Fikroh.com - Berikut ini beberapa dalil yang menjelaskan tentang hukum perdukunan dalam Islam. Perdukunan bukanlah sesuatu yang baru dalam kehidupan manusia, ia sudah ada jauh sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyanggah tuduhan orang-orang kafir Quraisy terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ
Maka tetaplah memberi peringatan, dengan sebab nikmat Rabb-mu engkau bukanlah seorang dukun dan bukan pula seorang gila. [ath-Thûr/52:29].
Dalam ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala membantah tuduhan bohong kaum musyrikin terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia seorang dukun (tukang tenung) atau orang gila.
Karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada mereka tentang hal-hal yang akan datang pada hari kiamat melalui perantaraan wahyu yang diwahyukan Allâh Azza wa Jalla kepadanya. Mereka ingin menyamakan antara seorang nabi dengan seorang dukun yang suka meramal kejadian-kejadian yang akan datang, sebagai alasan untuk menolak ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari ayat di atas juga dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang memberitakan kabar yang akan datang itu ada tiga jenis.
Pertama, seorang nabi yang mendapat wahyu dari Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ذَٰلِكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ
Demikianlah dari berita-berita ghaib yang Kami (Allâh) wahyukan kepadamu. [Ali Imran/3:44].
Kedua, dukun, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tentang hakikatnya.
Ketiga, orang gila yang berbicara di luar kesadaran.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menperingatkan umatnya untuk tidak mendatangi dan mempercayai dukun ataupun membuka praktek perdukunan.
Berikut ini beberapa hadits berkenaan dengan hal tersebut.
1. Larangan tentang mendatangi dukun. Telah ditegaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِىِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُمُورًا كُنَّا نَصْنَعُهَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ كُنَّا نَأْتِى الْكُهَّانَ. قَالَ «فَلاَ تَأْتُوا الْكُهَّانَ». رواه مسلم
Dari Mu’awiyah bin Hakam Radhiyallahu anhu, ia berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ada beberapa hal yang biasa kami lakukan pada masa jahiliyah, kami terbiasa datang ke dukun?” Jawab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jangan kalian datang ke dukun”.[10].
2. Larangan bertanya kepada dukun. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ « مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ». رواه مسلم
Diriwayatkan lagi oleh sebagian isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang mendatangi tukang tenung untuk bertanya tentang sesuatu, maka tidak diterima darinya shalat selama empat puluh malam”.[11]
Dalam hadits ini dijelaskan tentang besarnya dosa mendatangi dukun untuk sekedar bertanya tentang sesuatu, menyebabkan pahala amalan shalatnya selama empat puluh malam atau hari hilang. Ini menunjukkan betapa besar dosa mendatangi dukun.
3. Larangan mempercayai dukun. Dalam sebuah hadits dijelaskan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mendatangi dukun lalu mempercayainya, sungguh ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.[12]
Dalam hadits di atas Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara hukum mendatangi dukun dengan hukum mempercayainya.
Hukum mendatangi dukun berisiko tidak diterima shalat bagi pelakunya selama empat puluh hari.
Adapun hukum mempercayai perkataan dukun tentang hal yang ghaib berisiko membuat seseorang tersebut telah terjatuh kepada perbuatan kufur, meskipun Ulama berbeda pendapat tentang maksud kata kufur tersebut.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah kufur akbar (besar). Namun sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah kufur asghar (kecil). Sebagian lagi lebih memilih tidak merinci kepada akbar maupun asghar, karena konteksnya berbicara tentang ancaman.[13]
Sebagian Ulama mengomentari tentang ancaman yang terdapat dalam hadits di atas.
Jika demikian ancaman bagi orang yang mendatangi dan mempercayai dukun, bagaimana dengan si dukun itu sendiri ? Tentu ancaman dan adzabnya lebih berat lagi.
4. Larangan meminta perdukunan dan membuka praktek perdukunan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ليس منَّا من تَكَهَّنَ أو تُكُهِّنَ له رواه الطبراني وصححه الألباني في “السلسلة الصحيحة”
Bukanlah termasuk golongan kami orang yang mencari perdukunan atau melakukan perdukunan.[15]
Sangat jelas dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang meminta bantuan dukun atau memberi bantuan perdukunan.
5. Hukum harta hasil perdukunan. Berikut ini hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang hukum harta yang diperoleh melalui praktek perdukunan :
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ متفق عليه
Dari Abu Mas’ud Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang (memakan) hasil jual anjing, upah pelacur dan upah dukun”.[16]
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,[17] “Ketahuilah bahwa perdukunan, mendatangi dukun, mempelajari perdukunan, ilmu nujum, meramal dengan pasir, gandum dan batu kerikil, termasuk mengajarkan semua hal ini adalah haram dan mengambil upah atasnya juga haram berdasarkan dalil yang shahîh”.
Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa Abu Bakar ash-Shidiq Radhiyallahu anhu pernah diberi makanan oleh hamba sahayanya. Setelah makanan itu ditelan Abu Bakar ash-Shidîq Radhiyallahu anhu, hamba sahaya tersebut bertanya kepadanya, “Tahukah Anda dari mana makanan ini?” Abu Bakar menjawab, “Tidak!” Jawab hamba sahaya, “Dulu semasa jahiliyah aku pernah berpura-pura jadi dukun, lalu ini upahnya,” maka Abu Bakar Radhiyallahu anhu memasukkan anak jarinya ke kerongkongannya hingga ia memuntahkan apa yang ada dalam perutnya.[18]
Adapun sisi-sisi kemungkaran yang dilakukan oleh para dukun, secara ringkas ada tiga jenis.
1. Mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib, hal ini adalah syirik dalam tauhid rububiyyah, karena mengaku dapat mengetahui hal-hal yang ghaib. Padahal ini adalah kekhususan bagi Allâh semata, sebagaimana dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
Katakanlah, “Tiada seorang pun di langit maupun di bumi yang dapat mengetahui yang ghaib kecuali Allâh”. [an-Naml/27:65].
2. Bermitra dengan jin atau setan. Kerjasama ini memiliki konsekwensi agar seseorang tersebut memberikan sebagian ketaatan kepada jin atau setan. Hal ini adalah syirik dalam tauhid ulûhiyyah.
3. Telah berbuat kebohongan di tengah-tengah masyarakat dan memakan harta mereka dengan cara batil atau haram.
Referensi: https://almanhaj.or.id/4304-ilmu-perdukunan-dalam-tinjauan-islam.html
Tags:
Aqidah