Fikroh.com - Damaskus – Pasca runtuhnya pemerintahan Bashar al-Assad, Suriah kian terbuka terhadap keberagaman kelompok Islam. Jika sebelumnya hanya kelompok Sufi yang dominan di ruang publik, kini berbagai mazhab fikih dan aqidah mendapat tempat yang lebih luas. Pemerintah baru bahkan mengumumkan bahwa mazhab fikih yang diakui negara adalah empat mazhab Sunni: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Sedangkan dalam bidang aqidah, negara hanya mengakui tiga mazhab, yakni Asy’ari, Maturidi, dan Atsari.
Perubahan ini juga membuka jalan bagi kembalinya para ulama dan tokoh agama yang sebelumnya harus meninggalkan Suriah akibat represi politik. Setelah puluhan tahun, Damaskus kembali diramaikan oleh para intelektual Muslim yang dahulu diasingkan.
Tradisi Lama Kembali Hidup
Sekitar tiga pekan lalu, Kementerian Waqaf Suriah menghidupkan kembali tradisi khataman kitab Muwatta Imam Malik di bawah Kubah Masjid Agung Bani Umayyah, tradisi klasik yang sempat terhenti selama puluhan tahun. Pada khataman perdana, kitab Muwatta riwayat Imam Muhammad Hasan Shaibani dibacakan oleh Dr. Shafwan Dawudi, seorang pakar fikih ushul dan hadis yang sejak 1982 terpaksa meninggalkan Suriah karena dituduh terkait dengan Ikhwanul Muslimin.
Riwayat Hasan Shaibani dikenal luas di Syam karena berisi perbandingan antara mazhab Maliki dan Hanafi, sehingga menjadi rujukan penting bagi kalangan ulama di wilayah tersebut.
Khataman Berlanjut di Masjid Tenggis
Tradisi ini berlanjut pada pekan ini, kali ini di Masjid Tenggis, tak jauh dari Masjid Agung Bani Umayyah. Khataman dipimpin oleh Sheikh Abdurrazaq Al-Mahdy dengan menggunakan riwayat Muwatta dari Imam Yahya bin Yahya Al-Laitsi. Riwayat ini lebih fokus pada mazhab Maliki, berbeda dengan riwayat Hasan Shaibani yang bersifat komparatif.
Sheikh Abdurrazaq sendiri baru kembali ke Damaskus setelah sebelumnya diusir ke Idlib pada 2011 akibat sikap kritisnya terhadap pemerintah. Ia bahkan sempat berada dalam pengawasan ketat badan intelijen Suriah (Mukhabarat) karena dituduh berhaluan Salafi.
Menurutnya, riwayat Muwatta Yahya Al-Laitsi merupakan yang paling banyak dipelajari di dunia Islam, meskipun banyak ulama sepakat bahwa versi paling lengkap dan sempurna adalah riwayat Abdullah bin Maslama Al-Qanabi. “Bagaimanapun, Muwatta tetap menjadi kitab hadis terpenting sebelum lahirnya Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim),” jelasnya.
Antusiasme Tinggi dari Kaum Muda
Yang menarik, setiap majelis khataman kitab tersebut dihadiri lebih dari seribu jamaah. Tidak sedikit di antara mereka adalah para tentara Suriah muda yang tampak hadir dengan pakaian loreng. Pemandangan ini dianggap sebagai fenomena baru, sebab sebelum 8 Desember 2024, sangat jarang terlihat tentara menghadiri majelis ilmu di masjid.
Hidupnya kembali tradisi khataman kitab klasik ini dinilai sebagai tanda kembalinya Suriah pada akar intelektual Islamnya, sekaligus menegaskan bahwa negeri Syam tetap menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam sebagaimana dalam sejarah panjangnya.
Posting Komentar