Adab Seorang Khatib Yang Penting Untuk Diketahui

Adab Seorang Khatib Yang Penting Untuk Diketahui

Fikroh.com - Apakah anda seorang khatib Jum'at? Sudahkah mengetahui apa saja adab seorang khatib? Jika belum, berikut ini kami sajikan artikel yang memuat Adab-adab Khatib yang perlu diperhatikan oleh seorang khatib saat khutbah Jumat, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.

Adab Seorang Khatib


Khutbah termasuk syarat sahnya ibadah Jumat. Dalam berkhutbah hendaknya khatib memperhatikan hal-hal berikut:

1. Berkhutbah sambil berdiri yang di sela-selanya ada duduk.


Jabir bin Samurah berkata,

«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا، ثُمَّ يَجْلِسُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا، فَمَنْ نَبَّأَكَ أَنَّهُ كَانَ يَخْطُبُ جَالِسًا فَقَدْ كَذَبَ، فَقَدْ وَاللهِ صَلَّيْتُ مَعَهُ أَكْثَرَ مِنْ أَلْفَيْ صَلَاةٍ»

“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah sambil berdiri, kemudian duduk, lalu berdiri lagi untuk khutbah. Barang siapa yang memberitahukan kepadamu bahwa Beliau berkhutbah sambil duduk, maka ia berdusta. Demi Allah, aku shalat bersama Beliau lebih dari dua ribu kali shalat.” (Hr. Muslim)

Menurut sebagian ulama, berdirinya khatib saat berkhutbah ketika mampu adalah syarat khutbah Jumat. Ini merupakan pendapat ulama madzhab Syafi’i, pendapat mayoritas ulama madzhab Maliki, dipilih oleh Qurthubi salah seorang ulama madzhab Maliki, dan menjadi salah satu riwayat Imam Ahmad.

Ada pula yang berpendapat, bahwa berdiri saat khutbah hukumnya sunah. Ini adalah pendapat ulama madzhab Hanafi, ulama madzhab Hanbali, salah satu pendapat dalam madzhab Maliki, dan dipilih oleh Ibnu Utsaimin.

Sedangkan hukum duduk di sela-sela khutbah adalah sunah, dan tidak wajib. Demikian pendapat jumhur (mayoritas) para ulama dari kalangan madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan mayoritas Ahli Ilmu.

2. Dianjurkan bagi khatib ketika telah menaiki mimbar, menghadap kepada makmum dan mengucapkan salam kepada mereka, selanjutnya khatib duduk.


Jabir berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila menaiki mimbar, mengucapkan salam.” (Hr. Ibnu Majah dan Thabrani dan dihasankan oleh Al Albani)

3. Azan dikumandangkan ketika imam duduk setelah khatib mengucapkan salam


As Saib bin Yazid radhiyallahu anhu berkata, “Dahulu di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar azan pada hari Jumat dimulai ketika imam telah duduk di atas mimbar.” (Hr. Bukhari)

4. Berdiri khutbah di tangga kedua dan duduk di tangga ketiga.


Anas radhiyallahu anhu berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri pada hari Jumat dan menyandarkan punggungnya ke batang pohon kurma yang ditegakkan dalam masjid lalu berkhutbah kepada orang-orang. Kemudian datanglah seorang yang berasal dari Rum (Romawi) dan berkata, “Maukah aku buatkan untukmu sesuatu yang engkau bisa duduk di atasnya dan bisa berdiri?” Maka orang itu membuatkan untuk Beliau mimbar yang memiliki dua tangga, dan Beliau duduk di tangga ketiga.” (Hr. Darimi, As Shahiihah no. 2174)

Ibnul Qayyim berkata, “Tidak dihapal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa Beliau setelah dibuatkan mimbar menaikinya dengan pedang, busur maupun lainnya, sebagaimana tidak juga dihapal sama sekali dari Beliau bahwa Beliau bersandar dengan pedang sebelum dibuatkan mimbar, bahkan Beliau hanya menggunakan busur atau tongkat.” (Zaadul Ma’aad 1/141)

Jumhur (mayoritas) para ulama, baik ulama madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat, bahwa seorang khatib dianjurkan bersandar dengan busur atau tongkat.

Dari Hakam bin Hazn Al Kulafiy radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku pernah menjadi utusan untuk menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu kami tinggal beberapa hari dan hadir dalam shalat Jumat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ketika itu, Beliau bersandar dengan tongkat atau busur, memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan kalimat yang baik, ringan dan penuh berkah.” (Hr. Abu Dawud, dihasankan oleh Al Albani)

5. Khatib menghadap ke makmum.


Ibnu Rajab menukil adanya ijma (kesepakatan) para ulama terhadap hal ini (disyariatkannya khatib menghadap makmum). (Lihat Fathul Bari 5/477 dan Umdatul Qari 6/221)

Dan dianjurkan bagi makmum untuk menghadapkan wajahnya kepada imam. Imam Baihaqi meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwa ketika imam telah mulai berkhutbah, maka ia menghadapkan wajahnya ke arah imam sampai selesai.” (Dishahihkan isnadnya oleh Al Hafizh dalam Al Fath 2/467)

6. Dianjurkan bagi khatib mengeraskan suaranya.


Anjuran khatib mengeraskan suaranya merupakan kesepakatan para fuqaha yang empat (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah). Dalilnya adalah hadits Jabir radhiyallahu anhu ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ، وَعَلَا صَوْتُهُ، وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ: «صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ» ، وَيَقُولُ: «بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ» ، وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ، وَالْوُسْطَى، وَيَقُولُ: «أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ» ثُمَّ يَقُولُ: «أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ، مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ»

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika berkhutbah merah kedua matanya, lantang saranya, tampak seperti marah seakan-akan memberikan peringatan kepada suatu pasukan dengan berkata, “Hendaklah kalian selalu waspada di pagi dan petang!” Beliau bersabda, “Aku diutus, sementara antara aku dengan hari Kiamat seperti dua jari ini,” Beliau merapatkan kedua jarinya, yaitu telunjuk dan jari tengah. Beliau bersabda, “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap bid’ah (yang diada-adakan dalam agama) adalah sesat.” Beliau juga bersabda, “Aku lebih utama bagi setiap mukmin daripada dirinya. Barang siapa yang meninggalkan harta, maka untuk keluarganya. Sedangkan barang siapa yang mati meninggalkan utang atau keluarganya yang terlantar, maka akulah yang bertanggung jawab.” (Hr. Muslim)

7. Dianjurkan memulai khutbah dengan khutbatul haajah, yakni “innal hamda lillah nahmaduhu wa…dst.”


Hal ini juga berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu anhu ia berkata,

كَانَتْ خُطْبَةُ اَلنَّبِيِّ r يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ: يَحْمَدُ اَللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ, ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِ ذَلِكَ, وَقَدْ عَلَا صَوْتُهُ . وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ: مَنْ يَهْدِه ِ اَللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. وَلِلنَّسَائِيِّ: وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي اَلنَّارِ

“Khutbah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Jum’at adalah memuji Allah dan menyanjungNya lalu menyampaikan kalimat setelahnya dengan suara tinggi.” (Hr. Muslim. Dalam riwayat Muslim lainnya juga disebutkan bahwa Beliau menyampaikan, “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barang siapa yang disesatkan maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.”) Sedangkan dalam riwayat Nasa’i ada kalimat, “Dan setiap kesesatan di neraka.” (Lihat Bulughul Maram)

Khutbatul hajah yang lengkap adalah:

الْحَمْدُ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ، وَنَسْتَعِينُهُ، وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

Artinya: Sesungguhnya segala puji milik Allah kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, meminta ampunan kepada-Nya, berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya. (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Kemudian melanjutkan dengan membaca tiga ayat, yaitu surah Ali Imran: 102, surah An Nisaa’: 1, dan surah Al Ahzaab: 70-71.

Kemudian mengucapkan Amma ba’du:

8. Membaca syahadat, karena khutbah yang tidak ada syahadatnya seperti tangan yang kusta.


Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ، فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ»

“Setiap khutbah yang tidak ada kalimat syahadat di dalamnya, maka seperti tangan yang putus.” (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)

9. Menjiwai isi khutbah, sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berkhutbah merah kedua matanya dan lantang suaranya.


10. Mempersingkat khutbah dan memperlama shalat


Dari Ammar bin Yasir radhiyallahu anhuma ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ، وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ، مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ، فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ، وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ،

“Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan pendek khutbahnya menunjukkan pemamahannya, maka panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah.” (Hr. Muslim)

Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu berkata, “Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ketika itu shalat Beliau sedang dan khutbahnya juga sedang.” (Hr. Muslim)

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak memperlama nasihat pada hari Jumat. Kalimat yang Beliau sampaikan ringkas.” (Hr. Abu Dawud, dihasankan oleh Al Albani)

11. Berdoa dalam khutbah Jumat


Dianjurkan mendoakan kaum muslimin pada khutbah Jumat. Ini merupakan madzhab jumhur ulama, baik Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah, dan menjadi salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i.

Dalam berdoa pada khutbah Jumat cukup bagi khatib mengangkat jari telunjuknya saja.

Dari Umarah bin Ru’aibah, bahwa ia melihat Bisyr bin Marwan ketika berkhutbah di atas mimbar berdoa dengan mengangkat kedua tangannya, maka ia berkata, “Semoga Allah mencelakakan kedua tangan itu. Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah tidak lebih dari sekedar berisyarat dengan satu tangannya sebagai berikut." Umarah (memperagakan) dengan berisyarat menggunakan jari telunjuknya. (Hr. Muslim)

Oleh karena itu, tidak disyariatkan bagi khatib mengangkat kedua tangannya dalam doa ketika khutbah Jumat, bahkan cukup dengan satu jari telunjuknya, kecuali jika khatib berdoa istisqa (meminta kepada Allah agar diturunkan hujan). Inilah madzhab jumhur ulama, baik dari kalangan Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan menjadi salah satu pendapat sebagain ulama madzhab Hanafi.

Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu ia berkata, “Orang-orang pernah tertimpa kemarau panjang di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam khutbah pada hari Jumat, tiba-tiba ada orang Arab badui yang berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, harta habis dan keluarga kelaparan, maka berdoalah kepada Allah untuk kami!” Maka Beliau mengangkat kedua tangannya…dst.” (Hr. Bukhari dan Muslim).

Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama