Fikroh.com - Ulama bukan hanya seorang yang memiliki wawasan keilmuan yang luas. Namun seorang yang mengamalkan ilmunya. Dengan ilmu yang dia miliki, ia akan semakin takut kepada Allah. Senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya dengan menjalanakan berbagai ketaatan sekuat tenaga. Ibadah apapun yang bisa dilakukan, dengan penuh semangat akan ia wujudkan. Yang sunnah pun tidak ketinggalan, apalagi wajib. Pada saat yang sama, berlari menjauh sejauh-jauhnya dari sebab kemurkaan Allah subhanahu wa taala. Yaitu perbuatan kemaksiatan dan segala bentuk dosa.
Sungguh benar, kalimat emas dari seorang Imam Asy Syafi’i rahimahullah:
الۡعِلۡمُ مَا نَفَعَ، لَيۡسَ الۡعِلۡمُ مَا حُفِظَ
“Ilmu adalah yang bermanfaat, bukan banyaknya yang telah dihafal.” [Hilyatul Auliya’]. Ilmu yang bermanfaat itulah ilmu yang membawa pemiliknya pada puncak rasa takut kepada Allah subhanahu wa taala, sehingga ia akan berjuang untuk senantiasa berada di jalan Allah. Bahkan Allah subhanahu wa taala menyebutkan secara khusus dengan konteks pembatasan, bahwa di antara hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama. Allah subhanahu wa taala berfirman:
إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَـٰٓؤُا۟ ۗ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” [Q.S. Fathir:28]. Inilah ulama sebenarnya, ulama rabbani. Bukan mereka yang menjilat penguasa, atau yang menggunakan ilmunya untuk mengais dunia.
Figur ulama-ulama yang sesungguhnya sangat banyak pada generasi salaf. Kesungguhan kiprah dan perjuangan mereka untuk Islam sangat jelas menggambarkan keikhlasan mereka. Ulama rabbani yang berjuang di jalan Allah, hanya untuk Allah. Jauh dari kepentingan duniawi atau sekadar keinginan untuk dipuji. Sekali lagi, penampakan lahiriyah mereka menunjukkan hal itu. Yaitu keseriusan dalam beramal ketika memiliki kemampuan dan kesempatan. Mereka tidak menyia-nyiakan segala bentuk peluang ibadah ketika mampu dikerjakan lewat begitu saja, padahal tidak ada kegiatan ibadah lain yang lebih penting.
{tocify} $title={Table of Contents}
Satu di antara figur itu adalah seorang ulama besar multi talenta generasi Tabi’ut Tabi’in, Imam Abdullah bin Al Mubarak rahimahullah. Kapasitas ilmu beliau diakui para imam, kekayaan yang dimiliki semakin menjadikan kedermawanan beliau terkenal, kehebatan dan keberanian di medan jihad yang menggetarkan pasukan adidaya dikenang kawan maupun lawan. Di awal penyebutan biografi beliau yang sangat panjang, dalam Siar A’lamin Nubala’, Adz Dzahaby rahimahullah mengatakan dalam pujian yang indah, Abdullah bin Al Mubarak bin Wadhih, adalah seorang imam, pantas mendapatkan gelar Syaikhul Islam, seorang alim pada zamannya, pemimpinnya orang-orang yang bertakwa di masanya, berkuniyah Abu Abdirrahman, nisbat wala’ beliau adalah Al Handhali, At Turki, kemudian Al Marwazi. Seorang ulama penghafal hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pejuang tangguh, salah seorang ulama besar yang sangat menonjol.
Berita Burung Dan Kisah Kedua Orang Tuanya
Beliau lahir pada tahun 118 H. Ayah beliau berdarah Turki, mantan seorang budak saudagar kaya raya dari Hamadzan dari Bani Handhalah. Sedangkan ibunda beliau dari Kawarizm, Persia. Begitu masyhur sebuah cerita, bahwa ayahnya dahulu adalah budak milik seorang kaya raya. Perkebunannya luas. Suatu hari sang majikan meminta dipetikkan delima atau anggur dari kebun tersebut. Datanglah sang budak membawa buah yang baru saja ia petik. Ternyata buah itu masih masam, belum saatnya dimakan. Sang majikan meminta kembali agar budak tersebut memetik buah. Namun, lagi-lagi yang terpetik masih masam. Kejadian itu berulang sampai tiga kali. Dengan nada tinggi sang majikan membentak, “Apakah engkau tidak bisa membedakan mana yang manis dan mana yang masih masam?” “Mohon maaf, tuanku, aku tidak tahu.” Jawab Mubarak polos. “Aku tidak pernah memakan buah di sini.” “Selama ini kamu tidak pernah makan buah?” Tanya sang majikan. “Saya hanya bekerja sebagai penjaga. Tuan tidak pernah menyampaikan bahwa saya boleh makan buah di kebun ini.” Seketika kemarahan mereda. Sang majikan pun merasa kagum dengan sikap amanah dan wara’ sang budak. Saat itu, sang majikan yang juga terkenal memiliki seorang putri yang sudah banyak orang meminangnya bertanya kepada Mubarak, “Menurutmu, kepada siapa aku nikahkan putriku?” “Orang jahiliyah dahulu menikahkan putrinya karena nasab yang mulia, Yahudi karena harta, adapun umat ini karena agama.” Jawab Mubarak. Sang majikan pun semakin simpati kepada Mubarak. Maka ia kemudian menikahkan putrinya dengan mantan budaknya tersebut. Dari pernikahan yang berkah inilah terlahir sosok mulia, Abdullah bin Al Mubarak, di Marw, salah satu kota terkenal di wilayah Khurasan. Demikian kisah yang sering dinukilkan, walaupun referensi sumber berita tidak dicantumkan, namun dengan kemasyhurannya menunjukkan bahwa kisah ini ada asalnya. Allahu A’lam.
Menuntut Ilmu
Keutamaan adalah milik Allah subhanahu wa taala semata, Dia memberikannya kepada siapa yang Ia subhanahu wa taala kehendaki, Ia subhanahu wa taala menghalanginya dari siapa yang Ia kehendaki. Seorang putra mantan budak, akhirnya menjadi mulia, bahkan pemuka manusia-manusia mulia. Dengan ilmu ia mampu meraih berbagai jalan kemuliaan. Dengan ilmu ia menjadi dermawan, santun, pemberani di medan perang, berjiwa ksatria. Dengan ilmu Abdullah bin Al Mubarak menjadi mulia.
Beliau rahimahullah memulai belajar di umur yang relatif terlambat, menurut keumuman para ulama besar waktu itu yang belajar semenjak usia kecil. Kembali mengingatkan bahwa keutamaan memang mutlak berada di tangan-Nya. Pada usia ke 20 tahun beliau memulai belajar, namun keilmuan itu benar-benar barakah. Kejujuran dan keseriusan belajar mengantarkan beliau pada posisi yang sulit dijangkau orang lain. Bahkan kesungguhan belajar itu terlihat sejak awal memulai pembelajaran. Beliau pertama kali belajar agama kepada Ar Rabi’ bin Anas Al Khurasani di penjara. Dari guru ini beliau mendapatkan sekitar 40 hadis. Abdullah bin Al Mubarak harus memutar cara untuk bisa belajar kepada sang guru yang terpenjara. Inilah perjuangan berat pertama yang harus beliau lalui.
Memang, ilmu tidak akan didapat dengan badan santai dan nyaman. Apalagi sambil berpangku tangan. Ilmu harus diperjuangkan, baik mencarinya, menghafal, dan mengamalkan konsekuensinya. Itulah sunnatullah. Bahwa kemuliaan harus dicari dengan sepenuh usaha. Usaha yang tidak akan goyah dengan ekstremnya cuaca, usaha yang tidak akan bergeser karena lapar ataupun dahaga. Namun usaha yang berbalut tekad membaja. Siap menghadapi berbagai aral lintang; menembus sahara, menerjang arus, ataupun mendaki tanjakan terjal.
Pada tahun 141 Abdullah bin Al Mubarak melakukan rihlah, perjalanan suci menuntut ilmu. Haramain; Makah, Madinah, Syam, Mesir, Irak, Al Jazirah, Khurasan, adalah sebagian wilayah yang beliau tuju untuk menimba ilmu. Kesempatan berguru kepada para ulama generasi tabi’in yang masih ada tidak beliau sia-siakan. Inilah kehidupan beliau. Perjalanan-perjalanan ibadah mengisi putaran waktu beliau. Antara menuntut ilmu, jihad, berdagang, bersedekah kepada para ulama, penuntut ilmu, dan siapa saja yang membutuhkan, atau memberikan bekal serta melayani kebutuhan para jamaah haji.
Semangat belajar benar-benar meluap-luap, sangat terlihat jelas dalam kehidupan keseharian beliau. Lihatlah penilaian Imam Ahmad bin Hambal, beliau mengatakan, “Tidak ada seorang pun pada zaman Abdullah bin Mubarak yang lebih bersemangat dalam menuntut ilmu daripada beliau.” Abu Usamah Hammad bin Usamah, seorang ahli hadis, mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih giat dalam menuntut ilmu daripada Ibnul Mubarak. Beliau di kalangan ulama ahli hadis ibarat amirul mukminin bagi kaum muslimin.”
Selain bermajelis bersama para ulama, kesibukan saat sendiri pun tidak terlepas dari ilmu. Beliau begitu menikmati ketenangan dalam menuntut ilmu. Nu’aim bin Hammad menceritakan, “Bahwa Abdullah bin Mubarak adalah seorang yang lebih senang berdiam diri di rumahnya. Beliau pernah ditanya, ‘Tidakkah Anda merasa kesepian?’ Beliau menjawab, “Bagaimana aku kesepian, sementara aku bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat beliau?” Beliau duduk di rumah mengkaji dan merenungi hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ya, beliaulah yang menjawab ketika ditanya sampai kapan menuntut ilmu? “Sampai mati, insya Allah.”
Berdakwah Dan Menulis
Bukan hanya menyampaikan ilmu di majelis, beliau pun semangat menulis. Beliau rahimahullah mengatakan ketika ditanya, “Sampai kapan Anda menulis ilmu?” “Barangkali satu kata yang aku bisa mengambil manfaat darinya tidak bisa aku tulis setelahnya.” Yahya bin Ma’in pernah mengatakan, “Abdullah bin Mubarak rahimahullah adalah seorang yang cerdas, teliti, dan kokoh hafalannya. Beliau seorang yang mengetahui hadis yang shahih. Kitab yang beliau pegang untuk menyampaikan hadis sejumlah dua puluh ribu atau dua puluh satu ribu.” Allahu Akbar! Menulis sekian banyak kitab tersebut merupakan sebuah karamah. Siapakah manusia saat ini yang mampu menulis sekian banyak kitab, pun walaupun dengan sarana pendukung yang canggih sekalipun?! Apalagi yang ditulis adalah ilmu yang harus dicari dan dihafal. Sangat sulit mencari bandingannya. Benar! Kedalaman ilmu beliau memang sulit dicari bandingannya. Simak pernyataan Yahya bin Adam, “Ketika aku mencari jawaban dari sebuah masalah yang rumit, lalu aku tidak mendapatkannya dalam kitab Ibnul Mubarak, aku pun akan putus asa.” Artinya, kitab-kitab beliau memang dipenuhi dengan berbagai faedah yang sulit dicari pada karya orang lain.
Khusyu’ Dan Hati Yang Lembut
Sungguh, beliau rahimahullah adalah figur keteladanan. Sosok Abdullah bin Al Mubarak juga seorang yang terkenal khusyu’, sangat takut kepada Allah. Mudah tersentuh ketika mentadabburi Al Quran. Nu’aim bin Hammad mengisahkan, “Pernah ada seorang berkata kepada Ibnul Mubarak, “Semalam aku mengkhatamkan Al Quran dalam satu rakaat.” Ibnul Mubarak menjawab, “Namun aku mengenal seseorang yang salat semalam suntuk hanya mengulang-ulang surat At Takatsur, sampai shubuh. Ia tidak mampu melampaui surat itu.” Padahal beliau memaksudkan orang tersebut adalah beliau sendiri. Nu’aim bin Hammad menyampaikan kembali tentang lembutnya jiwa Abdullah bin Al Mubarak, “Ibnul Mubarak apabila membaca kitab yang menyentuh jiwa, seolah-olah beliau seperti seekor sapi yang ambruk tersembelih, karena tangisan. Tidak seorang pun di antara kita yang memberanikan diri untuk bertanya kecuali pasti beliau berpaling.”
Demikianlah cermin seorang yang ilmunya benar-benar bermanfaat. Ilmu akan menjadikan pemiliknya semakin takut kepada Alah subahanahu wa taala. Ia pun akan sekuat tenaga mendekat kepada-Nya dengan berbagai amal saleh. Menjauh sebisa-bisanya dari berbagai hal yang membuat murka Allah subhanahu wa taala. Ilmu kokoh dalam jiwa yang tercermin dalam amalan nyata. Semoga kita bisa berusaha meneladani beliau rahimahullah, Amin.
Ulama Beribu Guru
Sosok tokoh satu ini memang layak untuk selalu dkenang. Membaca biografi beliau adalah inspirasi meraih kemuliaan hidup. Semangat perjuangan, pengorbanan, kesabaran adalah nafas kehidupan beliau. Figur seorang alim yang tawadhu’, beramal tanpa pamrih manusia. Ulama yang menjaga kehormatan diri, tidak berpangkutangan dan mengharapkan pemberian orang lain. Bahkan, beliau adalah teladan dalam bersedekah. Layaknya sedekah orang yang tidak butuh harta. Sangat tepat pernyataan sebagian ulama, bahwa pada beliau terkumpul seluruh kebaikan.
Meneladani beliau, tentu harus melihat bagaimana usaha dalam meraih berbagai keutamaan itu. Bagaimana beliau menuntut ilmu? Seberapa besar kegigihan beliau? Bagaimana amalan beliau? Sejauh mana kesungguhan beliau? Jawaban dari pertanyaan seputar ini akan menggambarkan kepada kita bagaimana seharusnya seorang meraih kemuliaan. Apalagi dengan melihat deretan guru tempat beliau menimba ilmu. Karena guru memang memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk kepribadian seseorang.
Deretan guru beliau adalah nama-nama besar dalam jumlah yang sulit dihitung. Beliau rahimahullah sendiri mengatakan, “Aku menimba ilmu dari empat ribu ulama. Aku juga mengambil hadis dari seribu guru.” Al Abbas bin Mush’ab pun mempersaksikan, “Aku pernah mencoba menghitung guru beliau, namun baru sampai hitungan delapan ratus.” Subhanallah. Sebagian di antara guru itu adalah Sulaiman At Taimi, Ashim Al Ahwal, Humaid Ath Thawil, Hisyam bin Urwah, Al Jariri, Ismail bin Abi Khalid, Al A’masy, Buraid bin Abdullah bin Abi Burdah, Khalid Al Hadzdza’, Yahya bin Said Al Anshari, Abdullah bin Aun, Musa bin Uqbah, Ajlah Al Kindiy, Husain Al Mualim, Handhalah As Sadusi, Haiwah bin Syuraih Al Mishri, Al Auzai, Abu Hanifah, Ibnu Juraij, Ma’mar, Ats Tsauri, Syu’bah, Ibnu Abi Dzi’ib, Yunus Al Ailiy, Malik, Laits, Ibnu Lahi’ah, Husyaim, Ismail bin Ayyasy, Ibnu Uyainah, Baqiyah bin Walid, dan masih banyak lagi. Cukuplah sekian banyak ulama besar guru beliau ini menjadi penanda kapasitas keilmuan beliau rahimahullah.
Apalagi apabila dilihat murid-murid beliau, keberkahan ilmu guru benar-benar berpendar indah ibarat mutiara teruntai. Deretan nama-nama besar murid beliau sebagian kecil di antaranya adalah Dawud, Abdurrazak bin Hammam, Al Qaththani, Affan, Ibnu Ma’in, Hibban bin Musa, Abdan, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Yahya bin Adam, Abu Usamah, Abu Salamah Al Minqari, dan Muslim bin Ibrahim. Ulama selevel yang mengambil hadis dari beliau adalah Baqiah, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, dan masih banyak lagi. Bahkan sang guru pun mengambil ilmu dari beliau. Ma’mar, Ats Tsauri, Abu Ishaq Al Fazari termasuk sebagian guru yang meriwayatkan dari beliau.
Banyaknya guru dan murid ini sebagai bukti nyata kehidupan beliau adalah untuk ilmu dan ibadah. Sehingga sangat wajar apabila Abdullah bin Mubarak menguasai sekian cabang ilmu dan meraih berbagai kemuliaan. Bahkan sekaliber Syu’bah pernah menyampaikan kalimat tentang beliau, “Tidak ada yang mendahului kami seorang pun semisal Abdullah bin Al Mubarak.” Al Husain bin Isa mengatakan, “Sekelompok ulama seperti Al Fadhl bin Musa dan Makhlad bin Al Husain mengatakan, ‘Abdullah bin Al Mubarak seorang yang memiliki ilmu, fikih, adab, nahwu, lughah, zuhud, kefasihan, syair, salat malam, ibadah, haji, jihad, keberanian, ketajaman firasat, kekuatan, tidak berbicara kecuali yang bermanfaat, adil, dan tidak berselisih dengan sahabatnya.” Sementara Al Abbas bin Mush’ab mempersaksikan, “Abdullah bin Al Mubarak mengumpulkan antara ilmu hadis, fikih, bahasa Arab, sejarah, keberanian, kedermawanan, perdagangan, dan kecintaan kepada sahabat.” Tidaklah mengherankan, pujian demi pujian para ulama untuk beliau begitu harum semerbak.
Akhlak Mulia
Ahmad bin Sinan Al Qaththan pernah mengatakan, “Telah sampai berita kepadaku bahwa Abdullah bin Mubarak pernah mendatangi Hammad bin Zaid, seorang ulama besar ahli hadis. Ketika Abdullah bin Mubarak datang, Hammad bin Zaid kagum dengan kebagusan akhlak Ibnul Mubarak. Maka Hammad bin Zaid bertanya, ‘Dari mana Anda?’ ‘Dari Khurasan, kota Marw.’ Jawab Ibnul Mubarak. 'Apakah Anda kenal seorang bernama Abdullah bin Mubarak?' 'Kenal.' Jawab Beliau. 'Bagaimana keadaannya, apa yang ia lakukan?' Ibnul Mubarak mengatakan, 'Dia yang sedang berbicara dengan Anda.' Maka Hammad bin Zaid segera mengucapkan salam, dan menyambutnya.”
Dalam kisah lain bersama guru beliau, Hammad bin Zaid, Ismail Al Khatbi mengatakan, "Ketika Abdullah bin Al Mubarak mendatangi majelis hadis Hammad bin Zaid, para ahli hadis meminta kepada Hammad bin Zaid agar Abu Abdirrahman Abdullah bin Al Mubarak menyampaikan hadis. Sang guru, Hammad bin Zaid mengatakan, 'Wahai Abu Abdirrahman, sampaikanlah hadis kepada mereka! Mereka telah meminta hal itu kepadaku.' 'Subhanallah, wahai Abu Ismail (Hammad bin Zaid), apakah aku menyampaikan hadis, sementara Anda ada di tengah-tengah kami?' 'Aku bersumpah atas nama Allah, agar engkau melakukannya.' Maka Abdullah bin Al Mubarak segera mengatakan, 'Ambillah…, telah menyampaikan hadis kepadaku Abu Ismail Hammad bin Zaid, …, tidaklah beliau menyampaikan satu hadis pun kecuali dari Hammad bin Zaid.'
Yahya bin Yahya Al Laitsi memiliki pengalaman mengesankan tentang kepribadian seorang Abdullah bin Al Mubarak. Ia mengisahkan, "Kami pernah berada di sisi Malik. Abdullah bin Al Mubarak minta izin untuk masuk, Imam Malik pun mengizinkannya. Bahkan kami melihat Malik bergeser memberikan tempat duduk untuk Abdullah bin Al Mubarak. Aku tidak pernah melihat Malik bergeser untuk siapa pun selain untuk Abdullah bin Al Mubarak. Mulailah salah seorang murid Malik membacakan hadis. Ketika melewati beberapa masalah, Malik bertanya kepada Ibnul Mubarak. "Bagaimana madzhab Anda pada masalah ini?" atau "Apakah ada dalil pada Anda tentang masalah ini?" Aku melihat Abdullah bin Al Mubarak menjawabnya. Setelah selesai dan Ibnul Mubarak pergi, Malik kagum dengan adab beliau. Kemudian Malik mengatakan kepada kami, "Inilah Ibnul Mubarak, orang fakihnya Khurasan."
Beliau rahimahullah seorang yang tawadhu'. Beliau pernah ditanya tentang suatu masalah di hadapan Sufyan bin Uyainah. Beliau menjawab, "Kami dilarang berbicara di hadapan para senior kami."
Kedermawanan Beliau
Kedermawanan Abdullah bin Al Mubarak pun banyak yang mengakuinya. Terutama dalam perjalanan jihad dan haji. Dalam perjalanan dari Baghdad menuju Al Mishishah, beliau bersama rombongan. Abdullah bin Al Mubarak lalu mengusulkan, "Tunjuklah beberapa orang yang akan mengelola dan mengurusi kebutuhan perjalanan." "Anak muda, ambillah wadah agar kami bisa menyerahkan uang, ada yang 10 dirham, ada pula 20 dirham. Abdullah bin Al Mubarak pun melayani mereka hingga tujuan. Sesampai di Al Mishsishah, Abdullah bin Al Mubarak membagi kembali uang mereka masing-masing 20 dirham dinar. Mereka pun mengatakan, "Wahai Abu Abdirrahman, yang kami berikan adalah 20 dirham." Beliau menjawab, "Tidaklah diingkari, Allah memberkahi bekal para tentara-Nya."
Al Hasan bin Syaqiq memiliki cerita lain dalam perjalanan haji. Pada saat musim haji, orang-orang dari Marw berkumpul kepada beliau. "Kami akan menyertai Anda." Abdullah bin Al Mubarak menjawab, "Serahkan uang persiapan bekal kalian!" Abdullah bin Al Mubarak mengumpulkan uang bekal mereka dan menaruhnya dalam sebuah kotak. Dalam perjalanan itu, beliau memberikan segala kebutuhan rombongan. Makanan dan minuman yang terbagus selalu beliau hidangkan. Bahkan meninggalkan Baghdad, mereka memakai pakaian terbaik. Sesampai di Madinah, beliau mengatakan, "Apa yang diminta oleh keluarga kalian untuk dibeli untuk mereka?" Mereka pun membeli segala pesanan keluarga mereka. Akhirnya tiba di Makkah, mereka pun menyelesaikan ibadah haji mereka. Abdullah bin Al Mubarak kembali bertanya, "Oleh-oleh apa yang diminta keluarga kalian untuk dibeli di Makkah?" Mereka pun membelinya. Semua kebutuhan belanja ditanggung oleh Abdullah bin Al Mubarak hingga tiba di Marw. Di kampung halaman, Abdullah bin Al Mubarak mengecat dinding dan pintu rumah mereka. Setelah tiga hari, beliau mengadakan walimah untuk mereka, sekaligus memberikan pakaian baru kepada mereka, setelah makan-makan, dan mereka berbahagia, maka kotak uang itu dibuka, dan beliau menyerahkan kembali uang bekal perjalanan haji itu, masih utuh dalam kantong uang yang tertuliskan nama masing-masing anggota rombongan.
Bersedekah kepada para ulama adalah kebiasaan beliau. Bahkan Abdullah bin Al Mubarak pernah mengatakan kepada Al Fudhail bin Iyadh, “Seandainya bukan karena engkau dan semisal engkau, aku tidak akan berdagang.” Disebutkan pula bahwa beliau berinfak kepada fakir miskin dalam setiap tahun mencapai seratus ribu dirham. Sebagai gambaran, apabila satu dirham adalah 2,975 gr perak, sementara satu gram perak seharga Rp. 20.000,-, maka angka pendekatan nominal sedekah beliau kepada fakir miskin adalah Rp. 5,95 Milyar! Subhanallah, angka yang sangat fantastis. Ini baru kepada fakir miskin, belum kepada para ulama.
Abdullah bin Al Mubarak adalah seorang yang ringan membantu kesulitan orang lain. Beliau perhatian dan sangat berkasih sayang kepada sesama. Dikisahkan oleh Muhammad bin Isa bahwa Ibnul Mubarak sering bolak-balik ke wilayah Thursus, singgah di daerah Ar Riqqah. Di sana ada seorang pemuda yang rajin belajar kepadanya. Setelah menyelesaikan kebutuhannya, ia duduk menimba ilmu kepada beliau, mendengarkan hadis. Suatu saat Abdullah bin Al Mubarak datang, sementara pemuda itu tidak kelihatan. Beliau pun bertanya tentang keberadaan sang pemuda. “Dipenjara karena terlilit hutang sebesar sepuluh ribu Dirham.” Kata sebagian hadirin. Maka Ibnul Mubarak mencari pihak pemberi hutang dan melunasi hutang itu, dengan meminta janji kepada pemberi hutang agar tidak menceritakan pelunasannya selama hidupnya. Setelah keluar pejara, sang pemuda kembali menghadiri majelis Abdullah bin Al Mubarak. “Di mana engkau selama ini, aku tidak melihatmu?” Tanya Abdullah bin Al Mubarak, memastikan bahwa rahasia itu tetap terjaga. “Di penjara, karena hutang.” “Siapa yang mengeluarkanmu?” Tanya beliau. “Seseorang, aku tidak mengenalnya.” Jawab sang pemuda. “Pujilah Allah!” Kata Abdullah ibnul Mubarak. Pemuda itu tidak mengetahui siapa yang melunasi hutangnya, kecuali setelah wafatnya Ibnul Mubarak.
Demikian figur ulama rabbani. Dunia hanya di tangan tidak masuk dalam hati. Kekayaan adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Inilah hakikat zuhud. Al Fudhail bin Iyadh pernah mengatakan kepada beliau. “Anda memerintahkan kami untuk zuhud dan sedikit saja mengambil dunia. Namun, kami melihat Anda banyak memiliki harta. Bagaimana ini?” Beliau menjawab, “Wahai Abu Ali (Fudhail), aku lakukan ini untuk menjaga wajahku (dari meminta-minta), untuk meraih kemuliaan jiwa (dengan melawan kebakhilan), dan aku berharap harta bisa membantuku dalam keataatan kepada Rabbku.”
Hal itu benar-benar beliau buktikan. Kalimat doa itu, beliau wujudkan sekuat tenaga. Selain meminta kepada Allah, beliau melakukan sebabnya. Sedekah demi sedekah memenuhi hari-hari beliau. Al Musayib bin Wadhih mengatakan, bahwa Abdullah bin Al Mubarak pernah mengirimkan uang kepada Abu Bakar bin ‘Ayyasy sejumlah empat puluh ribu dirham.
Beliau pernah dikritik, karena menyalurkan sedekah harta di daerah-daerah luar, selain daerahnya. Beliau menjawab, “Aku lebih mengetahui tempat orang-orang yang memiliki keutamaan dan kejujuran. Merekalah para pencari hadis. Maka berbuat baiklah kepada mereka, karena manusia membutuhkan mereka, bahkan sangat butuh kepada mereka. Seandainya kita abaikan mereka, akan hilang ilmu mereka. Namun, apabila kita bantu mereka, mereka akan menyebarkan ilmu untuk umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh, aku tidak mengetahui kedudukan yang lebih mulia setelah kenabian, daripada menyebarkan ilmu.”
Semerbak Pujian
Pujian kepada beliau bukan hanya dari para ulama ataupun penuntut ilmu. Bahkan ulama besar mengakui keistimewaan seorang Abdullah bin Al Mubarak. Sekaliber Sufyan rahimahullah pun mengatakan, “Aku sungguh berharap seandainya sepanjang umurku itu, ada satu tahun saja seperti Ibnul Mubarak. Namun aku tidak mampu, bahkan walaupun sekadar tiga hari.” Abdurrahman bin Abi Jamil mempunyai kisah bersama Sufyan, “Ketika itu kami di Makkah bermajelis bersama Abdullah bin Al Mubarak. Kami pun mengatakan, “Wahai ulamanya penduduk bumi belahan timur, sampaikan hadis kepada kami.” Sufyan waktu itu di dekat kami, mendengar kalimat itu. Sufyan segera memotong, “Anda salah! Namun ulamanya penduduk bumi bagian timur, barat, dan di antara keduanya.”
Abul Wazir menyebutkan, “Ketika Sufyan bin Uyainah datang, orang-orang mengatakan, inilah wasiat (tinggalan) dari Abdullah bin Mubarak.” Maka beliau menukas, “Semoga Allah merahmati Abdullah ibnul Mubarak. Khurasan tidaklah meninggalkan orang semisalnya.” Muhammad bin Abdulwahhab Al Farra’ mengatakan, “Khurasan tidaklah mengeluarkan manusia seperti tiga orang ini; Ibnul Mubarak, An Nadhr bin Syamil, dan Yahya bin Yahya.”
Suatu ketika, Harun Ar Rasyid pernah tiba di kota Riqqah. Maka manusia bergegas mengikuti di belakang Ibnul Mubarak, hingga tali-tali sandal putus, debu pun berhamburan. Maka Ummu Walad dari Amir Mukminin melongok dari jendela istana. ‘Apa ini?’ Katanya heran. ‘Seorang ulama dari Khurasan telah datang.’ ‘Inilah, demi Allah, kekuasaan. Bukan kekuasaan Harun, yang manusia tidak akan berkumpul kepadanya kecuali menggunakan aparat dan pasukan.”
Ismail bin Ayasy mengatakan, “Tidak ada di muka bumi ini yang serupa dengan Abdullah bin Al Mubarak. Aku tidak mengetahui, bahwa Allah menciptakan satu perangai kebaikan pun, kecuali telah menjadikannya pada Abdullah bin Al Mubarak. Ketika Abdullah bin Al Mubarak meninggal, Amirul Mukminin Harun Ar Rasyid mengatakan, “Pemuka para ulama telah wafat.”
Inilah sebagian pujian para ulama. Pujian dari ulama, pujian yang jujur bukan basa-basi. Masih banyak pujian-pujian yang menunjukkan kedudukan tinggi beliau bukan hanya di mata kaum muslimin secara umum, bahkan di sisi para ulama. Semoga Allah subhanahu wa taala merahmati beliau.
Petarung Pilih Tanding
Dan inilah di antara kisah heroik beliau. Abdah bin Sulaiman Al Marwazi menceritakan, “Kami pernah berada dalam satu pasukan bersama Abdullah bin Al Mubarak di wilayah Romawi. Ketika kami menghadapi musuh, dua pasukan berhadapan, seorang prajurit Romawi menantang perang tanding. Maka keluarlah seorang pasukan muslim menjawab tantangannya. Namun musuh berhasil membunuhnya. Orang kedua maju, lagi-lagi musuh yang membunuhnya. Disusul orang ketiga, sang musuh masih bisa membunuhnya. Dengan sombong orang kafir itu menantang kaum muslimin untuk adu tanding. Maka keluarlah seorang ksatria Islam. Beberapa saat berduel, ksatria itu berhasil menusuk dan membunuh musuh. Segera saja kaum muslimin mengerumuni ksatria tersebut, namun ia menutup wajahnya dengan kain. Aku pun menarik kain penutup itu, ternyata ksatria itu adalah Abdullah bin Al Mubarak. Beliau pun marah. “Wahai Abu Amr, kenapa engkau berbuat jelek kepadaku?”
Dalam peperangan yang lain, Abdullah bin Sinan mengatakan, “Aku pernah bersama Abdullah bin Al Mubarak dan Mu’tamir bin Sulaiman di daerah Thurthus. Saat dua pasukan berhadapan, seorang kafir dari pasukan Romawi keluar menantang duel. Majulah seorang prajurit Islam melayani tantangan. Setelah adu tanding yang seru, akhirnya tentara muslim itu gugur. Demikian seterusnya hingga ia berhasil membunuh enam tentara muslim. Dengan sombongnya ia berjalan di antara dua pasukan yang berhadapan itu, menantang perang tanding. Beberapa saat tidak ada satu pun prajurit muslim yang maju menghadapi. Saat itu aku menoleh kepada Abdullah bin Mubarak. Ia berbisik mengatakan, “Seandainya aku terbunuh, aku titipkan wasiat demikian dan demikian.” Ia pun menggerakkan tunggangannya, menghadapi si kafir yang sombong itu. Terjadi duel hebat beberapa saat, akhirnya musuh berhasil terbunuh. Beliau dengan tegar menantang pasukan kafir untuk perang tanding, hingga beliau berhasil mengalahkan musuh hingga enam kali. Akhirnya pasukan Romawi menjadi ciut nyali. Setelah tidak ada satu pun pasukan Romawi yang berani menghadapinya, beliau kembali ke pasukan dengan memutar, menghilang di antara pasukan, sehingga tidak ada satu pasukan kaum muslimin yang mengenali beliau. Tiba-tiba beliau sudah berada di sampingku. Beliau mengatakan, ‘Wahai hamba Allah, jangan engkau ceritakan kejadian ini kepada seorangpun selama aku masih hidup.”
Menjaga Amanah
Beliau adalah seorang yang menjaga amanah. Sekecil apapun amanah akan berusaha beliau tunaikan. Al Hasan bin Arafah pernah mempersaksikan, “Abdullah bin Al Mubarak mengatakan, ‘Aku pernah meminjam pena di Negeri Syam. Setelah selesai aku segera ingin mengembalikan. Sepulang ke daerah asal, tiba di daerah Marw, ternyata pena itu masih terbawa. Maka aku pun kembali ke Syam untuk mengembalikan pena tersebut.” Subhanallah!
Kalimat Emas
Di antara untaian kalimat bijak penuh hikmah beliau adalah jawaban dari pertanyaan Habib bin Al Jalab, “Apakah karunia terbaik bagi seorang hamba?” “Naluri yang baik.” Jawab beliau. “Kalau tidak punya?” “Adab yang baik.” “Kalau tidak memilikinya?” “Saudara yang menyayangi, sehingga selalu memberikan bimbingan.” “Seandainya tidak?” “Selalu diam.” “Kalau tidak?” “Kematian yang disegerakan.” Jawab beliau.
Mahbub bin Al Hasan mengatakan, “Aku mendengar Ibnul Mubarak mengatakan, “Orang yang bakhil dengan ilmunya akan ditimpa tiga hal; kematian yang akan membawa pergi bersama ilmunya, dilupakan, atau mendekat kepada penguasa sehingga lenyap pula ilmunya.”
Beliau rahimahullah menyampaikan nasehat, “Duduklah bermajelis bersama orang miskin, janganlah engkau duduk dengan ahli bid’ah.” “Seandainya seorang mengetahui kadar dirinya, ia akan menganggap jiwanya lebih rendah daripada anjing.” “Berapa banyak amalan yang kecil, menjadi besar karena niat. Dan berapa banyak amalan yang seolah besar menjadi kecil karena niat.”
Doa Yang Agung
Inilah Abdullah bin Al Mubarak, ketika minum air zam-zam di Makkah, beliau minum satu teguk lantas menghadap ke arah kiblat. Kemudian berdoa, “Ya Allah akulah putranya Abu Miwal, telah menyampaikan hadis kepadaku dari Muhammad bin Al Munkadir, dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda yang artinya, ‘Air Zam-zam memberikan manfaat sesuai keinginan untuk apa ia diminum.’ Maka inilah zam-zam aku meminumnya agar terhindar dari hausnya hari kiamat.”
Sungguh sosok teladan yang sulit dicari orang lain yang sepadan. Figur ulama yang ilmunya benar-benar menjadikannya takut kepada Allah subhanahu wa taala. Padahal, amalan-amalan besar telah beliau lakukan. Bahkan sulit mencari tandingan yang semisal. Bagaimana tidak, beliau mengumpulkan antara ibadah sedekah, menyalurkan harta tanpa hitungan, berjihad dengan ilmu, menyebarkan agama, serta amalan jihad menyabung nyawa, berderma dengan jiwa. Setelah itu, beliau masih takut seandainya amalan tersebut tidak diterima. Lalu berharap dan meminta kepada Allah, satu-satu-Nya Dzat yang maha kuasa. Semoga Allah subhanahu wa taala merahmati beliau. Amiin.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 71 vol.06 1440 H rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Muhammad Farhan.