Fikroh.com - Maulid adalah isim zaman dari kata walada-yalidu artinya waktu lahir. Tentang waktu lahir Nabi Muhammad saw, para ulama berbeda pendapat. Pendapat masyhur dari jumhur ulama adalah pada bulan Rabi'ul Awwal. Tentang tanggalnya mereka juga berbeda pendapat. Namun semuanya sepakat tentang harinya yaitu hari senin karena berdasarkan hadits yang shahih (Shahih Muslim no.1162). Ada yang mengatakan tanggal 2, 8, 10, 12, 17 dan 18 (lihat Sirah Nabawiyyah Ibnu Katsir, 1/199). Ada tambahan pendapat lain dari para ulama kontemporer berdasarkan perhitungan ilmu falak, yaitu mereka menetapkan tanggal 9, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Mubarok Furi dalam kitabnya Ar-Rahiqul Makhtum. Menurut Ibnu Katsir, pendapat yang paling masyhur dipegang oleh jumhur ulama adalah tanggal 12.
Setiap muslim tentu harus merasa senang dengan kehadiran Rasulullah ﷺ yang diutus oleh Allah untuk manusia, karena beliau merupakan nikmat terbesar yang Allah berikan. Allah menjadikannya sebagai teladan sempurna bagi manusia sepanjang zaman dan rahmat bagi seluruh alam. Allah ﷻ berfirman :
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali Imran : 164).
Beriman kepada beliau sebagai utusan Allah, secara otomatis, setelah cinta kepada Allah, menuntut untuk mencintai beliau, bahkan melebihi apapun termasuk diri sendiri.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ هِشَامٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا مِنْ نَفْسِي فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ : فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : الْآنَ يَا عُمَرُ
Dari Abdullah bin Hisyam, ia menuturkan; kami pernah bersama Nabi ﷺ yang saat itu beliau menggandeng tangan Umar bin Khattab, kemudian Umar berujar, "Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala-galanya selain diriku sendiri." Nabi ﷺ bersabda, "Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri." Maka Umar berujar, 'Sekarang demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku.' Maka Nabi ﷺ bersabda, "Sekarang (baru benar) wahai Umar." (HR. Bukhari, no. 6632).
Rasa cinta kepada beliau itulah yang mendorong untuk mempelajari dan bersungguh-sungguh mengamalkan ajaran yang beliau bawa (Al-Qur’an dan Sunnah), karena beliaulah satu-satunya jalan keselamatan, mempelajari sejarah hidup beliau dan berusaha meneladaninya, selalu mengingat-ingat dan menghayati jejak langkahnya, berjuang meneruskan perjuangannya, membela kehormatannya, rindu kepada beliau dan ingin bersama dengan beliau di surga kelak.
Itu adalah perkara pokok dalam iman kepada Rasulullah ﷺ yang mesti dimiliki setiap muslim.
Adapun berkaitan dengan merayakan kelahiran Nabi Muhammad ﷺ, ia merupakan perkara khilafiyyah (yang diperselisihkan) oleh para ulama.
Jadi, harus dibedakan terlebih dahulu mana perkara pokok, yaitu mencintai Nabi Muhammad ﷺ, dan mana perkara furu/cabang yang diperselisihkan, yaitu merayakan kelahiran Nabi ﷺ. Jangan dicampuradukkan, yaitu dengan mengatakan misalnya jika tidak merayakan maulid nabi berarti tidak mencintai nabi. Ini adalah kesimpulan yang keliru.
Dalam masalah khilafiyyah ini, terlebih dahulu kita harus memahami hal yang disepakati, yaitu bahwa merayakan maulid Nabi ﷺ ini adalah perkara yang bid’ah. Artinya, ia adalah perkara baru yang belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ, para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Ini disepakati oleh seluruh ulama. Yang menjadi perselisihan kemudian adalah apakah bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyiah (buruk) ataukah dapat dikategorikan sebagai bid’ah hasanah (baik). Di samping perbedaan dalam memahami hakikat bid’ah itu sendiri, yaitu antara yang memahami semua bid’ah itu buruk/sesat, sedangkan yang tidak buruk tidak disebut bid’ah. Dan yang membagi bid’ah kepada yang buruk dan yang baik, atau bahkan membagi sesuai hukum taklifi yang lima, yaitu ada yang haram, makruh, mubah, sunnah dan wajib.
Yang menganggapnya sebagai bid’ah hasanah menganggap bahwa ia merupakan bentuk ekspresi cinta kepada Nabi ﷺ yang ditampilkan dalam bentuk bersyukur dengan mengadakan acara perayaan maulid, yaitu dengan berkumpul membaca shalawat, membaca qasidah-qasidah tentang kisah Nabi ﷺ, pengajian, makan-makan, dsb, yang bisa jadi dilakukan dengan format acara yang berbeda-beda. Selain itu, juga untuk mengingatkan masyarakat luas yang sudah banyak lupa kepada kehidupan Rasulullah ﷺ.
Dan yang menganggap sebagai bid’ah sayyiah karena menilainya sebagai sebuah ritual ibadah khusus yang diada-adakan, sedangkan ritual ibadah khusus itu mesti ada landasannya langsung dari Nabi ﷺ.
Kedua-dua pendapat tersebut adalah hasil ijtihad para ulama yang tidak dapat disepelekan. Harus dihormati. Setiap orang berhak untuk mengambil pilihan, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas pilihannya.
Tapi, ada hal yang harus diperhatikan, bahwa para ulama yang membolehkannya, tidaklah membolehkan secara mutlak, tetapi ada syarat-syaratnya yang harus dipenuhi. Yaitu jangan ada perkara-perkara haram dan melanggar syariat dalam perayaannya, tidak menjadikannya sebagai ritual peribadatan khusus tetapi sebatas perkara duniawi sebagai ekspresi rasa cinta dan rasa syukur, tidak meyakini kewajiban atau kesunnahannya karena harus ada nash khusus yang menunjukkan kepadanya, dan tidak menjadikannya sebagai hari raya (‘ied) karena hanya ada dua hari raya dalam Islam yaitu ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha, tetapi sebagai perayaan biasa. Dengan memperhatikan syarat-syarat ini, bagi orang yang melakukannya menjadi bahan introspeksi, apakah sudah dapat berkomitmen dengan syarat-syarat ini?
Adapun bagi saya, saya memilih untuk tidak merayakannya. Yaitu berpegang kepada prinsip sadd adz-dzari’ah (mencegah timbulnya perbuatan haram). Karena faktanya, sangat sulit merealisasikan syarat-syarat di atas. Tidak sedikit orang yang terjebak meyakini bahwa perayaan maulid Nabi merupakan ritual peribadatan khusus yang dilakukan secara rutin setiap tahun pada waktu tertentu, dianggap sebagai syariat yang tidak ada bedanya dengan ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha, tidak sedikit yang menganggapnya sebagai sunnah, bahkan wajib dengan memaksakan diri untuk mengadakannya, bahkan mencela dan membenci orang yang tidak merayakannya. Sehingga menjadi keyakinan dan tradisi yang mendarah daging dalam masyarakat awam, tanpa berusaha sungguh-sungguh untuk dipahamkan. Dalam acara perayaannya pun, tidak dipungkiri terdapat hal-hal yang menyimpang dan tidak masuk akal, misalnya meyakini datangnya ruh Nabi ﷺ, bahkan sampai ada yang mengaku mengetahui keberadaannya, berdiri saat dibacakan kelahirannya sebagai penghormatan, memuji-muji Rasulullah ﷺ secara berlebihan bahkan tanpa sadar masuk kepada wilayah ketuhanan, yang tentu hal itu tidak memiliki dasar yang jelas dan bisa berakibat menjerumuskan kepada syirik dan kekufuran. Membacakan kisah-kisah Nabi ﷺ seperti barzanji dengan bahasa Arab yang tidak dimengerti kepada masyarakat awam, tentu hal itu menjadi jauh dari tujuannya, yaitu mengingatkan tentang kehidupan Rasulullah ﷺ. Belum lagi ditambah dengan keharaman lain seperti dangdutan dengan penyanyi biduan yang berjoged-joged, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan (ikhtilat), dsb. Jika hal-hal seperti itu yang dilakukan dalam perayaan maulid, maka jelaslah tergolong kepada bid’ah sayyiah.
Belum lagi, jika melihat efektifitasnya, bahwa tujuan perayaan maulid itu agar orang-orang mengingat kehidupan Rasulullah ﷺ, menumbuhkan rasa cinta kepadanya dan meneladaninya, pada kenyataannya tidak benar-benar efektif. Padahal, jika perayaan maulid ini dianggap sebagai wasail (perantara) untuk mencapai maqashid (tujuan), maka hukum wasail itu mengikuti hukum maqashid, tapi kalau wasail ini telah melenceng jauh dari maqashidnya, maka tentu saja wasail tersebut tidak lagi diperlukan. Tidak sedikit orang yang terjebak hanya mengikuti alur seremonial belaka, menyanyikan lagu-lagu yang tidak begitu dipahami, tidak menyentuh kepada esensi dan komitmen untuk meneladani Rasulullah ﷺ dalam keseharian. Bahkan mirisnya, acara dilakukan hingga larut malam, saat shalat shubuh tiba, orang-orang pun menghilang, tidak kelihatan melaksanakan shalat.
Untuk menanamkan kecintaan yang kuat, menghayati dan meneladani kehidupan Rasulullah ﷺ dalam keseharian, tidak dapat dicapai hanya dengan acara seremonial tahunan, tapi mesti dengan usaha serius untuk mengajarkan sirohnya secara rutin, menanamkan dan mengaplikasikan sunnah-sunnah dan ajarannya, menjadikannya sebagai kurikulum dan panduan pendidikan yang diajarkan di sekolah-sekolah yang diikuti oleh pelajar-pelajar muslim, juga kajian-kajian intensif bagi seluruh lapisan masyarakat, dan berbagai usaha lainnya untuk mewujudkan keteladanan Rasulullah ﷺ dalam kehidupan nyata.
Ini hanya pertimbangan saya saja, anda boleh tidak setuju. Silahkan pertimbangkan pilihan anda sendiri. Tidak perlu terus menerus menjadi ajang perpecahan.
Mencintai Nabi Tidak Perlu Dalil
Telah kami sampaikan bahwa memperingati maulid merupakan salah satu ekspresi kecintaan ummat Islam terhadap Nabi mereka. Para sahabat [murid Nabi] dan tabi’in, telah mengajarkan kepada kita bahwa mencintai Baginda Nabi bisa ditunjukkan dengan berbagai ekspresi.
Tidak boleh kita katakan : ‘’mencintai Nabi hanya dengan mengamalkan sunnah’’. Betul, mengamalkan sunnah adalah bagian dari wujud kecintaan kita terhadap Nabi. Namun, ungkapan/ekspresi cinta para sahabat justeru tidak sebatas mengamalkan sunnah beliau.
Dan kami mengingatkan kepada saudara seiman kami, untuk tidak melarang sesuatu YANG TIDAK DILARANG OLEH SYARI’AT.
Melarang sesuatu yang boleh, sama buruknya seperti membolehkan sesuatu yang terlarang. Bukan kah Allah Ta’ala berfirman :
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ
‘’Dan janganlah kalian mengatakan sesuatu yang disebutkan oleh lisan dusta kalian bahwa ‘Ini halal, dan ini haram’ (QS. An-Nahl [16] : 116)
Bukankah tidak terlarang, jika seseorang atau sekumpulan manusia menjadikan moment bulan Rabi’ul Awwal untuk kajian sirah Nabi? Sebagaimana orang-orang biasa menjadikan bulan Ramadhan moment untuk kajian shaum, dan bulan dzulhijjah moment untuk kajian qurban/haji.
Jika menjadikan bulan Rabi’ul Awwal sebagai moment untuk mengkaji sirah terlarang, maka harus dilarang pula adanya kajian shaum di bulan Ramadhan, dan kajian qurban/haji di bulan dzulhijjah.
Padahal, bulan Rabi’ul Awwal adalah moment yang tepat untuk mengkaji sirah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Karena bulan itu adalah bulan dimana Rasulullaah dilahirkan, bulan dimana Rasulullaah hijrah, dan bulan dimana Rasulullaah wafat. Bukan kah itu seperti rekam sejarah perjalanan beliau, dari kelahiran hingga wafat, dan itu tepat di bulan yang sama, yang oleh karena nya cocok untuk mengkaji sirah beliau dari awal hingga akhir?
Dan sebagai wujud kecintaan kita terhadap Nabi, semestinya kita bersemangat dalam mengkaji sirah beliau shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Berbicara tentang kecintaan terhadap Nabi, berikut adalah sebagian gambaran ekspresi kecintaan para sahabat dan tabi’in [murid para sahabat Nabi] terhadap Baginda Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Ekspresi-ekspresi kecintaan para sahabat terhadap Nabi
وَقد وَردت أَحَادِيث كَثِيرَة أَن جمَاعَة شربوا دم النَّبِي، عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام، مِنْهُم أَبُو طيبَة الْحجام، وَغُلَام من قُرَيْش حجم النَّبِي، عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام، وَعبد الله بن الزبير شرب دم النَّبِي، عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام، رَوَاهُ الْبَزَّار وَالطَّبَرَانِيّ وَالْحَاكِم وَالْبَيْهَقِيّ وَأَبُو نعيم فِي (الْحِلْية) . ويروى عَن عَليّ، رَضِي الله تَعَالَى عَنهُ، أَنه شرب دم النَّبِي، عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام، وَرُوِيَ أَيْضا أَن أم أَيمن شربت بَوْل النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم، رَوَاهُ الْحَاكِم وَالدَّارَقُطْنِيّ وَالطَّبَرَانِيّ وَأَبُو نعيم، وَأخرج الطَّبَرَانِيّ فِي (الْأَوْسَط) فِي رِوَايَة سلمى امْرَأَة ابي رَافع أَنَّهَا شربت بعض مَاء غسل بِهِ رَسُول الله، عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام، فَقَالَ لَهَا حرم الله بدنك على النَّار
‘’Dan terdapat riwayat yang banyak bahwasanya sekalangan sahabat telah meminum darah Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam. Di antara mereka adalah Abu Thibah Al-Hajjam. Dan seorang budak yang membekam Nabi juga.
Begitu pula Abdullah Ibn Zubair meminum darah Nabi. Hal ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar, At-Thabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Abu Nu’aim di dalam [Al-Hilyah]. Dan diriwayatkan dari ‘Ali bahwasanya ia meminum darah Nabi. Begitu pula diriwayatkan dari Ummu Ayman bahwa ia meminum air kencing Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Diriwayatkan oleh Al-Hakim, Ad-Daraquthni, dan At-Thabrani, dan Abu Nu’aim. Dan telah mengeluarkan pula At-Thabrani di dalam [Al-Awsath] dalam riwayat Salma, istri Abu Rafi, bahwasanya ia telah meminum air bekas mandi Nabi. Dikatakan kepada Salma : ‘’Semoga Allaah mengharamkan badan mu dari Neraka.’’ (Al-‘Aini, Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 3/35)
Berkata Ibn Sirin :
لَأَنْ تَكُونَ عِنْدِي شَعَرَةٌ مِنْهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
‘’Aku memiliki rambut Nabi lebih aku sukai ketimbang dunia dan seisinya.’’ (Shahih Bukhari, 1/45)
Ingat, ekspresi-ekspresi kecintaan para sahabat dan tabi’in ini bukan perintah dari Nabi secara khusus. Tapi atas dasar inisiatif mereka sendiri.
Mencintai Nabi memang diperintahkan, akan tetapi para sahabat dan tabi’in mengungkapkan kecintaan mereka dengan cara mereka sendiri. Tentu saja ekspresi kecintaan itu maknanya bukan penyembahan kepada Nabi Muhammad.
Pertanyaannya : Bagaimana cara kita mengungkapkan ekspresi kecintaan kita terhadap Nabi? Sedangkan para sahabat dan tabi’in sudah sedemikian luar biasa dalam mengekspresikan kecintaan mereka terhadap Nabi.
Memuliakan kelahiran Nabi ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah
Nabi memperingati hari kelahirannya :
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ؟ قَالَ: ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ، وَيَوْمٌ بُعِثْتُ - أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ
Dan Rasulullaah ditanya tentang shaum hari senin, jawaban beliau : ‘’Itu adalah hari dimana aku dilahirkan, dan hari aku diutus sebagai Nabi.’’ (HR. Muslim No. 1162, dari Abu Qatadah Al-Anshari)
Inilah dalil yang sharih [terang benderang] berkenaan dengan peringatan kelahiran Nabi. Meski dengan bentuk yang berbeda, namun esensi nya sama, yaitu dalam rangka memuliakan hari kelahiran Nabi Muhammad shallallaahu ‘alayhi wasallam.
Perintah memuliakan hari kelahiran Nabi juga menjadi alasan dimuliakannya hari Jum’at.
إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ
”Sesungguhnya diantara hari kalian yang paling afdhal adalah hari jum’at. Di hari itu Adam diciptakan..’’ (HR. Abu Dawud No. 1047. Hadits Shahih)
Sebagaimana hari jum’at dimuliakan sebab diciptakannya Adam, maka hari kelahiran Nabi Muhammad juga merupakan kemuliaan dan wajib dimuliakan.
Bukan kah Rasulullaah adalah Sayyid Bani Adam [tuan mulia di atas seluruh ummat manusia]?
Selain memuliakan waktu kelahiran, terdapat atsar yang menunjukkan bahwa tempat kelahiran Nabi juga dimuliakan.
Lihat bagaimana Makkah [kota kelahiran Nabi] dimuliakan di dalam Islam.
Tatkala Jibril ‘Alayhissalam menyertai Rasulullaah dalam perjalanan Isra’ Mi’raj, Jibril berkata :
انْزِلْ فَصَلِّ فَنَزَلْتُ فَصَلَّيْتُ. فَقَالَ: أَتَدْرِي أَيْنَ صَلَّيْتَ؟ صَلَّيْتَ بِبَيْتِ لَحْمٍ حَيْثُ وُلِدَ عِيسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ
”Turunlah. Dan laksanakan shalat!’’ Maka aku [Nabi Muhammad] turun dari bighal kemudian aku menunaikan shalat. Jibril berkata kembali, ‘’Tahukah engkau dimana engkau shalat? Engkau shalat di Betlehem, tempat dimana Isa dilahirkan.’’ (HR. An-Nasa’i No. 450; Al-Bazzar dalam Musnad-nya No. 3484; dan At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir No. 7142)
Tentu saja kelahiran para Nabi –terlebih kelahiran Nabi Muhammad– merupakan rahmat dan anugerah bagi semesta alam.
Tiada lain itu karena mereka membawa misi mulia mentauhidkan ummat manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
‘’Dan katakanlah : bahwa dengan karunia Allaah serta rahmatnya hendaknya mereka bergembira. Hal itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’’ (QS. Yunus : 58)
Berkata Al-Imam Al-Alusi rahimahullaah :
‘’[fa bi dzalika fal yafrahuu...] ayat tersebut menunjukkan penegasan dan penetapan. Dan telah jelas bahwa ‘’rahmat’’ yang dimaksud di dalam ayat adalah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alayhi wasallam.” (Al-Alusi, Ruh Al-Ma’ani, 10/141).
Perkara-perkara baru setelah masa Nabi
Ada banyak perkara baru yang tidak dicontohkan Nabi tapi merupakan perkara yang bermanfaat. Tentu saja yang sesuai dengan syari’at. Bukan dengan melanggar syari’at.
Bukan kah mendirikan pesantren juga tidak memiliki contoh dari Nabi, tapi perbuatan itu bermanfaat bagi ummat dan jelas tidak melanggar syari’at?
Syaikhul Islam Imam Ibn Hajar Al-Asqalani rahimahullaah berkata :
فَمِمَّا حَدَثَ تَدْوِينُ الْحَدِيثِ ثُمَّ تَفْسِيرُ الْقُرْآنِ ثُمَّ تَدْوِينُ الْمَسَائِلِ الْفِقْهِيَّةِ الْمُوَلَّدَةِ عَنِ الرَّأْيِ الْمَحْضِ ثُمَّ تَدْوِينُ مَا يَتَعَلَّقُ بِأَعْمَالِ الْقُلُوبِ فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَأَنْكَرَهُ عُمَرُ وَأَبُو مُوسَى وَطَائِفَةٌ وَرَخَّصَ فِيهِ الْأَكْثَرُونَ وَأَمَّا الثَّانِي فَأَنْكَرَهُ جَمَاعَةٌ مِنَ التَّابِعِينَ كَالشَّعْبِيِّ وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَنْكَرَهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَطَائِفَةٌ يَسِيرَةٌ وَكَذَا اشْتَدَّ إِنْكَارُ أَحْمَدَ لِلَّذِي بَعْدَهُ
”Termasuk di antara perkara-perkara yang baru muncul adalah:
1. Kodifikasi [pembukuan] hadits.
2. Kodifikasi tafsir Al-Quran.
3. Kodifikasi masalah-masalah fiqih yang lahir dari pemikiran semata.
4. Kodifikasi perkara-perkara yang berkaitan dengan hati [tazkiyah an-nafs].
Poin no. 1 dulu ditolak oleh Umar (bin Khaththab), Abu Musa dan sejumlah sahabat lainnya. Tapi sebagian besar membolehkan.
Sedangkan poin no. 2 dulu ditolak oleh sejumlah ulama Tabi'in seperti As-Sya'bi.
Sedangkan poin no. 3 dulu ditolak oleh Imam Ahmad dan sejumlah kecil ulama lainnya.
Begitu juga poin-poin setelahnya sangat ditolak oleh Imam Ahmad. (Fathul Bari, 13/253)
Perkara-perkara baru ini diterima sebagian kalangan, ditolak oleh sebagian kalangan yang lain. Semestinya kita menempatkan masalah peringatan maulid ini sebagai masalah khilafiyyah furu’iyyah semata. Tidak boleh membuat kita saling benci dan saling serang. Wallahu A’lam.
Oleh: Muhammad Atim
Tags:
Ulasan