Oleh: Ahmad Syahrin Thoriq
Fikroh.com - Beberapa hari ke depan saya akan menulis secara khusus bahasan tentang masalah hukum pajak dan bea cukai menurut Islam. Untuk menjalankan amanah menjawab pertanyaan tentang haramnya bekerja sebagai pemungut pajak atau cukai seperti yang difatwakan dalam video yang kami sertakan.
Mengingat tulisan ini akan panjang berseri, berikut diantara point-point pentingnya:
1. Di awal terbentuknya negara Islam, sejak zaman Rasulullah ﷺ hingga masa khalafaur Rasyidin, negara hanya mengenal pemasukan berupa zakat, infak, waqaf, sedekah dan hibah yang diberikan rakyat kepada negaranya.
Juga ditambah pemasukan dari luar berupa ghanimah (rampasan perang) dan jizyah, yakni seperti pajak yang menjadi kewajiban kafir dzimmi yang tinggal di wilayah kaum muslimin.
2. Dalam perjalanannya, pemasukan negara bertambah dengan income yang bernama Kharaj. Yakni tanah negara yang digarap oleh rakyat dan hasilnya, sekian persennya masuk ke baitul mal negara.
Sebenarnya di masa Nabi ﷺ kharaj ini sudah ada, hanya saja penggarapnya pada saat itu adalah orang-orang non muslim saja, sehingga ia mirip dengan jizyah.
Di fase ini pun mulai diperlakukan bea cukai perdagangan bagi pedagang-pedagang yang berasal dari luar wilayah kekhilafahan Islam.
3. Dalam beberapa kondisi, ketika kaum muslimin menghadapi kondisi kritis seperti peperangan, bencana alam dan lainnya, ada dinasti Islam yang kemudian memunculkan ide untuk memungut pajak, yakni pungutan wajib kepada rakyat untuk membantu negara.
Di sini kemudian terjadi perselisihan pendapat dikalangan para ulama di masa itu dalam menyikapi hal tersebut.
4. Sebagian ahli ilmu tetap keukeuh tidak membolehkan adanya pungutan wajib atas rakyat dengan alasan dan keadaan apapun. Dalihnya selain memang tidak boleh harta seseorang diambil oleh siapapun secara paksa, termasuk oleh negara, juga dalam kondisi sulit rakyat bukannya ditekan, tapi harusnya diberikan bantuan.
Lain halnya bila pungutan itu sifatnya suka rela dan tidak ada paksaan, maka itu jelas dibolehkan dalam Islam.
5. Sedangkan mayoritas ulama saat itu membolehkan negara memungut pajak dari rakyat, namun juga dengan syarat dan ketentuan yang sangat ketat, diantaranya : Jika keadaan darurat sudah teratasi, wajib hukumnya bagi negara untuk menghentikan aktivitas memungut pajak.
6. Sebuah fakta unik yang mungkin tidak banyak orang yang tahu, bahwa di hampir 1000 tahun lebih peradaban kaum muslimin, rakyat nyaris tidak mengenal yang namanya pajak kecuali dalam beberapa kondisi tertentu yang telah disebutkan.
Kekhalifahan Islam meski dengan dinasti yang berganti-ganti, hampir semuanya memiliki kesamaan : Tidak punya hobby majakin rakyatnya.
7. Sebaliknya, dikenal di masa lalu istilah yang disebut dengan"athaya", yakni tunjangan resmi lagi rutin dari negara untuk seluruh rakyatnya.
Mungkin seperti BLT ya ? Bukan tidak sama. Pertama, karena pemberian ini jumlahnya lumayan besar. Dan kedua, ukurannya bukan standar kemiskinan, tapi besaran athaya disesuaikan dengan jasa seseorang kepada negara.
Fakir miskin saat itu dicukupi dengan diberi zakat, bukan athaya. Karena athaya itu seperti hadiah, cuma kalau hadiah kan tidak rutin, sedangkan ini rutin.
Mungkin cocok juga disebut gaji. Cuma kan gaji itu diberikan kalau ada timbal balik kerja, sedangkan ini tidak ada. Yah jadi repot mau menggunakan istilah apa.
Para mujahid, guru, imam masjid, dan ibu-ibu hamil juga menyusui adalah kelompok masyarakat yang dianggap berjasa bagi negara, hingga diberi athaya secara berkala.
8. Memang ada beberapa hadits yang dzahirnya terang menyebutkan akan larangan memungut pajak atau cukai dari rakyat.
Namun pemungut pajak yang disebut "maksu" di lafadz hadits konteksnya adalah untuk menyebut praktek tukang palak di zaman jahiliyah seperti pungutan liar oleh preman pasar, uang jaminan keamanan jalan dan yang semisalnya.
Yang mana orang-orang akan "dipalak" secara dzalim oleh mereka.
Sedangkan pajak seperti yang kita kenal hari ini, pada masa itu belum ada dalam kehidupan bernegara / kekhalifahan Islam.
9. Pertanyannya apakah Al maksu (pemungut pajak/cukai) dalam hadits bisa disamakan dengan pemungut pajak atau cukai hari ini ?
Ada dua pendapat, ada yang menyamakan namun mayoritas ulama mengatakan tidaklah sama.
Karena pajak atau cukai hari ini adalah pungutan resmi yang diperlakukan oleh negara yang ditentukan oleh undang-undang.
Terlepas kemudian mayoritas ulama ini berbeda pendapat dalam rinciannya, seperti adanya pajak atau bea cukai yang sifatnya dzalim dan pemungutnya juga berlaku dzalim dan seterusnya.
10. Tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada beliau ustadz Erwandi Turmudzi hafidzahullah, sebagai bentuk amanah ilmiah maka saya katakan: Apa yang beliau nyatakan di video adalah baru berdasarkan satu perspektif, yakni pendapat yang mengharamkan dan itu pun pendapat minoritas ulama hari ini.
Sedangkan mayoritas ulama tidak berpendapat demikian, yakni mengharamkan secara mutlak.
11. Kembali ke point utama, tulisan ini akan kami bagi menjadi beberapa sub bahasan yakni sebagai berikut :
- Mentakhrij hadits-hadits yang menyebutkan ancaman bagi pemungut pajak / bea cukai.
- Beberapa hal yang mirip pajak yang pernah diterapkan di masa kekhalifahan Islam.
- Beberapa pajak yang pernah ditetapkan di masa kekhalifahan dan daulah Islam.
- Pendapat ulama komtemporer tentang pajak dan bea cukai yang ditetapkan oleh negara hari ini.
Semoga Allah mudahkan.
Tags:
Fikih