Oleh: Abu Haitsam
Mengungkapkan rasa cinta dengan narasi indah berbentuk syair adalah bagus, para ulama telah membuat berbagai syair berisi shalawat dan pujian untuk Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Semua menjadi legacy kekayaan sastra kaum muslimin sepanjang sejarah. Nyaris tak ada tokoh dalam rentang sejarah yang senantiasa dipuji dengan bahasa-bahasa sastra yang begitu banyak selain Rasulullah ﷺ. Ada memang karya sastra berupa puisi seperti kita kenal ada puisi tentang Diponegoro, Sukarno dan Ibu Kartini. Juga biografi para tokoh nasional dan dunia, tapi jumlahnya tidak begitu banyak.
Adapun tentang Rasulullah ﷺ sungguh betapa banyak karya sampai sulit dihitung, ada sirah, syama'il, dala'il, fadha'il, juga bait-bait syair. Ada juga kitab biografi singkat berpadu dengan syair-syair berisi shalawat. Yang paling terkenal adalah kitab Maulid Barzanjiy yang ditulis Sayyid Ja'far al-Barzanjiy (1126 H -1177 H ), begitu pula Kitab Maulid Diba' yang ditulis Sayyid Abdurrahman ad-Diba'iy yang syair-syairnya luar biasa indah. Ada pula kitab Maulid Simtudduror yang ditulis Habib Aly Bin Muhammad Bin Husain al-Habsy.
Tiga kitab inilah yang paling populer dibaca oleh kaum muslimin Indonesia ketika memasuki bulan Maulid atau ketika merayakan maulud Nabi. Kitab berisi sirah singkat dan kumpulan syair nan indah ini memang cocok sekali untuk menjadi bacaan dan wirid kaum muslimin dalam rangka me-refresh kecintaan pada Baginda Rasulullah ﷺ. Kitab ini juga menjadi sarana sangat penting untuk belajar bahasa Arab, sastra, dan balaghah lewat sya'ir-sya'irnya yang indah dan ulasan sirahnya yang ditulis dengan menyamakan qhafiyah (rima) sehingga terdengar indah ketika dibaca dan dilantunkan.
Hari-hari ini majlis shalawatan semakin berkembang. Kalau dulu Barzanjiy, Diba' atau Simtudduraar hanya dibaca di pesantren atau di masjid-masjid kampung tradisional, kini majlis shalawat diadakan di mana-mana bahkan di kota-kota secara besar besaran. Baguskah? Harusnya itu bagus, artinya orang semakin mencintai Rasulullah, ketaatan pada syari'ah meningkat dan keshalehan masyarakat terus bertambah. Tapi kita coba periksa faktanya what really happen..?
Pertama, mencintai itu identik dengan taat, jadi, jika kita bilang cinta pada ibu kita misalnya tapi kita ingkari perintahnya, berarti cinta kita palsu. Meski kita bernarasi tentang ''cinta ibunda''. Kita bilang cinta pada pimpinan kita tapi kita tak laksanakan instruksinya. Itu berarti kita bohong kan..? Tentu tak ada gunanya narasi kita tentang cinta kalau kita sebenarnya ingkari dan tidak taat. Jika kita mencintai Rasulullah ﷺ maka hal terpenting yang menjadi prioritas kita adalah senantiasa mentaatinya dengan mengamalkan syari'ah dan mendakwahkannya, kita juga anti pada segala apa yang menyalahi syari'ah. Contoh jelasnya adalah masjid menjadi ramai dengan jamaah shalat setiap waktu, bukan kok tetap terlena dengan dunia dan masjid tetap sepi. Kegiatan riba yang menjadi keseharian masyarakat hari ini harusnya segera ditinggalkan. Tapi jika kita perhatikan, rasanya semua itu masih terus terjadi tanpa ada perubahan positif yang signifikan, meski majlis shalawat berkembang di mana-mana. Maka patut kita pertanyakan apa arti cinta kita pada Rasulullah ﷺ dan kemana muara shalawat yang kita senandungkan dengan semangat di pengajian-pengajian itu.
Kedua, majlis-majlis shalawat hari ini biasanya didominasi suara musik yang keras dengan lantunan merdu yang membuai, membuat para jamaah terlena mengikuti indahnya irama lagu dan musik. Itu fakta. Khawatirnya, para jamaah ini sebenarnya tidak sedang memahami syair- syair indah pujian dan sanjungan untuk baginda Rasulullah ﷺ. Tapi menikmati lantunan lagu dan musik. Jadi mereka tidak sedang bershalawat kalau seperti itu.
Ketiga, majlis besar shalawat juga umumnya merupakan majlis ikhtilath atau bercampur baur, tumplek bleg antara laki-laki perempuan yang berjubel, duduk berdesakan dan hampir semua mengikuti dengan bergoyang sedikit ataupun banyak, bahkan banyak jamaah yang sembari mengibarkan dan menggoyang-goyangkan bendera. Jika taat pada Rasulullah ﷺ tentunya jamaah akan ditempatkan terpisah antara laki-laki dan perempuan. Terlebih duduk berjubel dan bergoyang-goyang pria wanita tentu menyalahi sifat iffah dan muru'ah yang harusnya dijaga oleh setiap muslim.
Keempat, materi ceramah ataupun nasihat yang sebagian dimasukkan dalam syair-syair yang didendangkan memang bagus, tapi umumnya bersifat terlalu normatif seperti cinta Nabi, beribadah, suka bersedekah, bersikap baik pada tetangga, tepo sliro dan semisalnya yang hampir selalu diulang-ulang saja dalam setiap majlis, artinya tidak ada ilmu baru yang muncul dan tersampaikan pada jamaah, padahal majlis taklim itu seharusnya terus meningkatkan pengetahuan terutama pengetahuan tentang Islam. Itu butuh kurikulum yang terukur, dan terus meningkat. Bukan hanya nasehat-nasehat normatif yang selalu diulang-ulang. Pengetahuan masyarakat tentang Islam tidak pernah meningkat meski pengajian dan majlis shalawat sangat sering diadakan.
Kelima, ada anggapan sebagian masyarakat bahwa dakwah dengan musik dan berdendang itu dicontohkan para wali dahulu. Sunan-sunan dulu konon menabuh gong dan juga kendang untuk mengumpulkan masyarakat sehingga mereka berkumpul lalu diberi nasehat lalu diajarkan Islam. Sehingga sekarang perlu meniru cara-cara mbah-mbah wali itu. Konon begitu. Oke lah kalau barangkali para wali melakukan itu, tapi... tengoklah! Para wali melakukan itu semua dengan kemauan sendiri dan sengaja berdakwah. Sekarang sepertinya berbeda. Mohon maaf, Kyai dan tim shalawat itu tidak akan datang sendiri dengan misi-misi dakwah, mereka datang atas undangan dan mau datang setelah ada deal tarif tertentu yang harus diserahkan pihak penyelenggara. Dan biasanya semakin terkenal semakin mahal harganya. Saya kira para wali, sunan Giri, Sunan Kalijogo, dan wali-wali yang lain rahimahumullah tidak akan melakukan seperti itu. Mereka tentu terus berdakwah dengan segenap keikhlasan tanpa ada tujuan materi. Mohon maaf.
Keenam, membaca sirah harusnya memunculkan kesadaran bahwa Rasulullah ﷺ menjadikan Islam ini sebuah peradaban dunia yang terus didakwahkan dan menyeru semua manusia untuk berlindung di bawah naungan Islam, yang berarti Islam harus memimpin dunia. Untuk itu Islam harus mengalahkan semua musuhnya, tapi sayangnya umat Islam hari ini tak sadar musuh. Mereka gagal mendefinisikan musuh. Bahkan ironisnya banyak kelompok-kelompok kaum muslimin yang menjadikan saudaranya sendiri sebagai musuh.
Wujud musuh Islam ini berkamuflase sedemikian rupa. Sehingga nyaris tak dikenali kecuali oleh mereka yang berpikir dalam. Dia mengalir dalam kebijakan negara, hukum, sistem ekonomi, pendidikan dan terutama politik, selain serangan massive lewat media dengan berbagai informasi. Semua terkendali oleh sebuah sistem peradaban dunia yang dikendalikan oleh peradaban kapitalisme Barat yang inti di dalamnya adalah sekulerisme. Itulah wujud musuh sebenarnya bagi Islam. Itulah kekufuran yang terdefinisikan bentuknya secara jelas. Inilah yang secara meyeluruh merusak segala sendi Islam.
Harusnya majlis-majlis pengajian menajamkan pandangan tentang wujud musuh Islam ini. Demi mewujudkan peradaban yang diridhoi Allah dan RasulNya. Yaitu Islam sebagai tatanan dunia yang paripurna.
Sayangnya poin ini tak ternarasikan, tak pula tersirat apalagi tersurat. Bahkan Islam sebagai sebuah tatanan dunia pun tak dimengerti oleh kabanyakan umatnya. Meski mereka terus berdendang bershalawat, memuji Nabi dan memohon keberkahan. IRONIS.
Tags:
Opini