari no. 239 dan Muslim no. 282).
Redaksi hadits kedua, menurut riwayat Bukhari disebutkan,
لاَ يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِى الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِى لاَ يَجْرِى ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ
“Janganlah salah seorang dari kalian kencing di air yang diam yaitu air yang tidak mengalir kemudian ia mandi di dalamnya.”
عَنْ أبى هريرة رَضي الله عَنْهُ أنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلَّمَ قَالَ: ” لا يَبولَنَّ أحَدُكُمْ في الْمَاءِ الدَّائِمِ الذي لا يَجْرِى، ثُمَّ يَغْتَسِلُ مِنْهُ “.ولمسلم ” لا يَغْتَسِلْ أحَدُكُمْ في الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُب “.
“Dari Abu Hurairoh -radhiyallohu ‘anhu bahwa Rasululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kamu kencing di air yang menggenang yang tidak mengalir kemudian mandi darinya”
Makna dan Penjelasan Hadits
Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- melarang kencing di air yang menggenang yang tidak mengalir, seperti air di bak penyimpanan air, aliran air kecil, kolam air di padang pasir, dan mata air yang digunakan oleh manusia karena karena bisa mencemarinya dan menjadikan orang jijik. Sebab, sisa-sisa kotoran tersebut merupakan sebab penyebaran penyakit berbahaya.
Sebagaimana beliau juga melarang mandi dengan menceburkan seluruh badan atau sebagiannya dalam air yang tidak mengalir agar tidak membuat orang lain risih dan mengotori airnya. Akan tetapi, hendaklah dia mengambil (menciduk) darinya. Dan jika yang mandi dalam keadaan junub maka larangannya lebih kuat lagi.
Jika airnya mengalir maka tidak mengapa mandi didalamnya dan kencing, meski yang lebih baik adalah tidak kencing di situ karena tidak ada faedahnya dan dikhawatirkan akan mencemarinya dan membahayakan orang lain.
Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama:
Ulama berbeda pendapat: Apakah larangan tersebut bersifat pengharaman ataukah cuma makruh? Madzhab Maliki berpendapat makruh. Sedangkan menurut madzhab Hanabilah (Hambali) dan Dzohiri adalah haram. Sebagian ulama berpendapat: haram jika airnya sedikit dan makruh jika airnya banyak. Secara dzohir, larangan ini adalah pengharaman baik airnya sedikit maupun banyak. Akan tetapi ada pengkhususan dalam masalah ini jika airnya melimpah menurut kesepakatan ulama.
Dan para ulama juga berbeda pendapat tentang status air yang dikencingi: Apakah tetap pada hukum suci atau najis?
Jika air tersebut berubah dengan sesuatu yang najis maka ijma menghukuminya najis, baik banyak maupun sedikit.
Jika tidak berubah dengan sesuatu yang najis tersebut dan jumlahnya banyak maka ulama bersepakat akan kesuciannya. Dan jika sedikit jumlahnya dan tidak berubah dengan najis, maka menurut Abu Hurairoh, Ibnu Abbas, Hasan Al Bashri, Ibnul Musayib, At Tsauri, Daud, Malik dan Bukhari berpendapat tidak najis. Imam Bukhari menyebutkan hadits-hadits yang berisi bantahan untuk orang yang mengatakan bahwa air itu najis.
Ibnu Umar, Mujahid, Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa air tersebut menjadi najis meski hanya bercampur, walaupun tidak berubah airnya, selama airnya sedikit. Mereka berdalil dengan sejumlah dalil dan diantaranya dalil dalam bab ini. Dan masing-masing pendapat masih memungkinkan dibantah.
Pendapat pertama berdalil dengan dalil yang banyak. Diantaranya hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi, lalu beliau menghasankannya:
الماء طهور لا ينجسه شيء
“Air adalah suci dan tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya”.
Mereka menanggapi hadits dari bab ini bahwa larangan ini adalah makruh untuk air di tempat penyimpanannya dan sumber-sumber mata air dan bukanlah (larangan ini berarti) menajiskannya. Dan yang benar adalah pendapat yang pertama. Ukuran kenajisannya adalah adanya perubahan karena najis, baik jumlahnya banyak atau pun sedikit. Inilah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahulloh-.Dan dari sini kita mengetahui bahwa pendapat yang rojih (kuat) adalah tetap sucinya air orang yang mandi junub, meski sedikit. Ini berbeda dengan pendapat yang masyhur dari madzhab kami, dan madzhab Syafi’i bahwasannya mandi menghilangkan sifat kesuciannya air selagi airnya sedikit.
Kesimpulan hadits:
1. Larangan kencing di air yang tidak mengalir dan pengharamannya. Dan lebih-lebih lagi buang air besar (BAB) disitu, sama saja airnya sedikit atau pun banyak. Kecuali air yang melimpah sebab airnya tidak bisa ternajisi oleh sesuatu yang menimpanya. Bahkan air tersebut bisa bermanfaat untuk berbagai keperluan lain selain (bisa dipakai) bersuci dari hadats;
2. Larangan mandi di air yang menggenang adalah dengan berendam di dalamnya. Terlebih lagi ketika sedang junub meski tidak kencing di dalamnya. Sebagaimana dalam riwayat Muslim. Yang disyariatkan adalah dengan menciduknya;
3. Diperbolehkan hal ini di air yang mengalir, dan yang lebih baik tidak melakukannya.
4. (Anjuran) mencegah dari segala sesuatu yang bisa menimbulkan gangguan dan kedzoliman;
5. Sebagian riwayat hadits menyebutkan : ثم يغتسل منه “Kemudian ia mandi darinya”, sebagian lagi dengan lafadz ” ثم يغتسل فيه “Kemudian ia mandi di dalamnya”. Kedua maknanya berbeda. Jika dikatakan في “didalamnya” menunjukkan menceburkan diri ke air yang dikencingi. Dan lafadz من “dari…” menunjukkan littab’idh yang mengandung makna menciduk darinya. Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan bahwa riwayat “فيه” menunjukkan makna menceburkan diri berdasarkan nash (dalil) dan bukanlah maknanya menciduk berdasar istimbath. Dan riwayat “منه” (darinya), maknanya adalah kebalikannya.
Demikian penjelasan hadits larangan kencing di air tergenang beserta penjelasan dan faidah-faidahnya.
Diterjemahkan oleh Abu Unais Pati dengan beberapa editan.