Oleh: Ahmad Syahrin Thoriq
Diantara pertimbangan dari mayoritas ulama dalam menetapkan hukum sesat bahkan murtad atas Ibnu Arabi adalah ucapan-ucapannya yang dianggap telah keluar dari aqidah yang benar. Yang itu termuat di berbagai karya tulis dan kitab-kitabnya.
Berikut di antara pernyataan Ibnu Arabi yang kami nukilkan dari salah satu karyanya yang paling kontroversial yang berjudul al Fushush, di mana para penguasa Islam dan juga ulama pernah sampai memerintahkan agar kitab ini dimusnahkan dan dilarang untuk disimpan meskipun hanya berupa lembarannya. Al imam Abu Zur’ah al Iraqi rahimahullah berkata tentang kitab ini :
لاشك في اشتمال الفصوص المشهورة على الكفر الصريح الذي لا يشك فيه، وكذلك فتوحات المكية، فإن صح صدور ذلك عنه، واستمر الى وفاته فهو كافر مخلد في النار بلاشك
"Tidak ada keraguan bahwa kitab Fushush terkenal mengandung kekufuran yang nyata di dalamnya, sekali lagi hal ini tidak diragukan lagi. Demikian pula dengan Futuhat al-Makkiyah. Jika hal itu benar-benar berasal dari Ibnu Arabi dan dia bertahan dengan pendiriannya hingga kematiannya, maka dia adalah orang kafir dan akan kekal di neraka, tanpa keraguan."[1]
Pernyataan Ibnu Arabi yang kontroversial meliputi beberapa permasalahan aqidah seperti konsep hulul atau wahdatul wujudnya, yakni menyatunya makhluk dengan Tuhan. Juga komentarnya atas dakwah para nabi seperti nabi Ibrahim dan Nuh, menganggap tidak kafirnya Fir’aun dan hal lainnya.
𝟭. 𝗔𝗷𝗮𝗿𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮 𝗪𝗮𝗵𝗱𝗮𝘁𝘂𝗹 𝗪𝘂𝗷𝘂𝗱 (𝗺𝗲𝗻𝘆𝗮𝘁𝘂𝗻𝘆𝗮 𝗧𝘂𝗵𝗮𝗻 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗠𝗮𝗸𝗵𝗹𝘂𝗾)
ومن أسمائه العلي: على من، وما ثم إلا هو، فهو العلي لذاته أو عن ماذا؟! وما هو إلا هو، فعلوه لنفسه، ومن حيث الوجود فهو عين الموجودات، فالمسمى محدثات هي العلية لذاتها وليس إلا هو
"Dan di antara nama-nama-Nya adalah Al ‘Ali (Yang Maha Tinggi): Tinggi atas siapa, padahal tidak ada selain Dia? Maka Dia Maha Tinggi karena Zat-Nya, atau atas apa? Padahal tidak ada kecuali Dia, maka ketinggian-Nya adalah untuk Diri-Nya sendiri. Dari segi wujud, Dia adalah hakikat dari segala yang ada. Maka apa yang disebut makhluk hakikatnya adalah dia yang tinggi bagi Zat-Nya, dan tidak ada kecuali Dia."[2]
إن الله لا ينزَّه عن شيء لأن كل شيء هو عينه وذاته، وأن من نزهه عن الموجودات قد جهل الله ولم يعرفه، أي جهل ذاته ونفسه... قال: 'اعلم أن التنـزيه عن أهل الحقائق في الجانب الإلهي عين التحديد والتقييد؛ فالمنزِّه إما جاهل وإما صاحب سوء أدب
"Sesungguhnya Allah tidak disucikan dari apapun, karena segala sesuatu adalah diri-Nya dan hakikat-Nya. Dan siapa pun yang menyucikan-Nya dari makhluk-makhluk telah bodoh tentang Allah dan tidak mengenal-Nya, yaitu dia tidak mengetahui hakikat-Nya dan diri-Nya... Dia berkata: 'Ketahuilah bahwa pensucian (tanzih) menurut ahli hakikat dalam sisi ketuhanan adalah sama dengan pembatasan dan pengekangan. Maka orang yang melakukan tanzih itu, dia adalah orang bodoh atau orang yang tidak beradab.'"[3]
Jelas kita bisa memahami dari ucapan di atas, bahwa Ibnu Arabi menganggap bahwa pada hakikatnya makhluk itu tidak ada, karena makhluk dianggap sebagai bagian dari sifat maha tinggiNya Allah ta’ala. Bahkan ia katakan seseorang yang mensucikan Allah dari makhluknya dikatakan sebagai bodoh dan tidak beradab kepada Allah.
𝟮. 𝗞𝗼𝗻𝘀𝗲𝗽 𝗛𝘂𝗹𝘂𝗹 (𝗺𝗲𝗻𝘆𝗮𝘁𝘂 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗔𝗹𝗹𝗮𝗵) 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗸𝗶𝘀𝗮𝗵 𝗻𝗮𝗯𝗶 𝗜𝗯𝗿𝗮𝗵𝗶𝗺
ومن عرف ما قررناه في الأعداد، وأن نفيها عين إثباتها، علم أن الحق المنزه هو الخلق المشبه، وإن كان قد تميز الخلق من الخالق. فالأمر الخالق المخلـوق، والأمر المخلوق الخالق. كل ذلك من عين واحدة، لا، بل هو العين الواحدة وهو العيون الكثيرة. فانظر؛ والولد عين أبيه. فما رأى يذبح سوى نفسه: {قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ} ماذا ترى، وفداه بذبح عظيم، فظهر بصورة كبش من ظهر بصورة إنسان. وظهر بصورة ولد: لا، بل بحكم: فما نكح سوى نفْسِهِ
"Dan barang siapa yang memahami apa yang kami tetapkan tentang bilangan, serta bahwa penafiannya adalah sama dengan penetapannya, ia akan mengetahui bahwa Al-Haqq yang disucikan adalah makhluk yang diserupakan, meskipun makhluk itu dibedakan dari Sang Pencipta. Maka perintah itu adalah pencipta dan yang diciptakan, dan yang diciptakan adalah pencipta. Semua itu berasal dari satu esensi yang sama—tidak, bahkan ia adalah satu esensi yang sama dan banyak pada saat bersamaan.
Maka perhatikanlah: anak adalah esensi dari ayahnya. Jadi, yang dilihat untuk disembelih adalah dirinya sendiri: 'Dia berkata: Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu' (QS. Ash-Shaffat: 102). Apa yang engkau lihat?
Dan dia ditebus dengan sembelihan yang agung, sehingga ia muncul dalam wujud domba yang sebelumnya muncul dalam wujud manusia. Dan ia muncul dalam wujud anak—tidak, tapi menurut hukum (perintah Ilahi): maka ia tidak menikahi selain dirinya sendiri."[4]
Nuh melakukan tipu daya terhadap kaumnya yang sebenarnya beriman
لأن الدعوة إلى الله مكر بالمدعو، {وَمَكَرُوا مَكْراً كُبَّاراً} - صلى الله عليه وسلم -: 'فأجابوه مكراً كما دعاهم، فقالوا في مكرهم: {وَقَالُوا لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلا سُوَاعاً وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً}. فإنهم لو تركوهم جهلوا من الحق على قدر ما تركوا من هؤلاء. فإن للحق في كل معبود وجهًا يعرفه من يعرفه ويجهله من يجهله. {وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا} أي حكم، فالعالم يعلم من عَبَد وفي أي صورة ظهر حتى عُبِد، وإن التفريق {إِلَّا إِيَّاهُ} والكثرة كالأعضاء في الصورة المحسوسة والقوى المعنوية في الصورة الروحانية، فما عبد غير الله في كل معبود'
"Karena menyeru kepada Allah adalah tipu daya terhadap yang diseru. Allah berfirman: 'Dan mereka telah melakukan tipu daya yang besar'. Mereka (umat Nabi Nuh) menjawab Nabi Nuh dengan tipu daya, sebagaimana dia menyeru mereka.
Mereka berkata dalam tipu daya mereka: 'Dan mereka berkata, jangan tinggalkan tuhan-tuhanmu, dan jangan tinggalkan Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr.' Karena jika mereka meninggalkan para berhala itu, mereka tidak akan mengetahui kebenaran sesuai dengan kadar yang mereka tinggalkan dari berhala-berhala tersebut.
Sesungguhnya dalam setiap yang disembah terdapat aspek dari kebenaran yang diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya. Firman Allah: 'Dan Tuhanmu telah memutuskan agar kalian tidak menyembah selain Dia', artinya Dia telah menetapkan demikian.
Maka orang yang berilmu mengetahui siapa yang disembah dan dalam bentuk apa Ia tampak hingga disembah. Dan meskipun ada perbedaan, 'kecuali hanya kepada-Nya' (yang disembah), banyaknya bentuk penyembahan itu seperti anggota tubuh dalam gambar yang terlihat, dan kekuatan spiritual dalam gambar yang rohani. Maka, tidak ada yang disembah selain Allah dalam setiap yang disembah."[5]
ولما جعل هذا الخبيث قوم نوح الذين عبدوا الأصنام لم يعبدوا إلا الله، وأنهم بذلك موحدون حقًا فلذلك كافأهم الله الذي هم نفسه، فهي التي خطت بهم {مِمَّا خَطِيئَاتِهِمْ} وذاته بأن أغرقهم في بحار العلم في الله. قال: {وَإِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْ} في عين الماء {فَأُدْخِلُوا نَاراً} فغرقوا في بحار العلم بالله، فكان الله عين أنصارهم فهلكوا فيه إلى الأبد {فَلَمْ يَجِدُوا لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْصَاراً
"Ketika orang jahat ini (mengklaim) bahwa kaum Nabi Nuh yang menyembah berhala-berhala sebenarnya tidak menyembah kecuali Allah, dan bahwa dengan demikian mereka benar-benar orang-orang yang bertauhid, maka Allah yang mereka anggap sebagai diri-Nya sendiri memberi mereka balasan.
Karena itulah mereka dihukum oleh diri-Nya sendiri (yang mereka anggap sebagai Allah), karena Dia menyesatkan mereka melalui dosa-dosa mereka, dan karena Zat-Nya mereka ditenggelamkan ke dalam lautan ilmu tentang Allah.
Allah ta'ala berfirman: 'Dan apabila lautan dijadikan meluap-luap' di mata air, 'lalu mereka dimasukkan ke dalam api' (neraka), mereka tenggelam di lautan ilmu tentang Allah. Maka, Allah menjadi mata para penolong mereka sehingga mereka binasa di dalamnya selamanya. 'Mereka tidak menemukan bagi mereka penolong selain Allah.'"[6]
فما عبد غير الله في كل معبود، فالأدنى من تخيل فيه الألوهية، فلولا هذا التخيل ما عبد الحجر ولا غيره'
"Maka, tidak ada yang disembah selain Allah dalam setiap yang disembah. Yang terendah adalah mereka yang membayangkan keilahian dalam sesuatu. Jika bukan karena bayangan keilahian ini, maka batu atau selainnya tidak akan disembah."[7]
Ibnu Arabi berpendapat bahwa Nabi Nuh telah melakukan tipu daya terhadap kaumnya ketika dia memerintahkan mereka untuk bertauhid kepada Allah dan meninggalkan penyembahan berhala. Menurutnya, siapa pun yang menyembah batu sebenarnya sedang menyembah Allah, karena Allah telah 'bersemayam' dalam berhala-berhala tersebut.
Berdasarkan pandangan ini, orang-orang musyrik Quraisy tidak dianggap sebagai kafir, melainkan sebagai orang-orang yang bertauhid dan beriman.
𝟯. 𝗧𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗮𝗱𝗮 𝘀𝗶𝗸𝘀𝗮𝗮𝗻 𝗻𝗲𝗿𝗮𝗸𝗮
وإن دخلـوا دار الشقــاء فإنهم* على لذة فيها نعيم مباين
نعيم جنان الخلد، فالأمر واحد * وبينهما عند التجـلي تبـاين
يسمى عذابًا من عذوبة طعمه * وذاك له كالقشر والقشر صاينُ
"Dan jika mereka masuk ke tempat siksaan, maka mereka di sana tetap merasakan kenikmatan yang berbeda dari kenikmatan surga yang kekal. Urusannya sama, namun antara keduanya ada perbedaan ketika terjadi manifestasi. Dikatakan sebagai 'siksaan' karena rasanya yang lezat, yang hanya seperti kulit, dan kulit itu adalah pelindung."
فنعيم أهل النار بعد استيفاء الحقوق نعيم خليل الله حين ألقي في النار، فإنه عليه السلام تعذب برؤيتها وبما تعود في علمه وتقرر من أنها صورة تؤلم من جاورها من الحيوان وما علم مراد الله فيها، ومنها في حقه'.
"Kenikmatan penghuni neraka setelah pemenuhan hak-hak (hukuman) adalah seperti kenikmatan Nabi Ibrahim (Khalilullah) ketika dia dilemparkan ke dalam api. Sesungguhnya, dia merasakan penderitaan ketika melihat api dan berdasarkan pengetahuannya serta apa yang sudah tertanam dalam dirinya bahwa api adalah sesuatu yang menyakitkan makhluk yang ada di dekatnya. Namun, dia tidak mengetahui maksud Allah terhadapnya dan mengenai api dalam haknya."[8]
Ibnu Arabi berpendapat bahwa penghuni neraka akan mendapatkan kenikmatan di neraka, seolah-olah neraka adalah tempat kenikmatan dan bukan tempat siksaan. Ini diperjelas dengan ucapannya :
وأما أهل النار فمآلهم إلى النعيم، ولكن في النار إذ لابد لصورة النار بعد انتهاء مدة العقاب أن تكون بردا وسلاما على من فيها
"Adapun penghuni neraka, pada akhirnya mereka akan mendapatkan kenikmatan, tetapi di dalam neraka, karena setelah masa hukuman berakhir, api neraka akan menjadi dingin dan sejahtera bagi mereka yang ada di dalamnya, dan inilah kenikmatan mereka.'"[9]
𝟰. 𝗛𝘂𝗯𝘂𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘀𝘂𝗮𝗺𝗶 𝗶𝘀𝘁𝗿𝗶 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗽𝗲𝗻𝘆𝗮𝘁𝘂𝗮𝗻 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗧𝘂𝗵𝗮𝗻
ولما أحب الرجل المرأة طلب الوصلة، أي غاية الوصلة التي تكون في المحبة، فلم يكن في صورة النشأة العنصرية أعظم وصلة من النكاح، ولهذا تعم الشهوة أجزاءه كلها، ولذلك أُمِرَ بالاغتسال منه، فعمت الطهارة كما عم الفناء فيها عند حصول الشهوة. فإن الحق غيور على عبده أن يعتقد أنه يلتذ بغيره، فطهره بالغسل ليرجع بالنظر إليه فيمن فني فيه؛ إذ لا يكون إلا ذلك.
فإذا شاهد الرجل الحق في المرأة كان شهودًا في منفعل، وإذا شاهده في نفسه - من حيث ظهور المرأة عنه - شاهده في فاعل، وإذا شاهده في نفسه من غير استحضار صورة ما تكوَّن عنه كان شهوده في منفعل عن الحق بلا واسطة. فشهوده للحق في المرأة أتم وأكمل؛ لأنه يشاهد الحق من حيث هو فاعل منفعل، ومن نفسه من حيث هو منفعل خاصة.
فلهذا أحب - صلى الله عليه وسلم - النساء لكمال شهود الحق فيهن؛ إذ لا يشاهد الحق مجردًا عن المواد أبدًا، فإن الله بالذات غني عن العالمين، وإذا كان الأمر من هذا الوجه ممتنعًا، ولم تكن الشهادة إلا في مادة، فشهود الحق في النساء أعظم الشهود وأكمله
"Ketika seorang laki-laki mencintai seorang perempuan, dia mencari penyatuan, yaitu penyatuan puncak yang terjadi dalam cinta. Tidak ada penyatuan yang lebih besar dalam bentuk jasmani manusia selain nikah. Oleh karena itu, keinginan menguasai seluruh bagian tubuhnya. Inilah mengapa diperintahkan mandi (setelah berhubungan), karena penyucian mencakup seluruh tubuh sebagaimana penyatuan dalam kenikmatan juga mencakup seluruhnya.
Sesungguhnya, Allah cemburu terhadap hamba-Nya, sehingga dia tidak boleh berpikir bahwa dia merasakan kenikmatan dari selain-Nya. Maka, Allah menyucikannya dengan mandi, sehingga dia kembali memandang Allah dalam dirinya sendiri yang telah larut dalam penyatuan dengan-Nya, karena yang ada hanyalah itu (penyatuan dengan Allah).
Jika seorang laki-laki menyaksikan al-Haqq (Allah) dalam diri seorang perempuan, maka itu adalah penyaksian terhadap sesuatu yang menerima pengaruh (manusia sebagai penerima). Jika dia menyaksikan-Nya dalam dirinya sendiri—karena perempuan muncul darinya—dia menyaksikan-Nya sebagai pelaku (aktif). Jika dia menyaksikan-Nya dalam dirinya sendiri tanpa memikirkan gambaran apa yang muncul darinya, maka penyaksiannya adalah terhadap sesuatu yang dipengaruhi oleh al-Haqq tanpa perantara.
Maka, penyaksian seorang laki-laki terhadap al-Haqq dalam diri perempuan adalah yang paling sempurna dan lengkap, karena dia menyaksikan al-Haqq sebagai pelaku sekaligus penerima. Namun, jika dia menyaksikan-Nya dalam dirinya sendiri, maka dia hanya menyaksikan-Nya sebagai penerima semata.
Oleh karena itu, Nabi Muhammad ﷺ mencintai perempuan, karena kesempurnaan penyaksian al-Haqq dalam diri mereka; sebab al-Haqq tidak dapat disaksikan tanpa materi (perwujudan fisik), karena Allah pada hakikat-Nya Maha Kaya dari alam semesta. Dan jika penyaksian itu tanpa materi tidak mungkin, maka penyaksian al-Haqq dalam diri perempuan adalah yang paling agung dan sempurna."[10]
𝟱. 𝗜𝗯𝗻𝘂 𝗔𝗿𝗮𝗯𝗶 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗮𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗙𝗶𝗿’𝗮𝘂𝗻 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗲𝗿𝗶𝗺𝗮𝗻
قرة عين لفرعون بالإيمان الذي أعطاه الله عند الغرق، فقبضه طاهرا مطهرا ليس فيه شيء من الخبث، لأنه قبضه عند إيمانه قبل أن يكتسب شيئا من الآثام، والإسلام يجب ما قبله
'Betapa bahagianya Firaun dengan keimanan yang diberikan Allah kepadanya saat tenggelam, sehingga Allah mencabut nyawanya dalam keadaan suci, bersih, dan tidak ada sedikitpun kotoran di dalam dirinya. Karena Allah mencabut nyawanya saat dia beriman sebelum dia berbuat dosa, dan Islam menghapuskan segala yang sebelumnya.'"[11]
Firaun adalah simbol kekafiran, kezaliman, dan kesewenang-wenangan. Allah ta’ala telah menyebutkan tentang klaim Firaun yang mengaku sebagai Tuhan dalam ayat al Qur’an. Maka kekafirannya sudah jelas dan tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut, karena hal ini diketahui oleh semua orang , baik orang awam maupun orang alimnya. Sedangkan Ibnu Arabi berpendapat sebaliknya.
Oleh pendukungnya pernyataan Ibnu arabi ini biasanya akan dibela dengan dua tiga cara : (1) Ucapannya itu hanya majaz, bukan hakikat, atau (2) Ini hanya bisa dipahami oleh orang yang sudah berada di maqam keimanan tertentu, atau jika tidak bisa dengan cara : (3) Ini perkataan disusupkan dalam kitabnya oleh musuh-musuhnya.
Foot note:
[1] Tanbih al Ghabi hal. 52
[2] Al Fushush hal. 76
[3] Al Fushush hal. 86
[4] Al Fushush hal. 78
[5] Al Fushush hal. 72
[6] Al Fushush hal. 73
[7] Al Fushush hal. 56
[8] Al Fushush hal 154
[9] Al Fushush hal 155
[10] Al Fushush hal. 217
[11] Al Fushush hal. 187
Tags:
Ulasan