Oleh: Ahmad Syahrin Thoriq
Fikroh.com - Ketika disebut kata Khilafah mungkin yang langsung tergambarkan dipikiran banyak orang adalah ide atau gagasan ala organisasi HTI atau jangan-jangan malah IS*S? Atau mungkin juga hal-hal “menyeramkan” lainnya yang itu dikait-kaitkan dengan sistem pemerintahan Khilafah yang wujudnya dinasti di masa lalu?
Atau yang lebih sederhana dan umum, mengangkat konsep Khilafah berarti hendak mengganti sistem bernegara yang telah kita sepakati saat ini dengan ideologi kelompok tertentu dengan mengatasnamakan Islam?
Kali ini, bukan waktunya kita masuk keperdebatan yang sifatnya parsial tersebut. Kita bahas itu di lain waktu. Mari kita mencoba untuk fokus menelaah bagaimana dan seperti apa sebenarnya wujud khilafah yang “asli” tanpa menyertakan tambahan atau sisipan dari pihak manapun. Baik itu yang dilakukan oleh tangan-tangan yang pro ataupun sebaliknya yang kontra dari muslimin sendiri, atau dari kaum kuffar dan munafiqin.
Secara umum tentang khilafah itu paling tidak ada dua point yang disepakati, yang pertama adalah menjadikan hukum Allah atau syariat sebagai sumber hukum tertinggi yang mengatur setiap lini kehidupan bermasyarakat. Dan yang kedua, diterapkannya sistem pemerintahan global. Yakni umat Islam disatukan oleh satu model kepemimpinan, tanpa adanya skat teritorial dan pembatasan negara-bangsa yang memisahkan mereka.
Dalam khilafah, umat Islam dipandang sebagai satu entitas global yang memiliki kesatuan politik di bawah satu kepemimpinan. Hal ini didasarkan pada prinsip persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyyah) yang mengedepankan kesatuan dan solidaritas di antara umat, tanpa terpengaruh oleh perbedaan ras, suku, atau wilayah geografis.
Dan dibahasan ini, saya hendak membahas satu hal saja sesuai dengan pertanyaan, yakni tentang anggapan bahwa sistem kekhalifahan itu tidaklah realistis di era modern ini. Yang mana katanya, jangan kan untuk menggabungkan negara satu dengan negara lainnya, lha wong menyatukan organisasi Islam saja susahnya bukan main. Lagi pula, hari ini umat Islam sudah cukup nyaman dengan tatanan dunia baru, hidup dengan sistem demokrasi dan punya negara sendiri-sendiri.
Dan mohon agar antum menyimak tulisan ini dengan seksama, jika ada yang layak untuk dikritisi, silahkan langsung dibantah tanpa perlu ragu sedikitpun. Karena jawaban saya ini mungkin akan sarat dengan opini pribadi meski saya mengklaimnya itu adalah ilmu dari guru-guru saya atau pemikiran yang saya yakini sebagai yang paling logis dan ilmiah.
Pendapat saya tentu saya yakini sebagai yang paling tepat dan benar, tapi tak menutup peluang bisa saja sebenarnya salah. Dan pendapat orang lain menurut saya salah atau minimal kurang tepat, tapi bisa saja itu justru yang lebih tepat bahkan yang benar dan saya keliru, itu prinsipnya...
Dan jangan terburu-buru menyimpulkan saya bicara tentang khilafah berarti saya mendukung kelompok tertentu dan berideologi tertentu. Karena bicara khilafah itu bukan berarti harus menjadi HTI, sebagaimana bicara pembaharuan Islam tidak harus orang Muhammadiyah, untuk menegakkan tauhid tidak meski orang Salafi dan yang bicara tentang toleransi dan kebangsaan tak melulu itu pasti orang NU. Bukan begitu?
Dan kalau ada yang alergi dengan istilah khilafah di tulisan ini, langsung saja terjemahkan dibenak antum dengan translit : Khilafah = sistem pemerintahan global, atau mungkin Uni Islam, atau bahasa semisal seperti kita mengenal adanya istilah Uni Eropa, PAN Arabisme, atau PBB.
Baiklah, langsung saja kita bahas soalan “benarkah pemerintahan global hari ini tidak realistis ?” Berikut ini 8 (delapan) penjelasannya :
𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮, 𝗷𝘂𝘀𝘁𝗿𝘂 𝗮𝗱𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗽𝗲𝗺𝗲𝗿𝗶𝗻𝘁𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗴𝗹𝗼𝗯𝗮𝗹 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗸𝗲𝗯𝘂𝘁𝘂𝗵𝗮𝗻 𝗺𝗮𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝗸𝗮𝘁 𝗺𝗼𝗱𝗲𝗿𝗻
Ada sebagian orang yang melontarkan pernyataan bahwa gagasan khilafah atau pemerintahan global tidak lagi realistis di zaman modern ini. Padahal jika kita mau mengkaji dan merenungi lebih mendalam, justru pandangan seperti ini lah yang mengabaikan sudut pandang yang lebih realistis dan telah terpengaruh oleh pola pikir yang sempit dan skeptis.
Mari kita coba bandingkan secara objektif: mana yang lebih sulit, mendirikan pemerintahan global di era 'merpati pos' ketika komunikasi begitu lambat dan terbatas, atau di era 'email elektronik' sosmed dan wujud teknologi canggih di bidang informasi seperti saat ini, di mana satu berita dapat disebarkan dalam hitungan detik ke seluruh penjuru dunia?
Mana yang lebih masuk akal, mewujudkan kesatuan umat tanpa batas wilayah di masa 'busur panah' dan kuda sebagai alat transportasi, atau di era 'rudal balistik' dan pesawat jet yang bisa menghubungkan benua dalam hitungan jam?
Mana yang lebih dibutuhkan, membangun sebuah pemerintahan yang mampu mengelola jutaan manusia di zaman 'kertas dan tinta' yang membutuhkan waktu berhari-hari untuk menyusun dokumen dan kebijakan, atau di zaman 'komputasi awan' dan teknologi digital, di mana data dan informasi bisa dikelola dan diakses secara real-time oleh jutaan orang di seluruh penjuru dunia?
Mana yang lebih realistis masyarakat dunia bisa disatukan pada zaman koin emas dan perak harus diangkut untuk perdagangan antarnegara, dengan zaman sekarang transfer dana internasional bisa terjadi dalam hitungan menit dengan sistem keuangan elektronik?
Jika di masa-masa yang jauh lebih sulit dan sering dikatakan primitif, umat Islam berhasil mempertahankan pemerintahan global selama berabad-abad, lalu bagaimana bisa di zaman serba cepat dan mudah ini, dengan dukungan teknologi yang jauh lebih maju, gagasan tentang kesatuan umat di bawah pemerintahan global dikatakan tidak masuk akal?
Jika di masa lalu, dengan segala keterbatasan teknologi, umat Islam mampu membangun dan mempertahankan khilafah selama hampir 1000 tahun, menghadapi berbagai tantangan dan serangan dari luar, lalu mengapa di zaman modern yang serba mudah dan serba cepat ini, khilafah dianggap tidak mungkin?
Dan faktanya pula, masyarakat dunia saat ini sudah saling terhubung. Interaksi antarnegara sudah melampaui batas geografis dan politik. Dunia tak ubahnya sebuah kampung besar, di mana informasi dan ide-ide mengalir bebas melintasi perbatasan tanpa hambatan yang berarti.
Dalam konteks ini, kebutuhan akan seorang pemimpin global menjadi semakin mendesak. Tidak mungkin kita bisa mencapai stabilitas global tanpa adanya satu kepemimpinan yang bisa menyatukan peradaban, menuntun umat menuju arah yang lebih baik.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah: Pihak mana yang akan menjadi pemimpin tersebut? Apakah kita ingin dipimpin oleh sistem barat yang didasarkan kepada nilai-nilai kapitalis, liberal dan sekuler, atau mungkin kekuatan baru neokomunisme yang juga berusaha bangkit dari kematiannya, ataukah kita lebih memilih sistem yang berlandaskan kepada syariat Islam dan prinsip syura (musyawarah)?
Jika sebagian orang—baik itu kaum munafik, zindik, kuffar atau bahkan yang mengaku muslim—lebih memilih untuk dipimpin oleh pilihan mereka, itu adalah hak yang kita hargai. Mereka bebas memilih pemimpin dan sistem yang mereka anggap cocok bagi mereka. Tapi jangan katakan bahwa pilihan kita tidak realistis….
𝗞𝗲𝗱𝘂𝗮, 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗗𝗶𝗻𝗼 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗽𝗲𝗿𝗺𝗶𝘀𝗮𝗹𝗮𝗻, 𝗶𝘁𝘂 𝗮𝗻𝗮𝗹𝗼𝗴𝗶 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗿𝘂𝘀𝗮𝗸
Pembuatan analogi atau permisalan untuk membantu memudahkan pemahaman pada suatu objek bahasan adalah hal yang baik dan sering lazim dilakukan untuk mendekatkan pemahaman. Namun, jika analogi tersebut tidak tepat, alih-alih membantu, justru dapat menyesatkan dan membuat pemahaman menjadi jauh dari tujuan yang diinginkan.
Contohnya, membandingkan khilafah dengan Dinosaurus mungkin terkesan sebagai upaya untuk menyamakan keduanya sebagai 'produk' masa lalu. Namun, dalam konteks ini, sangat tidak tepat jika khilafah dianalogikan dengan Dinosaurus.
Ini adalah bentuk dari jenis qiyas yang dalam ilmu usul fiqih disebut dengan ma'al fariq, yaitu analogi yang rusak, karena memperbandingkan dua hal yang memiliki perbedaan mendasar. Tidak apple to apple, tapi mungkin apple to Vivo atau Oppo.
Bukankah dinosaurus sudah punah dan hanya tersisa fosil, yang tidak mungkin dihidupkan Kembali ? Sementara khilafah, meskipun berasal dari masa lalu, tetap memiliki potensi untuk ditegakkan kembali karena manusia beriman, muslim yang teguh, dan mujahid dakwah yang menjadi pondasi kebangkitan Islam masih ada dan terus berjuang hingga saat ini?
Bukankah calon-calon pionir dan pemimpin umat yang akan menegakkan kembali panji Islam, setiap saat bisa lahir dari rahim para muslimah ? Ini membuktikan bahwa ide pemerintahan global ala Islam bukanlah sesuatu yang mati atau hilang, melainkan sesuatu yang selalu hidup dan siap diwujudkan kapan saja. Berbeda dengan si dino yang memang tak mungkin untuk hidup kembali…
𝗞𝗲𝘁𝗶𝗴𝗮: 𝗔𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝗰𝗶𝘁𝗮-𝗰𝗶𝘁𝗮, 𝗲𝘁𝘂𝗽𝗶𝗮 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗶𝗺𝗽𝗼𝘀𝘀𝗶𝗯𝗹𝗲
Banyak yang menganggap bahwa tegaknya kembali satu sistem pemerintahan global umat Islam seperti di masa lalu itu seperti hal yang sangat tidak realistis bahkan dianggap mustahil dengan menimbang fakta yang ada sekarang ini. Padahal harapan atau keinginan pada dasarnya terbagi menjadi tiga: ada yaitu keinginan yang berupa cita-cita, ada yang utopia (khayalan), dan memang ada yang mustahil untuk diwujudkan (impossible). Dan kita harus bisa membedakan dengan jelas antara ketiganya tersebut.
Pengertian cita-cita adalah sesuatu yang secara realitas bisa untuk diraih atau diwujudkan, meski mungkin berat dan butuh perjuangan yang tidak ringan untuk mewujudkannya. Contohnya; bila ada seorang anak yang berkeinginan menjadi pilot, maka itulah cita-cita.
Sedangkan utopia (khayalan) adalah sesuatu yang sangat kecil kemungkinannya untuk diwujudkan. Contohnya; bila ada anak lumpuh lagi buta berkeinginan ingin jadi presiden atau pemimpin besar, tidak salah apabila kita katakan, “dia sedang berkhayal.”
Karena ini hampir tidak mungkin, tapi bukan berarti mustahil, karena fakta telah terjadi bahwa Ahmad Yasin, seorang yang lumpuh, pernah memimpin satu organisasi yang sangat berpengaruh dalam dunia perjuangan, dan juga sosok Gus Dur, seorang yang buta lagi lumpuh pernah jadi presiden RI.
Contoh selanjutnya misalnya, kalau ada seorang anak, yang dia berkeinginan di usia yang belum genap 40 tahun bisa menjadi wapres, maka tak keliru juga kalau kita katakan dia sedang berkhayal, kecuali…eh, skip.
Lalu yang terakhir pengertian keinginan yang bersifat impossible adalah sesuatu yang mustahil untuk terjadi. Misalnya saja, jika ada seorang nenek usia 81 tahun yang ingin kembali muda belia seperti saat masih usia 18 tahun, atau ada manusia biasa ingin menjadi malaikat yang sempurna tanpa cacat oleh dosa dan kesalahan, maka contoh-contoh ini tidak pernah terjadi dan tidak akan mungkin terjadi.
Dan karena tipisnya perbedaan antara utopia dan sesuatu yang sifatnya impossible, sering orang menyamakan antara keduanya.
Maka di sini kemudian, kita tinggal menempatkan, apakah khilafah itu sebuah cita-cita, utopia (khayalan), atau keinginan yang mustahil? Jelas bahwa ia bukan sesuatu yang mustahil (impossible), karena ia pernah terjadi dan perangkat penunjang terwujudnya kembalinya juga masih ada. Persoalannya tinggal; apakah ia cita-cita ataukah utopia.
Bila dikatakan cita-cita mungkin bukan karena – sebagaimana gambaran dari penanya – untuk menyatukan gerakan dakwah saja sangat sulit. Apalagi menyatukan masyarakat antar pulau, negara dan dunia. Mungkin dapat dikatakan terwujudnya persatuan politik umat Islam dalam satu wadah pemerintahan global belum dalam taraf cita-cita dengan melihat realitas saat ini.
Sehingga mungkin tidak sepenuhnya salah jika ada yang menuduh ia hanya semacam utopia, barulah nanti akan beralih secara drastis ataupun gradual menjadi sebuah cita-cita yang akan terwujud, bila perangkat umat berupa kualitas dan kuantitas sudah memungkinkan.
𝗞𝗲𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁: 𝗮𝗱𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗯𝗲𝗯𝗲𝗿𝗮𝗽𝗮 𝗵𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗲𝗯𝘂𝘁𝗸𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮
Ada beberapa hadits yang dipahami oleh sebagian ulama telah menyebutkan akan munculnya kekhalifahan Islam di akhir zaman. Di bahasan kali ini kita fokuskan dulu mencantumkan bunyi haditsnya dan kedudukannya, tanpa membahas perbedaan ulama tentang maksud dari hadits ini.
Hadits pertama: Khilafah di akhir zaman
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلافَةٌ عَلَى مَنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا، فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، ثُمَّ سَكَتَ
Takhrij Hadits: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad dengan nomor hadits 17680. Sanad hadits: Imam Ahmad dari Syaiban, dari Awf, dari Abu Dhamrah, dari Huzaifah bin Al-Yaman.
Diriwayatkan oleh Imam al Hakim dalam Al Mustadrak dengan nomor hadits 8468. Sanad Hadits: Imam Hakim dari Abdillah Muhammad bin Ya'qub, dari Al-Hasan bin Ali bin Affan, dari Zaid bin Hubab, dari Husain bin Waqid, dari Abdullah bin Buraidah, dari Buraidah bin al Hushaib al Aslami radhiyallahu 'anhu.
Kualitas Hadits: Al Hafidz al Iraqi mengatakan hadits ini shahih.[1] Dan al Haitsami juga menshahihkannya.[2]
Hadits kedua: Kemunculan Imam Mahdi setelah perang saudara anak khalifah
يَقْتَتِلُ عِنْدَ كَنْزِكُمْ ثَلاَثَةٌ، كُلُّهُمُ ابْنُ خَلِيفَةٍ، ثُمَّ لاَ يَصِيرُ إِلَى وَاحِدٍ مِنْهُمْ، ثُمَّ تَطْلُعُ الرَّايَاتُ السُّودُ مِنْ قِبَلِ المَشْرِقِ، فَيَقْتُلُونَكُمْ قَتْلاً لَمْ يُقْتَلْهُ قَوْمٌ
Takhrij Hadits: Diriwayatkan oleh al-Imam Ibnu Majah dalam Sunannya, dengan nomor hadits 4084. Sanad Hadits: Ibnu Majah dari Muhammad bin Yahya, dari Ahmad bin Yusuf, dari Abdur Razaq, dari Sufyan ats Tsauri, dari Khalid bin Khida’, dari Abu Qilabah, dari Abu Asma’ ar Raji, dari Tsauban radhiyallahu’anhu.
Kualitas Hadits: Menurut sebagian ulama, hadits ini shahih atau hasan. Al-Imam Ibnu Majah dan Al-Bushiri menyatakan periwayat hadits ini semuanya tsiqah. Demikian juga Imam Hakim telah menshahihkan dengan syarat Bukhari Muslim. Sedangkan Imam Adz Dzahabi dalam kitabnya Al-Mizan berpendapat salah satu rawi hadits ini yang bernama Abu Qilabah adalah seorang mudalis.[3]
𝗞𝗲𝗹𝗶𝗺𝗮: 𝗧𝗲𝗹𝗮𝗵 𝗮𝗱𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝘂𝗷𝗶 𝘀𝗲𝗸𝗶𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗺𝗮
Sistem kekhalifahan Islam pernah ada dan berfungsi selama lebih dari 1000 tahun lamanya. Dari zaman Khulafaur Rasyidin (632–661 M), berlanjut masa Kekhalifahan Umayyah (661–750 M), lalu Abbasiyah (750–1258 M), hingga yang terakhir Kekhalifahan Utsmaniyah (1299–1924 M).
Sistem kekhalifahan menjadi model pemerintahan yang tidak hanya diterima, tetapi juga berkembang dan memimpin wilayah yang sangat luas dari Timur Tengah, Afrika Utara, hingga sebagian Eropa dan Asia.
Kekhalifahan juga mengalami pasang surut peradaban, berganti-ganti dinasti dan bangsa yang menjadi penopangnya, namun terbukti bisa dilaksanakan secara umum dengan baik, meski tentu dengan segala kekurangannya, karena memang ini hanyalah peradaban manusia, bukan para malaikat.
Kekhalifahan barulah lenyap belakangan ini, belum genap 100 tahun. Hari ini memang kita hidup dengan tatanan yang baru. Banyak negara termasuk Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi. Di sini biasanya kita akan berdebat sangat panas tentang hukum menerapkannya. Ada yang tegas bersuara haram, ada yang memilah termasuk ada yang membela dengan alasan ia serupa dengan sistem syura dalam Islam.
Padahal, kita jangan lari dulu dari subtansi. Tentang apa itu Khilafah apa demokrasi. Okelah, menyamakan demokrasi dengan syura mungkin ada benarnya karena memang ada beberapa kesamaannya, tapi satu hal yang jelas kelirunya bila ada yang menyamakan khilafah dengan sistem pemerintahan tertentu seperti monarki absolut atau model pemerintahan seperti kerajaan dari masa lalu.
Karena inti dari kekhalifahan Islam yang disepakai itu bukan tentang monarki atau bukan monarki. Tapi tentang persatuan umat dan tegaknya syariat.
Lagian logikanya kalau kita baru memakai barang “baru” yang belum teruji kualitasnya, koq agak janggal rasanya kemudian sok tahu dan mengomentari sesuatu yang telah teruji sekian lama dan juga telah terbukti kehandalannya.
Tulisan ini masih melanjutkan bahasan – bahasan sebelumnya untuk menjelaskan tuduhan bahwa sistem pemerintahan global dengan berlandaskan syariat Islam itu sudah tidak cocok di zaman modern ini seperti yang banyak dituduhkan. Maka pastikan dulu anda telah membaca bahasan point pertama hingga kelima sebelum membaca tulisan ini agar tidak salah paham atau gagal paham atau bahkan sengaja tak mau paham karena sudah bersikap skeptis duluan.
Keenam 𝗧𝗮𝗻𝗱𝗮 𝗶𝘁𝘂 𝘁𝗲𝗹𝗮𝗵 𝗻𝗮𝗺𝗽𝗮𝗸
Suka ataupun tidak suka, mau diakui atau diingkari sebuah fakta yang nyata terpampang di hadapan kita hari ini adalah, adanya semangat dan kesadaran kaum muslimin untuk kembali kepada tuntunan agamanya. Baik kesadaran itu berupa individu, jama’ah atau kelompok masyarakat, itu sangat nyata terlihat. Munculnya fenomena hijrah, semangat untuk menutup aurat para muslimah, hadirnya ragam model pengajian dan lain sebagainya.
Begitu juga kesadaran banyak orang untuk menjauhi makanan dan pekerjaan yang haram, terutama dalam hal menjauhi sistem ribawi. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya umat Islam yang beralih ke lembaga keuangan syariah dan meninggalkan transaksi berbasis bunga yang dilarang dalam Islam. Kesadaran ini tidak hanya terbatas pada urusan finansial, tetapi juga meluas ke dalam kehidupan sehari-hari, di mana umat Islam semakin selektif dalam memastikan bahwa makanan yang mereka konsumsi halal dan sumber pendapatan yang mereka peroleh bebas dari unsur-unsur yang diharamkan.
Selain itu, semakin banyak umat Islam yang menyadari bahaya sekularisme dalam beragama, di mana agama dipisahkan dari kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Kesadaran tentang bahaya sekularisme telah memicu munculnya banyak diskusi dan kajian di berbagai komunitas, lembaga pendidikan, dan organisasi Islam tentang pentingnya menjaga keselarasan antara iman dan kehidupan sehari-hari. Umat Islam kini semakin paham bahwa agama bukan hanya urusan ibadah ritual semata, tetapi juga pedoman dalam menjalani seluruh aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, dan sosial.
Gerakan-gerakan kebangkitan Islam di berbagai negara Muslim telah menunjukkan bahwa banyak umat Islam yang ingin kembali kepada syariat sebagai sistem hidup yang menyeluruh. Semakin banyak negara Muslim yang menuntut penerapan syariat dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari hukum keluarga hingga ekonomi dan politik.
Semangat kebangkitan ini bukan hanya ada pada tingkat individu, tetapi juga pada tingkat negara. Banyak negara Muslim mulai melihat pentingnya menegakkan syariat Islam dalam konstitusi dan kebijakan nasional mereka. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam sedang bergerak ke arah penyatuan, baik secara ideologis maupun politik, menuju pemerintahan global yang berlandaskan pada syariat Islam.
Ini semua adalah tanda-tanda nyata dari kebangkitan kesadaran umat Islam yang ingin hidup sepenuhnya sesuai dengan ajaran agama, menolak pemisahan agama dari kehidupan, dan berupaya membangun kehidupan yang lebih Islami. Umat semakin sadar bahwa Islam adalah solusi yang menyeluruh, tidak hanya dalam urusan pribadi, tetapi juga dalam tata kelola masyarakat, pemerintahan, dan sistem ekonomi yang lebih adil dan sejahtera.
Ketujuh 𝗞𝗲𝗴𝗮𝗴𝗮𝗹𝗮𝗻 𝘀𝗶𝘀𝘁𝗲𝗺 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗮𝗱𝗮 𝘀𝗮𝗮𝘁 𝗶𝗻𝗶
Selanjutnya, di antara alasan utama mengapa sistem pemerintahan Islam yang global dianggap penting dan realistis untuk diwujudkan adalah karena semua bisa menyaksikan kegagalan sistem yang ada saat ini dalam menciptakan keadilan, stabilitas, dan kesejahteraan yang merata di seluruh dunia . Sistem kapitalisme dan liberalisme yang mendominasi dunia saat ini banyak menghasilkan ketimpangan sosial, korupsi, penindasan, serta konflik antara negara-negara besar yang justru sering kali mengorbankan rakyat kecil.
Krisis ekonomi global yang terjadi secara berkala, konflik antarnegara, kemiskinan yang meluas, serta ketidakadilan dalam pembagian kekayaan global menjadi tanda bahwa apa yang digunakan oleh banyak negara dunia hari ini begitu rapuh dan lemah. Belum lagi jika dihadapkan kepada urusan keumatan, berbagai kerusakan dan kedzaliman yang dirasakan oleh umat Islam di banyak negara hari ini adalah karena absennya syariah dan persatuan umat dalam tatanan politik.
Islam sebagai agama yang lengkap dan menyeluruh menawarkan solusi bagi berbagai permasalahan yang dihadapi dunia saat ini. Di bidang ekonomi, Islam menawarkan sistem zakat, larangan riba, dan pembagian kekayaan yang adil. Di bidang politik, Islam menawarkan konsep syura (musyawarah) dan keadilan, di mana pemimpin diangkat berdasarkan kemampuan dan keamanahan, bukan kekuatan uang atau kekuasaan politik yang korup.
Di bidang sosial, Islam mengajarkan persatuan umat, persaudaraan yang melampaui batas-batas etnis dan nasional, serta keadilan bagi semua golongan. Dalam sistem Khilafah, umat Islam dipandang sebagai satu entitas yang bersatu di bawah syariat Islam. Dengan dasar-dasar ini, Khilafah bisa menjadi alternatif yang realistis dan lebih baik daripada sistem-sistem global yang ada saat ini.
Meskipun kekhilafahan mengalami berbagai tantangan dan akhirnya runtuh pada abad ke-20, pengalaman selama lebih dari seribu tahun itu memberikan banyak pelajaran berharga. Sejarah kekhilafahan Islam menunjukkan bahwa meskipun ada kekurangan dan kelemahan dalam penerapannya, sistem ini mampu bertahan dan membawa kejayaan bagi umat Islam selama berabad-abad lamanya.
Jika sistem pemerintahan global dengan syariahnya bisa diterapkan dengan baik pada masa lalu di mana saat itu sistem monarki masih mendominasi, tentu akan lebih mudah dan maksimal hasilnya bila diterapkan dalam sistem syura (musyawarah), konstitusional dan lainnya seperti yang mungkin dianggap mirip dengan yang ada hari ini.
Kedelapan 𝗚𝗮𝗺𝗯𝗮𝗿𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗯𝗲𝗻𝘁𝘂𝗸𝗻𝘆𝗮
Sejarah memang bisa berubah, baik perubahan itu terjadi secara gradual (bertahap) ataupun drastis (secara mendadak). Dalam konteks perpolitikan dan kekuasaan, sebuah pemerintahan bisa mengalami perubahan sistem secara evolusi, yang berjalan perlahan-lahan, atau secara revolusi, yang terjadi dengan cepat akibat perubahan besar. Fakta ini tidak bisa diingkari, kecuali oleh mereka yang benar-benar menutup mata terhadap realitas dan fakta sejarah yang sudah terbukti berulang kali.
Jika kita hendak membuat gambaran futuristik tentang bagaimana sistem pemerintahan global Islam nantinya terbentuk, prosesnya mungkin akan diawali dengan meningkatnya kesadaran individu muslim untuk kembali menerapkan ajaran agamanya secara komprehensif dalam setiap aspek kehidupannya, baik dalam hal pribadi, keluarga, maupun sosial. Kesadaran ini dimulai dari setiap individu yang merasa penting untuk menegakkan syariat Islam tidak hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam sistem hukum, ekonomi, dan kehidupan bermasyarakat.
Kesadaran ini kemudian berkembang dari tingkat individu ke tingkat kolektif. Masyarakat Muslim yang semakin menyadari pentingnya penerapan syariat Islam akan membentuk komunitas-komunitas yang bersatu dalam visi dan misi untuk menjalankan ajaran agama dalam skala yang lebih luas. Semangat untuk menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial dan politik terus menyebar, sehingga masyarakat mulai menuntut penerapan syariat secara formal di tingkat pemerintahan.
Pada akhirnya, dengan adanya kesadaran kolektif ini, negara-negara Islam yang sebelumnya terpecah oleh nasionalisme atau kepentingan politik mulai menyadari bahwa persatuan umat Islam adalah hal yang niscaya jika mereka ingin menjadi negara yang kuat, makmur, dan sejahtera. Para pemimpin negara-negara Muslim pun mulai memahami bahwa dengan bersatu di bawah satu sistem pemerintahan yang berlandaskan syariat Islam, mereka dapat mengatasi berbagai masalah yang selama ini menghambat kemajuan negara-negara Islam, seperti ketergantungan pada kekuatan asing, ketidakadilan ekonomi, serta konflik internal.
Persatuan ini tidak hanya akan memperkuat posisi negara-negara Muslim secara internal, tetapi juga akan melindungi mereka dari intervensi eksternal. Dengan sistem Khilafah yang mempersatukan umat Islam, pihak-pihak luar yang selama ini dengan leluasa mempengaruhi kebijakan dan kepentingan dalam negeri negara-negara Muslim akan kehilangan kendali. Negara-negara Islam akan menjadi lebih mandiri, kuat, dan mampu mengelola sumber daya mereka sendiri tanpa tergantung pada kekuatan asing.
Gambaran futuristik ini menunjukkan bahwa perubahan sistem pemerintahan global Islam dapat terjadi baik secara evolusi maupun revolusi, tergantung pada kesiapan umat Islam itu sendiri dan kondisi global yang ada. Dengan semangat untuk kembali kepada Islam dalam segala aspek kehidupan, serta dorongan untuk bersatu di bawah satu kepemimpinan yang adil dan berlandaskan syariat, Khilafah Islamiyah dapat terwujud sebagai sistem pemerintahan yang membawa keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Wallahu a'lam.
Footnote:
[1] Muhjah al Qarb (2/17)
[2] Majma’ az Zawaid (5/189)
[3] Jami’ al Masannid wa Sunan (1/648)
Tags:
Ulasan