Krisis Bunuh Diri di Kalangan Tentara Israel, Jumlahnya Kian Mengkhawatirkan

Lonjakan Kasus Bunuh Diri di Kalangan Tentara Israel, Jumlahnya Mengkhawatirkan


Fikroh.com - Pada tanggal 2 September 2025, berita tentang kematian seorang prajurit Brigade Golani di pangkalan militer utara Israel menambah daftar panjang tragedi yang menimpa Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Prajurit ini ditemukan tewas, dan investigasi polisi militer menunjukkan dugaan bunuh diri. Ini menandai kasus ke-18 bunuh diri di kalangan tentara Israel sejak awal tahun 2025, menurut laporan media Israel. Krisis kesehatan mental ini bukanlah kebetulan; ia merupakan gejala dari trauma mendalam yang disebabkan oleh perang di Gaza yang telah berlangsung hampir dua tahun sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Artikel investigasi ini menggali fakta, penyebab, dan implikasi dari lonjakan bunuh diri ini, berdasarkan data dari sumber-sumber resmi, media independen, dan analisis pakar.

Latar Belakang Konflik dan Dampaknya terhadap Tentara


Perang Gaza dimulai setelah serangan Hamas yang menewaskan sekitar 1.200 warga Israel dan menyandera lebih dari 250 orang. Respons Israel berupa operasi militer besar-besaran telah menewaskan lebih dari 45.500 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Konflik ini telah meluas ke Lebanon, dengan pertempuran melawan Hizbullah yang menambah tekanan pada pasukan Israel. Bagi tentara IDF, perang ini bukan hanya pertempuran konvensional; ia melibatkan operasi urban di daerah padat penduduk, di mana garis antara kombatan dan sipil sering kabur. Banyak tentara melaporkan pengalaman traumatis, seperti menghancurkan rumah-rumah, menyaksikan kematian massal, atau bahkan berpartisipasi dalam tindakan yang mereka anggap sebagai "pembersihan" yang brutal.

Sejak Oktober 2023, IDF telah kehilangan 891 tentara, dengan ratusan lainnya terluka secara fisik. Namun, korban tak terlihat—yaitu kesehatan mental—jauh lebih besar. Ribuan tentara telah mencari bantuan psikologis, dan proyeksi menunjukkan bahwa hingga akhir 2025, sekitar 14.000 tentara yang terluka akan memerlukan perawatan, dengan 40% di antaranya mengalami masalah kesehatan mental.

Statistik yang Mengkhawatirkan: Lonjakan Bunuh Diri


Data resmi IDF menunjukkan peningkatan tajam dalam kasus bunuh diri sejak perang dimulai. Pada 2023, ada 17 kasus bunuh diri di kalangan tentara, termasuk tujuh setelah Oktober. Angka ini melonjak menjadi 24 pada 2024, dan hingga Juli 2025, sudah ada 17 kasus lagi, dengan total hampir 50 sejak awal konflik. Haaretz melaporkan bahwa pada pertengahan 2025, setidaknya 16 kasus telah dikonfirmasi, dengan empat di antaranya terjadi dalam beberapa minggu terakhir. Pada Agustus 2025, The Times of Israel mengonfirmasi bahwa sebagian besar kasus terkait trauma pertempuran, termasuk pengerahan berulang di Gaza.

  • Tahun 2023: 17 kasus (7 setelah Oktober).
  • Tahun 2024: 24 kasus.
  • Tahun 2025 (hingga September): 18 kasus, termasuk prajurit Golani terbaru.

Angka ini mungkin lebih tinggi karena IDF sering kali enggan merilis data lengkap. Beberapa pemakaman dilakukan tanpa penghormatan militer untuk menyembunyikan fakta bunuh diri, menurut sumber internal. Selain itu, sekitar 3.770 tentara didiagnosis PTSD sejak Oktober 2023, dengan 35% dari 1.000 tentara yang dikeluarkan dari pertempuran setiap bulan mengalami masalah mental.

Perbandingan historis menunjukkan bahwa sebelum perang ini, bunuh diri sudah menjadi masalah utama di IDF. Pada 2021, bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar di kalangan tentara, dengan 11 kasus. Namun, lonjakan saat ini mencapai tingkat tertinggi dalam 13 tahun.

Penyebab Utama: Trauma Perang dan Kurangnya Dukungan


Pakar seperti Profesor Eyal Fruchter, mantan Kepala Departemen Kesehatan Mental IDF, memperingatkan bahwa risiko bunuh diri meningkat karena trauma pasca-perang, mirip dengan pola setelah perang besar abad ke-40. Banyak tentara mengalami gejala PTSD parah, seperti kemarahan, insomnia, dan isolasi sosial, setelah menyaksikan atau berpartisipasi dalam kekerasan ekstrem. Seorang tentara cadangan, Eliran Mizrahi, bunuh diri setelah menderita PTSD akibat tugasnya mengoperasikan buldoser lapis baja di Gaza, di mana ia "membersihkan" puing dan jenazah.

Faktor lain termasuk:
  • Pengerahan Berulang: Reservis dipanggil berkali-kali, menyebabkan kelelahan mental. Seorang prajurit bunuh diri setelah bertugas 300 hari di Gaza.
  • Stigma dan Kurangnya Sumber Daya: Hanya sekitar 1.000 psikiater tersedia untuk ratusan ribu tentara, dan stigma menghalangi pencarian bantuan.
  • Kurang Transparansi: IDF merekrut kembali tentara dengan gangguan mental karena kekurangan personel, memperburuk situasi.
Pakar seperti Profesor Zahava Solomon menyebut setiap bunuh diri sebagai "kegagalan kolektif" sistem militer. Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB, menyatakan bahwa trauma ini berasal dari "ideologi yang mengirim warga mudanya melakukan genosida," dan Israel akan membutuhkan dukungan besar untuk pemulihan mental.

Kasus-Kasus Spesifik yang Menyoroti Krisis


  • Eliran Mizrahi: Seorang reservis yang bunuh diri setelah PTSD parah dari tugas di Gaza. Keluarganya mengkritik kurangnya perawatan yang efektif.
  • Prajurit Golani (September 2025): Ditemukan tewas di pangkalan utara, menandai kasus ke-8 sejak Juli.
  • Ariel Taman: Reservis yang terlibat dalam identifikasi korban, menjadi korban ke-48 sejak Oktober 2023.
Kasus-kasus ini sering melibatkan reservis yang mengalami trauma berat dari operasi di Gaza, di mana mereka menyaksikan kematian massal dan kehancuran.

Respons Resmi dan Kritik


IDF telah meluncurkan hotline kesehatan mental 24/7 dan meningkatkan jumlah petugas kesehatan mental. Namun, kritik datang dari anggota Knesset dan keluarga korban, yang menuduh militer menyembunyikan data dan gagal mencegah. Sebuah subkomite Knesset membahas 37 kematian sejak 2024, menyoroti kebutuhan reformasi. Pakar seperti Profesor Tamar Hermann dari Israel Democracy Institute menyatakan kepercayaan publik terhadap pelaporan IDF turun drastis.

Implikasi Lebih Luas bagi Masyarakat Israel


Krisis ini mencerminkan dampak perang yang lebih luas pada masyarakat Israel. Lonjakan penggunaan obat tidur (132%) dan opioid (70%) di kalangan evakuasi menunjukkan trauma nasional. Pakar seperti Profesor Yair Bar-Haim memperingatkan bahwa konsekuensi terburuk belum terlihat. Perbandingan dengan perang lain, seperti Vietnam atau Irak bagi tentara AS, menunjukkan pola serupa di mana trauma moral dari perang asimetris menyebabkan bunuh diri tinggi.

Kesimpulan: Panggilan untuk Tindakan Segera


Lonjakan bunuh diri di IDF adalah tragedi yang bisa dicegah, lahir dari perang yang berkepanjangan dan sistem dukungan yang tidak memadai. Untuk menghentikannya, Israel harus meningkatkan transparansi, mengurangi stigma, dan menyediakan perawatan komprehensif. Seperti yang dikatakan seorang psikolog militer, "Ini bukan hanya tentang tentara; ini tentang jiwa bangsa." Tanpa reformasi, krisis ini akan terus membayangi generasi muda Israel, sementara konflik Gaza berlanjut tanpa akhir yang jelas.

Posting Komentar untuk "Krisis Bunuh Diri di Kalangan Tentara Israel, Jumlahnya Kian Mengkhawatirkan"