Samin Surosentiko Simbol Perlawanan "Civil Disobedience" Asal Pati

Samin Surosentiko Simbol Perlawanan "Civil Disobedience" Asal Pati


Fikroh.com - Samin Surosentiko, yang sering disebut sebagai Mbah Suro atau Ki Samin, adalah salah satu tokoh perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Belanda yang paling unik dan inspiratif. Lahir pada tahun 1859, ia dikenal sebagai pendiri ajaran Saminisme, sebuah gerakan perlawanan pasif yang menekankan nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, dan penolakan terhadap eksploitasi kolonial. Berbeda dengan perjuangan bersenjata, Samin menggunakan keteguhan prinsip dan solidaritas komunitas untuk melawan ketidakadilan. Kisah hidupnya mencerminkan perjuangan rakyat kecil di Jawa Tengah, khususnya di wilayah Blora dan Pati, yang hingga kini menginspirasi gerakan sosial modern.

Masa Kecil dan Latar Belakang Keluarga


Samin Surosentiko lahir dengan nama asli Raden Kohar di Desa Ploso Kediren, Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, pada tahun 1859. Ayahnya bernama Raden Surowijaya (atau disebut juga Surodinomo dalam beberapa sumber), yang merupakan seorang lurah atau kepala desa setempat. Keluarganya berasal dari kalangan aristokrat Jawa rendahan, dengan akar keturunan dari Adipati Suroadikusumo, seorang bangsawan yang memiliki hubungan dengan kerajaan Mataram. Meskipun lahir di lingkungan yang relatif berprivilese, Samin memilih untuk meninggalkan gelar "Raden" dan hidup sebagai petani biasa, menunjukkan solidaritasnya dengan rakyat kecil.

Sejak muda, Samin tumbuh di tengah masyarakat petani yang menderita akibat kebijakan kolonial Belanda, seperti pajak tanah yang memberatkan dan sistem kerja paksa (rodi) untuk menebang hutan jati. Pengalaman ini membentuk pandangannya tentang ketidakadilan. Ia menikah dan memiliki anak, tetapi fokus utamanya adalah pada kehidupan spiritual dan sosial. Samin sering melakukan meditasi dan perenungan di hutan, di mana ia merumuskan ajaran-ajarannya. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sekitar usia dewasa, yang konon berasal dari kata "sami" (sama) dan "suro" (berani), mencerminkan filosofi kesetaraan dan keberanian.

Munculnya Ajaran Saminisme


Sekitar tahun 1890, Samin mulai menyebarkan ajaran yang kemudian dikenal sebagai Saminisme. Ajaran ini berakar pada nilai-nilai Jawa tradisional, dipadukan dengan kritik terhadap kolonialisme. Pokok-pokok ajarannya meliputi:

  • Kesederhanaan Hidup: Hidup secukupnya, bekerja keras, dan menjaga harmoni dengan alam.
  • Kejujuran dan Kesetaraan: Menolak dusta, menekankan bahwa semua manusia sama (sami), tanpa hirarki sosial yang menindas.
  • Penolakan Eksploitasi: Menolak membayar pajak kepada Belanda karena tanah adalah milik rakyat Jawa, bukan penjajah. Ia juga menentang kerja paksa untuk penebangan kayu jati (mblandongan) yang merusak hutan.
  • Filosofi Spiritual: Menggabungkan elemen Islam, animisme, dan kepercayaan Jawa, seperti konsep "adam" (manusia) yang harus hidup selaras dengan alam dan Tuhan.

Samin tidak mendirikan organisasi formal, melainkan membentuk komunitas yang disebut "Sedulur Sikep" (saudara yang saling memeluk atau mendukung). Pengikutnya, sebagian besar petani miskin dari Blora, Bojonegoro, Pati, dan sekitarnya, belajar ajaran ini melalui cerita lisan dan pertemuan sederhana. Pada awal 1900-an, gerakan ini berkembang pesat, dengan ribuan pengikut yang menolak aturan kolonial secara pasif.

Gerakan Perlawanan terhadap Kolonialisme


Gerakan Saminisme menjadi bentuk perlawanan non-kekerasan yang efektif terhadap Pemerintahan Hindia Belanda. Pengikut Samin menolak membayar pajak tanah, mengikuti sensus penduduk, atau bekerja paksa, dengan alasan bahwa "tanah milik orang Jawa, bukan Belanda." Mereka menggunakan bahasa simbolis dan sindiran untuk menghindari konfrontasi langsung, seperti menyebut pajak sebagai "upeti" yang tidak wajib. Pada tahun 1905-1907, gerakan ini mencapai puncaknya, dengan sekitar 3.000 pengikut yang menyebabkan kerugian finansial bagi Belanda.

Pemerintah kolonial menganggap Samin sebagai ancaman karena pengaruhnya yang luas, meskipun tanpa kekerasan. Mereka melabeli gerakan ini sebagai "pembangkangan" dan mencoba membubarkannya. Namun, Samin dan pengikutnya tetap teguh, sering kali menjawab pertanyaan petugas Belanda dengan jawaban ambigu atau filosofis, seperti "Aku ora weruh" (saya tidak tahu) untuk menghindari komitmen.

Pengaruh gerakan ini meluas ke wilayah Pati, di mana masyarakat petani menerapkan nilai-nilai Saminisme dalam kehidupan sehari-hari. Kisah ini mirip dengan perlawanan Gandhi di India, di mana ketidaktaatan sipil menjadi senjata utama.

Penangkapan dan Pengasingan


Pada tahun 1907, Belanda akhirnya menangkap Samin Surosentiko bersama enam hingga delapan pengikut utamanya di Blora. Mereka diadili secara sepihak dan diasingkan ke Sawahlunto, Sumatera Barat, untuk bekerja paksa di tambang batubara. Pengasingan ini dimaksudkan untuk memutus hubungan Samin dengan pengikutnya, tetapi justru memperkuat legenda dirinya. Di pengasingan, Samin tetap mempertahankan ajarannya, meskipun hidup dalam kondisi keras.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa Samin sempat dikirim ke Padang sebelum Sawahlunto, dan ia terus berkomunikasi secara rahasia dengan komunitasnya. Pengasingan ini berlangsung hingga akhir hayatnya, di mana ia menghadapi penderitaan fisik dan emosional.

Kematian dan Misteri Akhir Hidup


Samin Surosentiko meninggal dunia pada tahun 1914 di Sawahlunto, Sumatera Barat, dalam usia 55 tahun. Penyebab kematiannya diduga akibat kerja paksa yang melelahkan dan kondisi kesehatan yang buruk di pengasingan. Namun, di kalangan pengikutnya, ada keyakinan mistis bahwa Samin tidak benar-benar meninggal, melainkan "moksa" atau menghilang secara spiritual, sesuai dengan tradisi Jawa. Jenazahnya dimakamkan di Sawahlunto, tetapi tidak ada catatan resmi yang lengkap dari pihak Belanda.

Setelah kematiannya, gerakan Saminisme sempat ditekan oleh Belanda dan kemudian Orde Baru, yang melabelinya sebagai "aliran kepercayaan" yang menyimpang. Namun, komunitas Sedulur Sikep bertahan dan mengubah nama mereka pada akhir abad ke-20 untuk menghindari stigma.

Warisan dan Pengaruh Modern


Warisan Samin Surosentiko hidup hingga hari ini melalui komunitas Sedulur Sikep di Blora, Bojonegoro, Pati, dan sekitarnya. Mereka mempertahankan tradisi seperti pernikahan sederhana, penolakan terhadap materialisme, dan perlindungan lingkungan, seperti menentang pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Pada tahun 2022, diperingati satu abad perjuangan Samin melalui dokumenter dan acara budaya.

Di era modern, semangat Samin terlihat dalam aksi warga Pati pada 2025 yang menentang kenaikan pajak, mencerminkan akar perlawanan pasif. Samin belum secara resmi diakui sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia, meskipun banyak kalangan mendesaknya. Kisahnya mengajarkan bahwa perjuangan bisa dilakukan tanpa kekerasan, melalui keteguhan hati dan solidaritas rakyat.

Posting Komentar untuk "Samin Surosentiko Simbol Perlawanan "Civil Disobedience" Asal Pati"