Fikroh.com - Manusia melakukan banyak aktivitas dalam kehidupannya, adakalanya melakukan sebuah perjalanan dalam berbagai kepentingannya. Islam memahami akan kebutuhan dan tabiat manusia melakukan safar atau perjalanan jauh. Oleh karena itu Islam memberikan ketentuan yang diatur dalam syariat sebagai panduan bagi para musafir.
Berikut ini pembahasan masalah-masalah seputar safar yang perlu diketahui oleh setiap musafir agar perjalanan mereka diberkahi dan diridhoi Alloh, insya Allah.
Setiap perjalanan yang dianggap oleh orang-orang sebagai safar (bepergian jauh) secara uruf (adat kebiasaan), maka tidak syak lagi bahwa perjalanan tersebut adalah safar, baik jaraknya jauh atau tidak begitu jauh, lama atau hanya sebentar. Yang dijadikan patokan dalam hal ini adalah 'uruf (kebiasaan umum yang berlaku). Hal itu, karena dalil-dalil safar yang berlaku di sana rukhshah bersifat mutlak, tidak dibatasi oleh apa pun. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu)…dst" (QS. An Nisaa': 101)
Akan tetapi jumhur ulama melihat kepada jarak yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa melakukan qashar pada jarak tersebut, yaitu kurang lebih 4 barid (1 barid 12 mil, 1 mil = 1609 m, jadi 4 barid = 48 mil atau 70 km lebih atau 80 km), sehingga ketika seseorang berpegang dengan jarak ini untuk kehati-hatian, maka tidak mengapa.
Ibnu Abbas dan Ibnu Umar melakukan qashar dan berbuka puasa dalam perjalanan 4 barid, yaitu 16 farsakh.
Menurut mayoritas ulama, untuk safar yang haram (seperti safar untuk maksiat) tidak diperbolehkan mengqashar shalat.
Istiithaan terbagi menjadi dua:
a. Seseorang menempati tempat tinggal aslinya (kampung halamannya).
b. Seseorang menempati tempat lain sebagai tempat tinggalnya.
Untuk yang pertama, jika seseorang keluar dari tempat tinggalnya itu, dan dalam dirinya ada niat kembali lagi serta tidak menjadikan tempat lain sebagai tempat tinggalnya, maka keluarnya dianggap sebagai musafir.
Untuk yang kedua, jika seseorang keluar dari tempat tinggalnya itu meskipun perginya ke kampung halamannya untuk berkunjung, dan tidak bermaksud tinggal di sana, maka kepergiannya ke kampung halamannya dianggap sebagai safar, berlaku hukum-hukum safar baginya. Hal ini, sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika keluar dari Makkah dan tinggal di Madinah, maka ketika Beliau ke Makkah, Beliau sebagai musafir. Oleh karena itu, saat Beliau ke Makkah dan melakukan shalat di sana, Beliau mengqasharnya, dan menyuruh penduduk makkah sebagai makmum menyempurnakan shalatnya.
Apabila seseorang berpisah dari bangunan-bangunan kotanya, maka mulai berlaku hukum safar baginya, dan ia tidak menyempurnakan shalatnya (menjadi 4 rakaat) sampai ia memasuki awal rumah-rumah(yang ada di kota)nya. Hal ini berdasarkan hadits Anas radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Aku shalat Zhuhur bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah empat rak'at, dan di Dzulhulaifah dua rak'at." (Hr. Bukhari)
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat, bahwa orang yang hendak safar boleh mengqashar saat keluar dari (meninggalkan) semua rumah-rumah kampung yang daripadanya ia safar.”
Ibnu 'Utsaimin rahimahullah berkata, "Yang dijadikan patokan adalah berpisah badan dari bangunan yang ada, bukan berpisah pandangan, yakni tidak disyaratkan dalam berpisah itu harus tidak melihat rumah-rumah, bahkan cukup berpisah badan." (Asy Syarhul Mumti' 4/512)
Ada beberapa adab bagi musafir, di antaranya adalah:
a. Tidak boleh bertathayyur
Seorang musafir tidak boleh merasa sial dengan sesuatu sehingga dia tidak melanjutkan safarnya, bahkan yang demikian termasuk syirik. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، ثَلَاثًا، وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ»
“Thiyarah (merasa sial dengan sesuatu) itu syirik. Thiyarah (merasa sial dengan sesuatu) itu syirik. Tidak ada di antara kita kecuali terlintas hal itu, akan tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakkal.” (Hr. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
b. Dianjurkan memilih hari Kamis
Hal ini berdasarkan hadits Ka'ab bin Malik berikut, ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hampir tidak keluar dalam safar kecuali pada hari Kamis." (HR. Bukhari)
c. Berdoa ketika berangkat dan ketika pulang.
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila telah berada di atas untanya untuk keluar bersafar, Beliau bertakbir tiga kali dan mengucapkan,
« سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ » .
"Mahasuci Allah yang menundukkan binatang ini bagi kami, dan sebelumnya kami tidak mampu menundukkannya, dan sesungguhnya hanya kepada Tuhan kamilah kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu dalam safar kami ini kebaikan, ketakwaan dan amalan yang Engkau ridhai. Ya Allah, ringankanlah bagi kami safar ini dan dekatkanlah yang jauh. Ya Allah, Engkaulah teman di perjalanan dan pengganti kami bagi keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan safar, pandangan yang menyedihkan dan buruknya tempat kembali pada harta dan keluarga."
dan apabila Beliau pulang, maka Beliau mengucapkan kata-kata yang sama, namun menambah (dengan kata-kata):
آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ » .
"Dalam keadaan kembali, bertobat, beribadah dan memuji Tuhan Kami." (HR. Muslim)
d. Dianjurkan mengucapkan "A'uudzu bikalimaatillahittaammah min syarri maa khalaq" ketika singgah di suatu tempat.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ . لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ » .
"Barang siapa yang menempati suatu tempat, lalu mengucapkan, "A'uudzu…dst." (artinya: Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya), maka tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu." (HR. Muslim)
e. Dianjurkan bertakbir ketika menaiki tempat tinggi dan bertasbih ketika turun.
Jabir radhiyallahu 'anhu berkata, "Kami ketika menaiki tempat tinggi bertakbir dan ketika turun bertasbih." (HR. Bukhari)
f. Dianjurkan berdoa ketika masuk ke sebuah kampung.
Doanya adalah sebagai berikut:
اَللَّهُمَّ رَبَّ السَّموَاتِ السَّبْعِ وَمَا أَظْلَلْنَ ، وَرَبَّ الْأَرَضِيْنَ السَّبْعِ وَمَا أَقْلَلْنَ ،وَرَبَّ الشَّيَاطِيْنِ وَمَا أَضْلَلْنَ ، وَرَبَّ الرِّيَاحِ وَمَا ذَرَيْنَ. أَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذِهِ اْلقَرْيَةِ وَخَيْرَ أَهْلِهَا ، وَخَيْرَ مَا فِيْهَا، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا، وَشَرِّ أَهْلِهَا ، وَشَرِّ مَا فِيْهَا
“Ya Allah, Tuhan langit yang tujuh dan apa yang dinaunginya, Tuhan bumi yang tujuh dan apa yang berada di atasnya, Tuhan setan-setan dan makhluk yang disesatkannya, Tuhan angin dan apa yang dibawanya. Aku meminta kepada-Mu kebaikan kampung ini dan kebaikan penghuninya serta kebaikan yang ada di dalamnya. Aku pun berlindung kepada-Mu dari keburukannya, keburukan penghuninya dan keburukan yang ada di dalamnya.” (HR. Nasa'i dalam 'Amalul yaum, Ibnu Khuzaimah, Baihaqi, Hakim dan ia menshahihkannya serta disepakati oleh Adz Dzahabi)
g. Wanita yang bersafar harus disertai mahram.
Haram hukumnya bagi wanita bersafar sendiri. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut,
« لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ » .
"Janganlah sekali-kali seseorang berkhalwat (berduaan) dengan wanita kecuali ditemani mahram, dan janganlah seorang wanita bersafar kecuali bersama mahram." (HR. Muslim)
Dalam hadits Abu Sa'id Al Khudriy disebutkan contoh mahram:
...إِلاَّ وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوِ ابْنُهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا » .
"… Kecuali bersamanya ada bapaknya atau anaknya atau suaminya atau saudaranya atau mahram lainnya." (HR. Muslim)
Larangan di atas adalah umum bagi setiap wanita, baik masih kecil atau sudah dewasa.
Syarat mahram adalah muslim, laki-laki, baligh dan berakal.
h. Jika jumlah orang yang bepergian ada tiga orang atau lebih disunahkan mengangkat ketua rombongan.
اِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا اَحَدَهُمْ (ابو داود وصححه الالباني)
"Apabila keluar tiga orang untuk bepergian, maka hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai ketua." (Hr. Abu Dawud)
i. Dianjurkan bagi musafir ketika berpamitan dengan keluarga dan kawannya mendoakan mereka.
Doanya adalah:
أَسْتَوْدِعُكَ اللهَ الَّذِي لاَ تَضِيعُ وَدَائِعُهُ
“Aku menitipkan kamu kepada Allah, di mana tidak akan sia-sia titipan-Nya.” (Hr. Ibnu Majah)
Sedangkan keluarga atau kawannya dianjurkan menjawab dengan kata-kata,
أَسْتَوْدِعُ اللهُ دِيْنَكَ وَاَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ
“Aku titipkan kamu kepada Allah baik agama, amanat maupun akhir-akhir amalmu.” (Hr. Tirmidzi)
ü Boleh menyapu bagian atas khuff (sepatu yang menutupi kedua mata kaki) ketika berwudhu', tanpa perlu melepasnya. Hal ini apabila ia memasukkan kedua kakinya ke dalam sepatu dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun besar, selama tiga hari tiga malam. Namun jika ia mukim (dimana ia sudah menyempurnakan shalatnya), maka lamanya hanya sehari semalam (24 jam).
Dari Umar radhiyallahu 'anhu bahwa ia ketika datang ke Mekah, shalat mengimami mereka dua rakaat, maka ia berkata (setelah shalat), “Wahai penduduk Mekah! Sempurnakanlah shalatmu karena kami orang-orang yang sedang safar.” (Diriwayatkan oleh Malik, Imam Syaukani berkata, “Atsar Umar (ini) para perawi isnadnya adalah para imam yang tsiqah.”)
Abu Bakar Jabir Al Jazaa’iriy dalam Minhaajul Muslim berkata, “Tidak ada bedanya dalam hal disunnahkan qashar baik yang bersafar dengan berkendaraan maupun berjalan kaki, baik yang berkendaraan hewan maupun yang berkendaraan mobil atau pesawat. Hanyasaja, bagi pelaut jika jarang turun dari kapalnya sepanjang tahun, dan ia memiliki keluarga di kapalnya, maka tidak disunnahkan mengqashar shalat, bahkan hendaknya ia menyempurnakan, karena ia seperti orang yang menjadikan kapal sebagai tempat tinggalnya.”
Ibnul Qayyim pernah berkata, “Termasuk tuntunan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safarnya adalah hanya melakukan shalat fardhu saja, dan tidak ada riwayat bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunnah sebelum shalat fardhu maupun setelah shalat fardhu (shalat sunnah rawaatib), kecuali shalat sunnah witir dan shalat sunnah sebelum shalat fajar, kedua shalat itu tidak pernah ditinggalkan Beliau baik ketika tidak safar (hadhar) maupun ketika safar.”
Namun, tidak mengapa bagi musafir melakukan shalat sunnah mutlak dan melakukan shalat dzwaatul asbaab (shalat yang memiliki sebab) seperti shalat Dhuha, shalat sunnah setelah wudhu’, shalat kusuf, shalat tahiyyatul masjid ketika masuk masjid, demikian juga melakukan sujud tilawah (karena membaca ayat sajadah), (Lihat Fatwa Syaikh Ibnu Baz dalam fatawa Muhimmah Tata’allaq bish shalaah hal. 97-98)
Seorang musafir tetap mengqashar shalat selama sebagai musafir. Jika ia berdiam karena suatu keperluan yang ia tunggu selesainya, maka ia tetap mengqashar shalat karena ia dianggap musafir meskipun berdiam lama. Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu 'anhu ia berkata,
أَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَبُوكَ عِشْرِينَ يَوْمًا يَقْصُرُ الصَّلَاةَ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud 1094).
Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat, bahwa musafir mengqashar shalat selama tidak berniat mukim.”
Namun apabila ia berniat mukim, maka ia sempurnakan shalatnya setelah lewat 19 hari sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berikut,
أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila berdiam (dalam safar) selama sembilan belas hari, maka Beliau mengqashar shalat. Kami pun sama, apabila bersafar selama sembilan belas hari, kami mengqashar shalat. Tetapi, apabila kami lebih dari itu, maka kami sempurnakan.” (HR. Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Abu Dawud, namun dalam riwayat Abu Dawud disebutkan ‘tujuh belas hari’.)
Menurut Ash Shan’ani, tidak samar lagi bahwa tidak ada dalil waktu berlaku qashar dan peniadaan qashar setelah lewat dari waktu tersebut. Jika tidak ada dalil penentuan lama waktunya, maka pendapat yang lebih dekat adalah ia tetap mengqashar sebagaimana yang dilakukan para sahabat, karena tidaklah dinamakan ‘mukim’ jika seseorang ragu-ragu setiap hari antara mukim atau pergi meskipun lama waktunya (Subulus salam 1/390).
Namun yang lain berpendapat, bahwa jika musafir berniat mukim lebih dari empat hari di tempat yang disinggahi, maka ia sempurnakan shalatnya dan tidak mengqashar shalat, karena dengan niatnya untuk mukim membuat hatinya tenang, dan telah hilang sebab yang karenanya disyariatkan qashar, yaitu kecemasan dan kesibukan dalam safarnya. Memang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tinggal di Tabuk selama 20 hari dengan mengqashar shalat, namun menurut sebagian ulama, bahwa hal itu karena Beliau tidak berniat mukim.
Ada beberapa keadaan yang dikecualikan bagi musafir untuk mengqashar shalat ketika safar, yaitu:
1. Apabila musafir bermakmum kepada yang mukim. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِه
Artinya: Imam itu dijadikan untuk diikuti.
Demikian pula berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma ketika ia ditanya tentang menyempurnakan shalat di belakang orang yang mukim, “Itu adalah sunnah Abil Qaasim (Rasulullah) shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Hr. Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwaa’). Baik ia mendapatkan shalat dari awalnya, satu rakaat saja maupun ia hanya mendapatkan tasyahhud akhir bersama orang yang mukim.
2. Apabila musafir bermakmum kepada orang yang masih ia ragukan; apakah ia sebagai musafir atau mukim, maka ketika ia masuk ke dalam shalat dan ia tidak tahu; apakah ia musafir atau mukim seperti karena berada di bandara atau semisalnya, maka dia harus menyempurnakan, karena qashar itu harus didasari niat yang pasti, dan jika masih ragu-ragu, maka ia sempurnakan.
3. Apabila seseorang teringat shalat yang ditinggalkannya di saat mukim ketika safar, misalnya seorang musafir ketika safar dirinya ingat bahwa tadi ia shalat Zhuhur di negerinya dalam keadaan tidak berwudhu, atau ia teringat sebuah shalat yang terlewatkan ketika belum safar, maka dalam hal ini ia harus mengerjakan shalat secara sempurna. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barang siapa yang tertidur dari shalat atau lupa, maka hendaknya ia shalat ketika ingat.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Yakni ia harus melakukan secara sempurna, dan mengqadhanya pun harus secara sempurna.
4. Apabila musafir bertakbiratul ihram untuk suatu shalat yang seharusnya dikerjakan secara sempura, namun shalatnya batal dan dia mengulanginya lagi, misalnya seorang musafir shalat di belakang orang yang mukim, dimana dalam keadaan ini dia harus menyempurnakan, tetapi ternyata shalatnya batal, lalu dia mengulanginya lagi, maka ia harus mengulanginya dengan melakukan shalat secara sempurna, karena hal itu merupakan pengulangan terhadap shalat yang harusnya dikerjakan secara sempurna.
5. Jika musafir berniat mukim secara mutlak (tanpa dibatasi waktu atau pekerjaan tertentu) atau menjadikan tempat yang disinggahinya sebagai tempat tinggalnya, maka ia wajib menyempurnakan shalatnya, karena telah terputus hukum safar baginya. Tetapi apabila ia membatasi safarnya dengan waktu tertentu atau pekerjaan tertentu yang akan selesai, maka ia sebagai musafir yang bisa mengqashar shalat.
Diperbolehkan pada safar yang berlaku qashar untuk menjamak shalat antara Zhuhur dan Ashar, serta antara Maghrib dan Isya pada salah satu waktunya. Hal ini berdasarkan hadits Mu’adz, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada perang Tabuk apabila berangkat sebelum matahari tergelincir, maka Beliau menunda shalat Zhuhurnya hingga Beliau gabung dengan shalat Ashar dan melakukan kedua shalat itu dengan dijamak. Tetapi apabila Beliau berangkat setelah matahari tergelincir (tiba waktu Zhuhur), maka Beliau shalat Zhuhur dan Ashar dengan dijamak, kemudian Beliau berangkat. Beliau juga melakukan hal yang sama pada shalat Maghrib dan Isya (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Dalam menjamak shalat tidak disyaratkan harus berturut-turut (muwaalah) kalau pun diselangi sesuatu tidak mengapa, namun lebih utama melakukannya secara muwaalah (berturut-turut) sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menjamak ini berlaku baik seseorang masih di perjalanan atau sudah singgah, karena ia termasuk rukhshah (keringanan) dalam safar sehingga tidak disyaratkan adanya kondisi berjalan seperti keringanan-keringanan safar lainnya, hanyasaja yang paling utama adalah bagi orang yang sudah singgah tidak melakukan jamak, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menjamak ketika telah singgah di Mina.
Diperbolehkan juga menjamak shalat bagi seorang yang mukim jika dia mendapatkan kesulitan ketika tidak menjamak. Hal ini berdasarkan pernyataan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menjamak antara Zhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya ketika di Madinah bukan karena kondisi mengkhawatirkan dan bukan karena kondisi hujan.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Bukan karena kondisi mengkhawatirkan atau karena safar.” (Hr. Muslim)
Ibnu Abbas ditanya, “Karena apa Beliau melakukan hal itu (menjamak shalat)?” Ia menjawab, “Beliau tidak ingin menyusahkan umatnya.”
Oleh karena itu, jika seseorang mendapatkan kesulitan ketika tidak menjamak, maka boleh baginya menjamak shalat, baik karena sakit atau ada uzur yang bukan sakit baik ia mukim maupun musafir.
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (5/219) berkata, “Jamaah dari kalangan imam berpendapat bolehnya menjama’ shalat ketika tidak safar karena dibutuhkan, bagi orang yang tidak menjadikannya sebagai kebiasaan. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab dari kalangan kawan Imam Malik. Al Khaththabiy menceritakan semisalnya dari Al Qaffal, Asy Syaasyi Al Kabir dari kalangan kawan Imam Syafi’i dari Abu Ishaq Al Marwaziy dari jamaah Ahli Hadits, dan hal itu dipilih oleh Ibnul Mundzir. Hal ini juga diperkuat oleh perkataan Ibnu Abbas, “Beliau bermaksud untuk tidak menyulitkan umatnya.” Ia tidak menyebutkan alasannya karena sakit atau lainnya, wallahu a’lam.”
Yang selanjutnya adalah uzur yang berupa sakit. Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan wanita yang tertimpa darah istihadhah untuk menjamak antara dua shalat, sedangkan istihadhah salah satu di antara penyakit.
Termasuk dalam hal ini adalah orang yang beser, orang yang menyusui yang kerepotan, orang yang terluka dimana darahnya tidak berhenti-berhenti atau orang yang mimisan (selalu keluar darah dari hidung), juga sakit lainnya yang jika dikerjakan shalat tanpa dijama’ shuwriy (akan diterangkan setelah ini) akan mengakibatkan kepayahan yang sangat dan lemah.
Menjama’ ketika sakit bisa dengan jama' taqdim maupun ta'khir, namun sebaiknya ia melakukan jama' shuuriy yaitu dengan shalat Zhuhur di akhir waktu dan shalat ‘Ashar di awal waktu serta shalat maghrib di akhir waktu dan shalat ‘isya di awal waktu. (ini disebut jama’ shuuwriy) sehingga ia tetap shalat pada waktunya.
1. Hujan deras yang membuat baju menjadi basah dan membuat seseorang kesulitan karenanya.
Boleh menjama’ shalat Zhuhur dan ‘Ashar atau Maghrib dan ‘Isya ketika hujan (termasuk dingin yang sangat, angin kencang, jalan bersalju atau berlumpur), baik dengan Jam’ut taqdim maupun Jam’ut ta’khir. Dalilnya adalah hadits berikut:
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا جَمَعَ الأُمَرَاءُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِى الْمَطَرِ جَمَعَ مَعَهُمْ .
Dari Naafi’, bahwa Abdullah bin Umar apabila para imam melakukan jama’ antara Maghrib dengan Isya ketika hujan, maka ia ikut menjama’ bersama mereka. (Shahih, HR. Malik, Al Irwa’ 3/40)
Dari Musa bin ‘Uqbah, bahwa Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjama’ antara Maghrib dan Isya yang terakhir ketika hujan, dan sesungguhnya Sa’id bin Al Musayyib, Urwah bin Az Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman dan para syaikh zaman itu melakukan shalat bersama mereka dan tidak mengingkarinya.” (Shahih, HR. Baihaqi, Al Irwa’ 3/168,169).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Boleh menjama’ shalat karena (jalan) berlumpur banyak, angin kencang di malam yang gelap dsb. meskipun hujan tidak turun menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat ulama, dan hal itu lebih baik dilakukan daripada shalat di rumahnya, bahkan meninggalkan menjama’ shalat dengan mengerjakan shalat di rumah adalah bid’ah menyelisihi sunnah, karena sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengerjakan shalat lima waktu di masjid-masjid dengan berjamaah. Hal itu juga lebih baik daripada shalat di rumah dengan kesepakatan kaum muslimin. Shalat di masjid-masjid dengan menjama’ adalah lebih baik daripada shalat di rumah-rumah meskipun dipisah (tidak dijama’) menurut kesepakatan para imam yang membolehkan jama’ seperti Malik, Syafi’i dan Ahmad.”
Syaikh Abu Bakar Al Jazaa’iriy dalam Minhajul Muslim berkata, “Sebagaimana penduduk negeri juga boleh menjama’ Maghrib dan Isya di masjid pada malam yang hujan, dingin yang sangat atau angin (yang kencang) jika mereka kesulitan kembali untuk shalat Isya di masjid, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjama’ antara shalat Maghrib dan Isya di malam yang hujan.”
2. Ada lumpur dan tanah becek yang membuat kesulitan bagi pejalan kaki.
3. Ada angin kencang dan dingin di luar biasanya,
4. Menjama’ Ketika di ‘Arafah dan Muzdalifah.
Para ulama sepakat bahwa menjama’ shalat Zhuhur dan ‘Ashar ketika di ‘Arafah dengan jam’ut taqdim (di waktu Zhuhur) di mana setelahnya ia wuquf, dan menjama’ shalat Maghrib dan ‘Isya dengan jam’ut ta’khir (di waktu ‘Isya) di Muzdalifah adalah sunnah (yang tidak ada pilihan lain selainnya). Hal ini beradasarkan riwayat yang sahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau shalat Zhuhur dan ‘Ashar di Arafah dengan satu kali azan dan dua iqamat, dan ketika Beliau mendatangi Muzdalifah, maka Beliau shalat Maghrib dan Isya di sana dengan satu kali azan dan dua iqamat (HR. Abu Dawud (1906))
Pertanyaan: Seseorang yang biasa berwudhu untuk setiap kali shalat, lalu ia bertayammum di pesawat dan melakukan shalat karena khawatir habisnya waktu shalat Subuh padahal ada air di pesawat, akan tetapi kalian tahu bahwa pesawat tidak ada selang air untuk mencuci najis yang menimpa badan dan pakaian seseorang, lalu orang ini shalat dan menghadap dengan wajah dan daadanya ke arah kiblat semampunya, maka apakah shalatnya sah?
Jawab: Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlmpah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kepada keluarganya dan para sahabatnya, amma ba’du:
Pertanyaan yang diajukan ada yang tidak jelas, sehingga jawaban kami sesuai pemahaman kami dari pertanyaan tersebut. Jika maksud pernyataan Anda ‘seorang yang berwudhu untuk setiap kali shalat’ adalah seorang yang biasa berwudhu, akan tetapi ia bertayammum di pesawat padahal ada air, jika ia sanggup menggunakan air dalam keadaan bagaimana pun yang bisa dilakukan, maka shalatnya tidak sah, ia wajib mengqadhanya, karena wudhu merupakan syarat sahnya shalat. Tanpa berwudhu, maka shalatnya tidak sah kecuali jika tidak ada air atau tidak mampu menggunakan air, maka tayammum dapat menempati posisinya. Biasanya berwudhu di atas pesawat itu bisa dilakukan, sedangkan uzur yang disampaikan tentang tidak adanya seelang air untuk istinja dan semisalnya tidak tepat. Bahkan kalau kita menganggap bahwa ia terkena najis, maka yang demikian tidak merubah sedikit pun tentang wajibnya berwudhu dan tidak juga merubah keabsahannya.
Masalah berikutnya adalah tentang hukum shalat ketika ada najis, jika ia sanggup membersihkannya, maka tidak boleh shalat dalam keadaan terkena najis sedangkan ia tahu. Jika ia tetap melakukannya maka tidak sah shalatnya dan wajib mengqadhanya. Tetapi jika tidak tahu, maka shalatnya tetap sah menurut sebagian ahli ilmu, dan inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Untuk lebih rincinya, lihat fatwa no. 67038.
Jika tidak memungkinkan berwudhu dalam keadaan bagaimana pun, maka tayammum dan shalat yang dilakukan pada waktunya adalah benar. Demikian juga jika ia tidak sanggup membersihkan najis, maka ia shalat sesuai keadaannya, karena suci dari najis disyaratkan jika ingat dan mampu, dan menjadi gugur ketika seseorang tidak mampu dan lupa.
Dalam Majmu Fatawa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ada jawaban terhadap pertanyaan berikut:
Apabila tidak ada air atau air membeku, atau dihalangi dari menggunakannya karena khawatir kebocoran di pesawat atau tertimpa bahaya karenanya atau karena air tidak cukup, maka bagaimana berwudhu sedangkan debu pun tidak ada?
Ia menjawab, “Berwudhu sebagaimana yang engkau sebutkan memang sulit, sedangkan Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Allah tidak mengadakan dalam agama ini suatu kesulitan bagi kalian.” (Qs. Al Hajj: 78)
Oleh karena itu, jika seorang yang berkendaraan bertayammum di atas ranjang baik ada debu atau tidak, maka ia harus tetap shalat merkipun dirinya masih belum bersih karena kesulitan membersihkan diri, sedangkan Allah Ta’ala berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (Qs. At Taghabun: 16)
Akan tetapi jika memungkinkan baginya turun di bandara pada akhir waktu kedua, yang masih bisa shalat sebelumnya dijamak dengannya, maka hendaknya ia meniatkan untuk jamak takhir dan melakukan dua shalat itu di bandara ketika telah turun. Tetapi jika tidak memungkinkan, seperti jika waktu tersebut adalah waktu kedua, atau shalat itu tidak bisa dijamak dengan shalat setelahnya seperti shalat Ashar dengan shalat Maghrib, atau shalat Isya dengan shalat Subuh, atau shalat Subuh dengan shalat Zhuhur, maka orang ini shalat sesuai keadaannya.”
Selanjutnya terkait menghadap kiblat semampunya yang dilakukannya, maka inilah yang diinginkan dalam keadaan ini, karena menghadap kiblat adalah syarat sahnya shalat fardhu kecuali jika tidak mampu, sehingga ketika itu ia lakukan apa yang bisa dilakukan, lihat juga fatwa no. 178121. Wallahu a’lam.”
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa Aalihi wa shahbihi wa salllam.
Oleh: Marwan bin Musa
Berikut ini pembahasan masalah-masalah seputar safar yang perlu diketahui oleh setiap musafir agar perjalanan mereka diberkahi dan diridhoi Alloh, insya Allah.
1. Perjalanan yang disebut sebagai safar
Setiap perjalanan yang dianggap oleh orang-orang sebagai safar (bepergian jauh) secara uruf (adat kebiasaan), maka tidak syak lagi bahwa perjalanan tersebut adalah safar, baik jaraknya jauh atau tidak begitu jauh, lama atau hanya sebentar. Yang dijadikan patokan dalam hal ini adalah 'uruf (kebiasaan umum yang berlaku). Hal itu, karena dalil-dalil safar yang berlaku di sana rukhshah bersifat mutlak, tidak dibatasi oleh apa pun. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu)…dst" (QS. An Nisaa': 101)
Akan tetapi jumhur ulama melihat kepada jarak yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa melakukan qashar pada jarak tersebut, yaitu kurang lebih 4 barid (1 barid 12 mil, 1 mil = 1609 m, jadi 4 barid = 48 mil atau 70 km lebih atau 80 km), sehingga ketika seseorang berpegang dengan jarak ini untuk kehati-hatian, maka tidak mengapa.
Ibnu Abbas dan Ibnu Umar melakukan qashar dan berbuka puasa dalam perjalanan 4 barid, yaitu 16 farsakh.
Menurut mayoritas ulama, untuk safar yang haram (seperti safar untuk maksiat) tidak diperbolehkan mengqashar shalat.
2. Menjadikan suatu tempat sebagai tempat tinggal (baca: Istiithaan).
Istiithaan terbagi menjadi dua:
a. Seseorang menempati tempat tinggal aslinya (kampung halamannya).
b. Seseorang menempati tempat lain sebagai tempat tinggalnya.
Untuk yang pertama, jika seseorang keluar dari tempat tinggalnya itu, dan dalam dirinya ada niat kembali lagi serta tidak menjadikan tempat lain sebagai tempat tinggalnya, maka keluarnya dianggap sebagai musafir.
Untuk yang kedua, jika seseorang keluar dari tempat tinggalnya itu meskipun perginya ke kampung halamannya untuk berkunjung, dan tidak bermaksud tinggal di sana, maka kepergiannya ke kampung halamannya dianggap sebagai safar, berlaku hukum-hukum safar baginya. Hal ini, sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika keluar dari Makkah dan tinggal di Madinah, maka ketika Beliau ke Makkah, Beliau sebagai musafir. Oleh karena itu, saat Beliau ke Makkah dan melakukan shalat di sana, Beliau mengqasharnya, dan menyuruh penduduk makkah sebagai makmum menyempurnakan shalatnya.
3. Mulai berlaku hukum-hukum safar
Apabila seseorang berpisah dari bangunan-bangunan kotanya, maka mulai berlaku hukum safar baginya, dan ia tidak menyempurnakan shalatnya (menjadi 4 rakaat) sampai ia memasuki awal rumah-rumah(yang ada di kota)nya. Hal ini berdasarkan hadits Anas radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Aku shalat Zhuhur bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah empat rak'at, dan di Dzulhulaifah dua rak'at." (Hr. Bukhari)
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat, bahwa orang yang hendak safar boleh mengqashar saat keluar dari (meninggalkan) semua rumah-rumah kampung yang daripadanya ia safar.”
Ibnu 'Utsaimin rahimahullah berkata, "Yang dijadikan patokan adalah berpisah badan dari bangunan yang ada, bukan berpisah pandangan, yakni tidak disyaratkan dalam berpisah itu harus tidak melihat rumah-rumah, bahkan cukup berpisah badan." (Asy Syarhul Mumti' 4/512)
4. Adab safar
Ada beberapa adab bagi musafir, di antaranya adalah:
a. Tidak boleh bertathayyur
Seorang musafir tidak boleh merasa sial dengan sesuatu sehingga dia tidak melanjutkan safarnya, bahkan yang demikian termasuk syirik. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، ثَلَاثًا، وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ»
“Thiyarah (merasa sial dengan sesuatu) itu syirik. Thiyarah (merasa sial dengan sesuatu) itu syirik. Tidak ada di antara kita kecuali terlintas hal itu, akan tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakkal.” (Hr. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
b. Dianjurkan memilih hari Kamis
Hal ini berdasarkan hadits Ka'ab bin Malik berikut, ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hampir tidak keluar dalam safar kecuali pada hari Kamis." (HR. Bukhari)
c. Berdoa ketika berangkat dan ketika pulang.
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila telah berada di atas untanya untuk keluar bersafar, Beliau bertakbir tiga kali dan mengucapkan,
« سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ » .
"Mahasuci Allah yang menundukkan binatang ini bagi kami, dan sebelumnya kami tidak mampu menundukkannya, dan sesungguhnya hanya kepada Tuhan kamilah kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu dalam safar kami ini kebaikan, ketakwaan dan amalan yang Engkau ridhai. Ya Allah, ringankanlah bagi kami safar ini dan dekatkanlah yang jauh. Ya Allah, Engkaulah teman di perjalanan dan pengganti kami bagi keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan safar, pandangan yang menyedihkan dan buruknya tempat kembali pada harta dan keluarga."
dan apabila Beliau pulang, maka Beliau mengucapkan kata-kata yang sama, namun menambah (dengan kata-kata):
آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ » .
"Dalam keadaan kembali, bertobat, beribadah dan memuji Tuhan Kami." (HR. Muslim)
d. Dianjurkan mengucapkan "A'uudzu bikalimaatillahittaammah min syarri maa khalaq" ketika singgah di suatu tempat.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ . لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ » .
"Barang siapa yang menempati suatu tempat, lalu mengucapkan, "A'uudzu…dst." (artinya: Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya), maka tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu." (HR. Muslim)
e. Dianjurkan bertakbir ketika menaiki tempat tinggi dan bertasbih ketika turun.
Jabir radhiyallahu 'anhu berkata, "Kami ketika menaiki tempat tinggi bertakbir dan ketika turun bertasbih." (HR. Bukhari)
f. Dianjurkan berdoa ketika masuk ke sebuah kampung.
Doanya adalah sebagai berikut:
اَللَّهُمَّ رَبَّ السَّموَاتِ السَّبْعِ وَمَا أَظْلَلْنَ ، وَرَبَّ الْأَرَضِيْنَ السَّبْعِ وَمَا أَقْلَلْنَ ،وَرَبَّ الشَّيَاطِيْنِ وَمَا أَضْلَلْنَ ، وَرَبَّ الرِّيَاحِ وَمَا ذَرَيْنَ. أَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذِهِ اْلقَرْيَةِ وَخَيْرَ أَهْلِهَا ، وَخَيْرَ مَا فِيْهَا، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا، وَشَرِّ أَهْلِهَا ، وَشَرِّ مَا فِيْهَا
“Ya Allah, Tuhan langit yang tujuh dan apa yang dinaunginya, Tuhan bumi yang tujuh dan apa yang berada di atasnya, Tuhan setan-setan dan makhluk yang disesatkannya, Tuhan angin dan apa yang dibawanya. Aku meminta kepada-Mu kebaikan kampung ini dan kebaikan penghuninya serta kebaikan yang ada di dalamnya. Aku pun berlindung kepada-Mu dari keburukannya, keburukan penghuninya dan keburukan yang ada di dalamnya.” (HR. Nasa'i dalam 'Amalul yaum, Ibnu Khuzaimah, Baihaqi, Hakim dan ia menshahihkannya serta disepakati oleh Adz Dzahabi)
g. Wanita yang bersafar harus disertai mahram.
Haram hukumnya bagi wanita bersafar sendiri. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut,
« لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ » .
"Janganlah sekali-kali seseorang berkhalwat (berduaan) dengan wanita kecuali ditemani mahram, dan janganlah seorang wanita bersafar kecuali bersama mahram." (HR. Muslim)
Dalam hadits Abu Sa'id Al Khudriy disebutkan contoh mahram:
...إِلاَّ وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوِ ابْنُهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا » .
"… Kecuali bersamanya ada bapaknya atau anaknya atau suaminya atau saudaranya atau mahram lainnya." (HR. Muslim)
Larangan di atas adalah umum bagi setiap wanita, baik masih kecil atau sudah dewasa.
Syarat mahram adalah muslim, laki-laki, baligh dan berakal.
h. Jika jumlah orang yang bepergian ada tiga orang atau lebih disunahkan mengangkat ketua rombongan.
اِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا اَحَدَهُمْ (ابو داود وصححه الالباني)
"Apabila keluar tiga orang untuk bepergian, maka hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai ketua." (Hr. Abu Dawud)
i. Dianjurkan bagi musafir ketika berpamitan dengan keluarga dan kawannya mendoakan mereka.
Doanya adalah:
أَسْتَوْدِعُكَ اللهَ الَّذِي لاَ تَضِيعُ وَدَائِعُهُ
“Aku menitipkan kamu kepada Allah, di mana tidak akan sia-sia titipan-Nya.” (Hr. Ibnu Majah)
Sedangkan keluarga atau kawannya dianjurkan menjawab dengan kata-kata,
أَسْتَوْدِعُ اللهُ دِيْنَكَ وَاَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ
“Aku titipkan kamu kepada Allah baik agama, amanat maupun akhir-akhir amalmu.” (Hr. Tirmidzi)
5. Rukhshah (keringanan) bagi musafir
ü Boleh menyapu bagian atas khuff (sepatu yang menutupi kedua mata kaki) ketika berwudhu', tanpa perlu melepasnya. Hal ini apabila ia memasukkan kedua kakinya ke dalam sepatu dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun besar, selama tiga hari tiga malam. Namun jika ia mukim (dimana ia sudah menyempurnakan shalatnya), maka lamanya hanya sehari semalam (24 jam).
- Boleh bertayammum jika tidak mendapatkan air atau kesulitan mencarinya.
- Ketika seorang musafir bertayammum, lalu di tengah menjalankan shalat ditemukan air, maka ia jadikan shalatnya sebagai shalat sunah dan menyelesaikannya, lalu ia berwudhu dan mengulangi shalat fardhunya. Adapun jika ia mendapatkan air setelah selesai shalat, maka shalatnya sah dan tidak perlu diulangi.
- Seorang musafir yang tidak mengetahui arah kiblat wajib berusaha mencarinya baik dengan bertanya atau lainnya. Jika telah berusaha mencarinya, lalu ia shalat dan setelah shalat ternyata tidak menghadap kiblat, maka shalatnya sah; tidak perlu diulangi. Namun, jika ia tidak berusaha mencarinya, dan ternyata shalatnya tidak menghadap kiblat, maka ia wajib mengulangi (lihat Al Mumti' 2/281)
- Jika ketika shalat diberitahukan bahwa arah kiblatnya salah, maka ia harus beralih ke arah kiblat dalam shalatnya.
- Dianjurkan membaca surat-surat pendek setelah Al Fatihah dalam shalat ketika safar. Dalam Shahih Muslim disebutkan,
- Disyari'atkan mengqashar (mengurangi) jumlah shalat yang empat rakaat menjadi dua, seperti shalat Zhuhur, ‘Ashar dan ‘Isya. Kecuali jika dia bermakmum kepada imam yang bukan musafir (mukim), maka ia mengikuti imam (tidak mengqashar shalat) meskipun ia masbuq, yakni mendapatkan imam sudah rakaat kedua, sisanya dua rakaat lagi, maka selesai shalat ia harus sempurnakan menjadi empat rakaat.
- Bagi musafir yang telah singgah di tempat yang dituju harus tetap menjaga shalat berjamaah. Kecuali ketika ia masih dalam perjalanan, maka tidak mesti berhenti untuk shalat berjamaah saat mendengar azan.
- Boleh menjama' (menggabung) Zhuhur dan ‘Ashar atau Maghrib dan Isya, baik jama' taqdim (di awal waktu seperti melakukan shalat Zhuhur dan Ashar di waktu Zhuhuhr) maupun jama' ta’khir (di akhir waktu seperti melakukan shalat Zhuhur dan Asharnya di waktu Ashar), hal ini jika perjalanan berat atau ia butuh menjamak.
- Boleh melakukan shalat sunah di atas kendaraannya ke mana saja kendaraannya menghadap (lebih utama ketika takbiratul ihram menghadap kiblat), namun untuk shalat fardhu hendaklah dia turun dan menghadap ke kiblat, kecuali jika tidak memungkinkan untuk turun dan waktu shalat akan habis.
- Boleh berbuka puasa.
- Boleh meninggalkan shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat Zhuhur.
- Dzikir setelah shalat cukup sekali dari dua shalat yang dijamak.
- Barang siapa yang belum shalat Zhuhur, lalu ia mendapatkan imam dalam keadaan shalat Ashar, maka ia ikut masuk shalat bersama imam dengan niat shalat Zhuhur. Setelah selesai shalat bersama mereka, maka dia lakukan shalat Ashar.
- Jika seseorang mendapatkan imam shalat Isya, sedangkan dirinya belum shalat Maghrib, maka ia bisa bergabung bersama imam dengan niat shalat Maghrib. Pada rakaat ketiga ia duduk bertasyahhud dan menunggu imam menyempurnakan rakaatnya, lalu ia salam bersama imam. Setelah itu ia shalat Isya.
- Menurut pendapat sebagian ulama, tidak bisa dijamak antara shalat Jum’at dengan shalat ‘Ashar. namun kalau seorang musafir shalat Zhuhur (karena tidak wajib baginya shalat Jum’at) maka boleh menjamak dengan ‘Ashar.
- Jika seseorang mengadakan perjalanan jauh, misalnya naik kereta atau pesawat, dan waktu shalat fardhu belum habis di tempat tujuan, maka hendaknya ia shalat fardhu di tempat tujuan agar dapat melakukan shalat secara sempurna (bisa berdiri dan menghadap kiblat) meskipun dengan melakukan jamak. Contoh seseorang berangkat dari stasiun jam 11.00 dan kereta akan sampai ke tempat tujuan jam 16.30, maka ia bisa tunda pelaksanaan shalat Zhuhur dan Ashar setelah sampai ke tempat tujuan, lalu ia jamak shalat Zhuhur dan Ashar di tempat tujuan dengan jamak ta’khir (di akhir waktu) agar dapat melakukan shalat secara sempurna. Atau jika kereta berangkat jam 13.00 dan akan sampai ke tempat tujuan jam 19.00, maka ia lakukan shalat Zhuhur dan Ashar di waktu Zhuhur dengan dijamak takdim (di awal waktu). Tetapi jika sampai ke tempat tujuan waktu shalat habis, maka ia lakukan shalat di atas kendaraan. Misalnya kereta berangkat jam 11.00 dan sampai ke tempat tujuan jam 19.00, maka dalam hal ini ia shalat di kendaran dan tidak menunggu sampai ke tempat tujuan.
Jika musafir sebagai imam
Dari Umar radhiyallahu 'anhu bahwa ia ketika datang ke Mekah, shalat mengimami mereka dua rakaat, maka ia berkata (setelah shalat), “Wahai penduduk Mekah! Sempurnakanlah shalatmu karena kami orang-orang yang sedang safar.” (Diriwayatkan oleh Malik, Imam Syaukani berkata, “Atsar Umar (ini) para perawi isnadnya adalah para imam yang tsiqah.”)
Berlakunya qashar untuk semua musafir
Abu Bakar Jabir Al Jazaa’iriy dalam Minhaajul Muslim berkata, “Tidak ada bedanya dalam hal disunnahkan qashar baik yang bersafar dengan berkendaraan maupun berjalan kaki, baik yang berkendaraan hewan maupun yang berkendaraan mobil atau pesawat. Hanyasaja, bagi pelaut jika jarang turun dari kapalnya sepanjang tahun, dan ia memiliki keluarga di kapalnya, maka tidak disunnahkan mengqashar shalat, bahkan hendaknya ia menyempurnakan, karena ia seperti orang yang menjadikan kapal sebagai tempat tinggalnya.”
Shalat Sunah ketika safar
Ibnul Qayyim pernah berkata, “Termasuk tuntunan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safarnya adalah hanya melakukan shalat fardhu saja, dan tidak ada riwayat bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunnah sebelum shalat fardhu maupun setelah shalat fardhu (shalat sunnah rawaatib), kecuali shalat sunnah witir dan shalat sunnah sebelum shalat fajar, kedua shalat itu tidak pernah ditinggalkan Beliau baik ketika tidak safar (hadhar) maupun ketika safar.”
Namun, tidak mengapa bagi musafir melakukan shalat sunnah mutlak dan melakukan shalat dzwaatul asbaab (shalat yang memiliki sebab) seperti shalat Dhuha, shalat sunnah setelah wudhu’, shalat kusuf, shalat tahiyyatul masjid ketika masuk masjid, demikian juga melakukan sujud tilawah (karena membaca ayat sajadah), (Lihat Fatwa Syaikh Ibnu Baz dalam fatawa Muhimmah Tata’allaq bish shalaah hal. 97-98)
Kapankah seseorang menyempurnakan shalatnya?
Seorang musafir tetap mengqashar shalat selama sebagai musafir. Jika ia berdiam karena suatu keperluan yang ia tunggu selesainya, maka ia tetap mengqashar shalat karena ia dianggap musafir meskipun berdiam lama. Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu 'anhu ia berkata,
أَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَبُوكَ عِشْرِينَ يَوْمًا يَقْصُرُ الصَّلَاةَ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud 1094).
Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat, bahwa musafir mengqashar shalat selama tidak berniat mukim.”
Namun apabila ia berniat mukim, maka ia sempurnakan shalatnya setelah lewat 19 hari sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berikut,
أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila berdiam (dalam safar) selama sembilan belas hari, maka Beliau mengqashar shalat. Kami pun sama, apabila bersafar selama sembilan belas hari, kami mengqashar shalat. Tetapi, apabila kami lebih dari itu, maka kami sempurnakan.” (HR. Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Abu Dawud, namun dalam riwayat Abu Dawud disebutkan ‘tujuh belas hari’.)
Menurut Ash Shan’ani, tidak samar lagi bahwa tidak ada dalil waktu berlaku qashar dan peniadaan qashar setelah lewat dari waktu tersebut. Jika tidak ada dalil penentuan lama waktunya, maka pendapat yang lebih dekat adalah ia tetap mengqashar sebagaimana yang dilakukan para sahabat, karena tidaklah dinamakan ‘mukim’ jika seseorang ragu-ragu setiap hari antara mukim atau pergi meskipun lama waktunya (Subulus salam 1/390).
Namun yang lain berpendapat, bahwa jika musafir berniat mukim lebih dari empat hari di tempat yang disinggahi, maka ia sempurnakan shalatnya dan tidak mengqashar shalat, karena dengan niatnya untuk mukim membuat hatinya tenang, dan telah hilang sebab yang karenanya disyariatkan qashar, yaitu kecemasan dan kesibukan dalam safarnya. Memang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tinggal di Tabuk selama 20 hari dengan mengqashar shalat, namun menurut sebagian ulama, bahwa hal itu karena Beliau tidak berniat mukim.
Kapan musafir harus menyempurnakan shalat?
Ada beberapa keadaan yang dikecualikan bagi musafir untuk mengqashar shalat ketika safar, yaitu:
1. Apabila musafir bermakmum kepada yang mukim. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِه
Artinya: Imam itu dijadikan untuk diikuti.
Demikian pula berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma ketika ia ditanya tentang menyempurnakan shalat di belakang orang yang mukim, “Itu adalah sunnah Abil Qaasim (Rasulullah) shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Hr. Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwaa’). Baik ia mendapatkan shalat dari awalnya, satu rakaat saja maupun ia hanya mendapatkan tasyahhud akhir bersama orang yang mukim.
2. Apabila musafir bermakmum kepada orang yang masih ia ragukan; apakah ia sebagai musafir atau mukim, maka ketika ia masuk ke dalam shalat dan ia tidak tahu; apakah ia musafir atau mukim seperti karena berada di bandara atau semisalnya, maka dia harus menyempurnakan, karena qashar itu harus didasari niat yang pasti, dan jika masih ragu-ragu, maka ia sempurnakan.
3. Apabila seseorang teringat shalat yang ditinggalkannya di saat mukim ketika safar, misalnya seorang musafir ketika safar dirinya ingat bahwa tadi ia shalat Zhuhur di negerinya dalam keadaan tidak berwudhu, atau ia teringat sebuah shalat yang terlewatkan ketika belum safar, maka dalam hal ini ia harus mengerjakan shalat secara sempurna. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barang siapa yang tertidur dari shalat atau lupa, maka hendaknya ia shalat ketika ingat.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Yakni ia harus melakukan secara sempurna, dan mengqadhanya pun harus secara sempurna.
4. Apabila musafir bertakbiratul ihram untuk suatu shalat yang seharusnya dikerjakan secara sempura, namun shalatnya batal dan dia mengulanginya lagi, misalnya seorang musafir shalat di belakang orang yang mukim, dimana dalam keadaan ini dia harus menyempurnakan, tetapi ternyata shalatnya batal, lalu dia mengulanginya lagi, maka ia harus mengulanginya dengan melakukan shalat secara sempurna, karena hal itu merupakan pengulangan terhadap shalat yang harusnya dikerjakan secara sempurna.
5. Jika musafir berniat mukim secara mutlak (tanpa dibatasi waktu atau pekerjaan tertentu) atau menjadikan tempat yang disinggahinya sebagai tempat tinggalnya, maka ia wajib menyempurnakan shalatnya, karena telah terputus hukum safar baginya. Tetapi apabila ia membatasi safarnya dengan waktu tertentu atau pekerjaan tertentu yang akan selesai, maka ia sebagai musafir yang bisa mengqashar shalat.
Menjama dua shalat
Diperbolehkan pada safar yang berlaku qashar untuk menjamak shalat antara Zhuhur dan Ashar, serta antara Maghrib dan Isya pada salah satu waktunya. Hal ini berdasarkan hadits Mu’adz, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada perang Tabuk apabila berangkat sebelum matahari tergelincir, maka Beliau menunda shalat Zhuhurnya hingga Beliau gabung dengan shalat Ashar dan melakukan kedua shalat itu dengan dijamak. Tetapi apabila Beliau berangkat setelah matahari tergelincir (tiba waktu Zhuhur), maka Beliau shalat Zhuhur dan Ashar dengan dijamak, kemudian Beliau berangkat. Beliau juga melakukan hal yang sama pada shalat Maghrib dan Isya (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Dalam menjamak shalat tidak disyaratkan harus berturut-turut (muwaalah) kalau pun diselangi sesuatu tidak mengapa, namun lebih utama melakukannya secara muwaalah (berturut-turut) sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menjamak ini berlaku baik seseorang masih di perjalanan atau sudah singgah, karena ia termasuk rukhshah (keringanan) dalam safar sehingga tidak disyaratkan adanya kondisi berjalan seperti keringanan-keringanan safar lainnya, hanyasaja yang paling utama adalah bagi orang yang sudah singgah tidak melakukan jamak, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menjamak ketika telah singgah di Mina.
Diperbolehkan juga menjamak shalat bagi seorang yang mukim jika dia mendapatkan kesulitan ketika tidak menjamak. Hal ini berdasarkan pernyataan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menjamak antara Zhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya ketika di Madinah bukan karena kondisi mengkhawatirkan dan bukan karena kondisi hujan.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Bukan karena kondisi mengkhawatirkan atau karena safar.” (Hr. Muslim)
Ibnu Abbas ditanya, “Karena apa Beliau melakukan hal itu (menjamak shalat)?” Ia menjawab, “Beliau tidak ingin menyusahkan umatnya.”
Oleh karena itu, jika seseorang mendapatkan kesulitan ketika tidak menjamak, maka boleh baginya menjamak shalat, baik karena sakit atau ada uzur yang bukan sakit baik ia mukim maupun musafir.
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (5/219) berkata, “Jamaah dari kalangan imam berpendapat bolehnya menjama’ shalat ketika tidak safar karena dibutuhkan, bagi orang yang tidak menjadikannya sebagai kebiasaan. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab dari kalangan kawan Imam Malik. Al Khaththabiy menceritakan semisalnya dari Al Qaffal, Asy Syaasyi Al Kabir dari kalangan kawan Imam Syafi’i dari Abu Ishaq Al Marwaziy dari jamaah Ahli Hadits, dan hal itu dipilih oleh Ibnul Mundzir. Hal ini juga diperkuat oleh perkataan Ibnu Abbas, “Beliau bermaksud untuk tidak menyulitkan umatnya.” Ia tidak menyebutkan alasannya karena sakit atau lainnya, wallahu a’lam.”
Yang selanjutnya adalah uzur yang berupa sakit. Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan wanita yang tertimpa darah istihadhah untuk menjamak antara dua shalat, sedangkan istihadhah salah satu di antara penyakit.
Termasuk dalam hal ini adalah orang yang beser, orang yang menyusui yang kerepotan, orang yang terluka dimana darahnya tidak berhenti-berhenti atau orang yang mimisan (selalu keluar darah dari hidung), juga sakit lainnya yang jika dikerjakan shalat tanpa dijama’ shuwriy (akan diterangkan setelah ini) akan mengakibatkan kepayahan yang sangat dan lemah.
Menjama’ ketika sakit bisa dengan jama' taqdim maupun ta'khir, namun sebaiknya ia melakukan jama' shuuriy yaitu dengan shalat Zhuhur di akhir waktu dan shalat ‘Ashar di awal waktu serta shalat maghrib di akhir waktu dan shalat ‘isya di awal waktu. (ini disebut jama’ shuuwriy) sehingga ia tetap shalat pada waktunya.
Di antara uzur yang membolehkan jamak selain safar dan sakit adalah:
1. Hujan deras yang membuat baju menjadi basah dan membuat seseorang kesulitan karenanya.
Boleh menjama’ shalat Zhuhur dan ‘Ashar atau Maghrib dan ‘Isya ketika hujan (termasuk dingin yang sangat, angin kencang, jalan bersalju atau berlumpur), baik dengan Jam’ut taqdim maupun Jam’ut ta’khir. Dalilnya adalah hadits berikut:
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا جَمَعَ الأُمَرَاءُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِى الْمَطَرِ جَمَعَ مَعَهُمْ .
Dari Naafi’, bahwa Abdullah bin Umar apabila para imam melakukan jama’ antara Maghrib dengan Isya ketika hujan, maka ia ikut menjama’ bersama mereka. (Shahih, HR. Malik, Al Irwa’ 3/40)
Dari Musa bin ‘Uqbah, bahwa Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjama’ antara Maghrib dan Isya yang terakhir ketika hujan, dan sesungguhnya Sa’id bin Al Musayyib, Urwah bin Az Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman dan para syaikh zaman itu melakukan shalat bersama mereka dan tidak mengingkarinya.” (Shahih, HR. Baihaqi, Al Irwa’ 3/168,169).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Boleh menjama’ shalat karena (jalan) berlumpur banyak, angin kencang di malam yang gelap dsb. meskipun hujan tidak turun menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat ulama, dan hal itu lebih baik dilakukan daripada shalat di rumahnya, bahkan meninggalkan menjama’ shalat dengan mengerjakan shalat di rumah adalah bid’ah menyelisihi sunnah, karena sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengerjakan shalat lima waktu di masjid-masjid dengan berjamaah. Hal itu juga lebih baik daripada shalat di rumah dengan kesepakatan kaum muslimin. Shalat di masjid-masjid dengan menjama’ adalah lebih baik daripada shalat di rumah-rumah meskipun dipisah (tidak dijama’) menurut kesepakatan para imam yang membolehkan jama’ seperti Malik, Syafi’i dan Ahmad.”
Syaikh Abu Bakar Al Jazaa’iriy dalam Minhajul Muslim berkata, “Sebagaimana penduduk negeri juga boleh menjama’ Maghrib dan Isya di masjid pada malam yang hujan, dingin yang sangat atau angin (yang kencang) jika mereka kesulitan kembali untuk shalat Isya di masjid, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjama’ antara shalat Maghrib dan Isya di malam yang hujan.”
2. Ada lumpur dan tanah becek yang membuat kesulitan bagi pejalan kaki.
3. Ada angin kencang dan dingin di luar biasanya,
4. Menjama’ Ketika di ‘Arafah dan Muzdalifah.
Para ulama sepakat bahwa menjama’ shalat Zhuhur dan ‘Ashar ketika di ‘Arafah dengan jam’ut taqdim (di waktu Zhuhur) di mana setelahnya ia wuquf, dan menjama’ shalat Maghrib dan ‘Isya dengan jam’ut ta’khir (di waktu ‘Isya) di Muzdalifah adalah sunnah (yang tidak ada pilihan lain selainnya). Hal ini beradasarkan riwayat yang sahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau shalat Zhuhur dan ‘Ashar di Arafah dengan satu kali azan dan dua iqamat, dan ketika Beliau mendatangi Muzdalifah, maka Beliau shalat Maghrib dan Isya di sana dengan satu kali azan dan dua iqamat (HR. Abu Dawud (1906))
Hukum tayammum di atas pesawat
Pertanyaan: Seseorang yang biasa berwudhu untuk setiap kali shalat, lalu ia bertayammum di pesawat dan melakukan shalat karena khawatir habisnya waktu shalat Subuh padahal ada air di pesawat, akan tetapi kalian tahu bahwa pesawat tidak ada selang air untuk mencuci najis yang menimpa badan dan pakaian seseorang, lalu orang ini shalat dan menghadap dengan wajah dan daadanya ke arah kiblat semampunya, maka apakah shalatnya sah?
Jawab: Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlmpah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kepada keluarganya dan para sahabatnya, amma ba’du:
Pertanyaan yang diajukan ada yang tidak jelas, sehingga jawaban kami sesuai pemahaman kami dari pertanyaan tersebut. Jika maksud pernyataan Anda ‘seorang yang berwudhu untuk setiap kali shalat’ adalah seorang yang biasa berwudhu, akan tetapi ia bertayammum di pesawat padahal ada air, jika ia sanggup menggunakan air dalam keadaan bagaimana pun yang bisa dilakukan, maka shalatnya tidak sah, ia wajib mengqadhanya, karena wudhu merupakan syarat sahnya shalat. Tanpa berwudhu, maka shalatnya tidak sah kecuali jika tidak ada air atau tidak mampu menggunakan air, maka tayammum dapat menempati posisinya. Biasanya berwudhu di atas pesawat itu bisa dilakukan, sedangkan uzur yang disampaikan tentang tidak adanya seelang air untuk istinja dan semisalnya tidak tepat. Bahkan kalau kita menganggap bahwa ia terkena najis, maka yang demikian tidak merubah sedikit pun tentang wajibnya berwudhu dan tidak juga merubah keabsahannya.
Masalah berikutnya adalah tentang hukum shalat ketika ada najis, jika ia sanggup membersihkannya, maka tidak boleh shalat dalam keadaan terkena najis sedangkan ia tahu. Jika ia tetap melakukannya maka tidak sah shalatnya dan wajib mengqadhanya. Tetapi jika tidak tahu, maka shalatnya tetap sah menurut sebagian ahli ilmu, dan inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Untuk lebih rincinya, lihat fatwa no. 67038.
Jika tidak memungkinkan berwudhu dalam keadaan bagaimana pun, maka tayammum dan shalat yang dilakukan pada waktunya adalah benar. Demikian juga jika ia tidak sanggup membersihkan najis, maka ia shalat sesuai keadaannya, karena suci dari najis disyaratkan jika ingat dan mampu, dan menjadi gugur ketika seseorang tidak mampu dan lupa.
Dalam Majmu Fatawa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ada jawaban terhadap pertanyaan berikut:
Apabila tidak ada air atau air membeku, atau dihalangi dari menggunakannya karena khawatir kebocoran di pesawat atau tertimpa bahaya karenanya atau karena air tidak cukup, maka bagaimana berwudhu sedangkan debu pun tidak ada?
Ia menjawab, “Berwudhu sebagaimana yang engkau sebutkan memang sulit, sedangkan Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Allah tidak mengadakan dalam agama ini suatu kesulitan bagi kalian.” (Qs. Al Hajj: 78)
Oleh karena itu, jika seorang yang berkendaraan bertayammum di atas ranjang baik ada debu atau tidak, maka ia harus tetap shalat merkipun dirinya masih belum bersih karena kesulitan membersihkan diri, sedangkan Allah Ta’ala berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (Qs. At Taghabun: 16)
Akan tetapi jika memungkinkan baginya turun di bandara pada akhir waktu kedua, yang masih bisa shalat sebelumnya dijamak dengannya, maka hendaknya ia meniatkan untuk jamak takhir dan melakukan dua shalat itu di bandara ketika telah turun. Tetapi jika tidak memungkinkan, seperti jika waktu tersebut adalah waktu kedua, atau shalat itu tidak bisa dijamak dengan shalat setelahnya seperti shalat Ashar dengan shalat Maghrib, atau shalat Isya dengan shalat Subuh, atau shalat Subuh dengan shalat Zhuhur, maka orang ini shalat sesuai keadaannya.”
Selanjutnya terkait menghadap kiblat semampunya yang dilakukannya, maka inilah yang diinginkan dalam keadaan ini, karena menghadap kiblat adalah syarat sahnya shalat fardhu kecuali jika tidak mampu, sehingga ketika itu ia lakukan apa yang bisa dilakukan, lihat juga fatwa no. 178121. Wallahu a’lam.”
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa Aalihi wa shahbihi wa salllam.
Oleh: Marwan bin Musa
Maraaji': Al Mukhtashar fii ahkaamis safar, (Syaikh Fahd bin Yahya Al 'Ammariy), Minhajul Muslim (Syaikh Abu Bakr Al jazaa'iriy), Subulus Salam (Muhammad bin Ismail Ash Shan’ani), Maktabah Syamilah, dll.
Tags:
Fikih