Fikroh.com - Terdapat beberapa ketentuan yang dibuat oleh fuqaha (ahli fikih) mengenai najis-najis yang dimaafkan. Dan menurut Syeikh Wahbah Zuhaili tidaklah salah kalau kita berpegang dengan ketetapan-ketetapan fuqaha tersebut. Di antara yang penting adalah sebagai berikut.
A. Menurut Madzhab Hanafi
Ulama madzhab Hanafi (Fathul Qadir jilid 1 halaman 140-146; Ad-Durrul Mukhtar wa Hasyiyah Ibn Abidin jilid 1 halaman 295-309; Muraqil Falah halaman 25 dan seterusnya) telah menentukan najis yang dimaafkan berdasarkan kepada jenis najis itu sendiri, baik dari jenis najis mughallazhah ataupun dari jenis mukhaffafah . Mereka mengatakan bahwa najis mughallazhah ataupun mukhaffafah yang dimaafkan adalah jika kadarnya sedikit. Mereka menentukan kadar najis mughallazhah yang sedikit adalah yang kurang dari satu dirham (3,17 gm), yaitu yang beratnya sama dengan 20 qirat (untuk najis yang kering). Adapun untuk najis yang cair kadar (yang dimaafkan) adalah kadar yang tidak sampai segenggam telapak tangan. Menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Hanafi, menunaikan shalat dengan membawa najis yang sedikit meskipun ia dimaafkan adalah haram.
Najis mukhaffafah yang terkena pakaian dianggap sedikit jika ia tidak sampai kepada ukuran seperempat pakaian tersebut. Dan apabila yang terkena adalah badan, maka ukurannya ialah jika ia tidak sampai kadar seperempat anggota tubuh -seperti tangan dan kaki- yang terkena najis tersebut.
Begitu juga air kencing ataupun tahi kucing dan tikus yang sedikit adalah dimaafkan, baik ia mengenai makanan ataupun pada pakaian karena darurat. Dan dimaafkan juga percikan air basuhan yang tidak jelas tempat yang mana yang terkena najis pada sesuatu wadah. Dimaafkan juga percikan air kencing yang kecil seukuran kepala jarum karena darurat, meskipun percikannya mengenai keseluruhan pakaian dan badan, Tetapi jika percikan itu masuk ke dalam air yang sedikit, maka ia menyebabkan najis, menurut pendapat yang ashah.
Darah yang mengenai tubuh tukang sembelih ataupun pakaiannya adalah sama hukumnya dengan air kencing yang sedikit. Begitu juga dengan bekas najis yang dibawa oleh lalat yang berasal dari benda najis. Demikian juga dengan tahi himar, keledai, lembu, dan gajah dalam keadaan darurat dan 'umum al-balwa. Dimaafkan juga percikan air mandi mayat yang sukar untuk dihindari ataupun yang tidak dapat dihindari sama sekali ketika memandikannya. Hal ini dimaafkan karena adanya keadaan 'umum al-balwa. Begitu juga tanah jalan raya yang keras juga dimaafkan, kecuali jika diketahui ain najisnya, maka tidak dimaafkan.
Dimaafkan juga darah yang masih berada dalam urat saraf binatang yang disembelih, karena terdapat kesulitan untuk menghindar darinya. Dimaafkan juga darah jantung, limpa, dan hati, karena ia merupakan darah yang tidak mengalir. Dimaafkan juga darah yang tidak membatalkan wudhu menurut pendapat yang ashah, dan dimaafkan juga darah kepinding, nyamuk, atau kutu meskipun jumlahnya banyak. Dimaafkan juga darah ikan menurut pendapat yang ashah. Begitu iuga dimaafkan air liur keledai dan himar, tetapi menurut pendapat al-madzhab ia adalah bersih, dan dimaafkan darah orang yang mati syahid untuk dirinya meskipun darah itu mengalir.
Uap najis dimaafkan, begitu juga dengan debu dan airnya karena darurat, supaya roti yang dibuat di seluruh negara tidak dihukumi najis. Dimaafkan juga angin yang bertiup ke arah najis, kemudian angin itu mengenai pakaian, kecuali jika jelas kelihatan bekas najisnya pada pakaian.
Dimaafkan juga tahi unta dan kambing apabila ia jatuh ke dalam telaga ataupun wadah, selama kadarnya tidak banyak sehingga menjijikkan ataupun ia hancur sehingga menyebabkan airnya berubah warna. Kadar yang sedikit ialah kadar yang dipandang sedikit oleh orang yang melihat, dan kadar yang banyak ialah kadar yang dirasa jijik oleh orang yang melihatnya.
Adapun tahi burung yang boleh dimakan yang berak di udara, maka hukumnya bersih. Apabila ia tidak berak di udara, maka hukumnya adalah najis mukhaffafah. Kita dapat menyimpulkan bahwa sebab-sebab kemaafan itu adalah karena darurat, 'umum al-balwa, ataupun sulit untuk menghindarkan diri dari najis tersebut.
B. Menurut Madzhab Maliki
Menurut ulama madzhab Maliki (Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah halaman 33; Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 56, 58, 71-81, 112; Asy-Syarhush Shaghir jilid 1 halaman 71-79), kadar darah binatang darat yang sedikit adalah dimaafkan. Ash-shadid dan al-qaih yang sedikit juga dimaafkan, yaitu jika ukurannya sekadar satu dirham al-bighali. Artinya sekadar suatu bulatan hitam yang terdapat pada kaki depan binatang bighal ataupun kurang dari kadar itu. Ketetapan ini tetap berlaku meskipun darah atau yang semacamnya itu keluar dari tubuh orang itu sendiri ataupun dari orang lain, dan baik darah atau yang semacamnya itu keluar dari manusia ataupun binatang, meskipun dari babi. Begitu juga sama saja baik tempat yang terkena darah itu pakaian ataupun badan ataupun tempat lainnya.
Najis apa pun yang susah dihindari ketika shalat dan ketika memasuki masjid adalah dimaafkan. Tetapi yang masuk ke dalam makanan dan minuman tidaklah dimaafkan. Oleh sebab itu, jika sesuatu najis itu terjatuh ke dalam makanan ataupun minuman, maka ia akan menyebabkan najis, sehingga makanan dan minuman itu tidak boleh dimakan dan diminum.
Najis-najis yang dimaafkan karena susah untuk dihindari adalah hadats yang berterusan, yaitu hadats yang terjadi dengan sendirinya tanpa dikehendaki oleh orang yang berkenaan seperti air kencing, air madzi, air mani, dan tahi yang mengalir keluar dari lubang dubur dengan sendirinya. Najis-najis ini dimaafkan, dan tidak wajib dibasuh karena darurat, apabila keadaan itu memang terjadi setiap hari dan meskipun hanya sekali saja dalam sehari.
Bawasir yang basah (sesuatu yang tumbuh di bagian dalam tempat keluarnya najis yang menyebabkan keluar cairan lembab yang najis) jika terkena badan ataupun pakaian pada setiap hari, meskipun hanya sekali (juga dimaafkan). Tetapi yang terkena tangan ataupun kain, maka ia tidak dimaafkan. Sehingga dia harus membasuhnya, kecuali jika bawasir itu sering keluar masuk umpamanya melebihi dua kali dalam sehari. Jika tidak maka dia wajib membasuh tangannya, karena membasuh tangan bukanlah perbuatan yang sulit sebagaimana sulitnya membasuh pakaian dan badan.
Dimaafkan juga air kencing ataupun tahi anak kecil yang terkena pakaian ibu yang menyusuinya ataupun badannya, meskipun anak itu bukan anaknya sendiri. Dengan syarat, apabila dia berusaha menghindarkan diri ketika najis itu sedang keluar. Namun jika dia tidak berhati-hati, maka tidak dimaafkan.
Begitu juga hukumnya bagi tukang sembelih, tukang membersihkan kandang dan kamar mandi, dan dokter yang merawat luka. Adapun ibu yang menyusui anak sendiri atau anak orang lain disunnahkan menyediakan sehelai pakaian khusus untuk shalat.
Dimaafkan juga air kencing ataupun tahi kuda, bighal, dan keledai yang terkena pakaian orang yang sedang shalat, terkena badannya, ataupun terkena tempat shalatnya, apabila dia adalah orang yang bekerja memelihara binatang-binatang itu, ataupun bekerja memberi makan ataupun menambatnya dan sebagainya, karena sulit untuk menghindarkan diri dari najis-najis itu.
Bekas najis yang dibawa lalat ataupun nyamuk yang jatuh ke dalam najis baik tahi, air kencing ataupun darah, yang melekat pada kakinya ataupun mulutnya, kemudian ia terbang dan hinggap pada pakaian ataupun badan. Maka, najis-najis yang dibawanya itu dimaafkan karena sulit menghindarkan diri darinya.
Bekas cacar tato yang sukar dihilangkan juga dimaafkan karena darurat (Asy-Syaikh Ulaisy, Fath Al-Ali Al-Malik jilid 1 halaman 112). Dimaafkan juga bekas tempat bekam jika diusap dengan kain dan yang semacamnya: pemaafan ini hingga tempat bekaman itu menjadi baik, kemudian barulah dibasuh. Ini disebabkan terdapat kesulitan untuk membasuhnya sebelum lukanya sembuh. Oleh sebab itu, apabila ia sudah sembuh hendaklah dibasuh. Dan membasuhnya adalah wajib, ada pula yang mengatakan sunnah.
Bekas bisul sejak ia mulai mengalir juga dimaafkan, jika memang bisul itu banyak, baik ia mengalir dengan sendirinya ataupun dengan sebab dipencet. Karena jika banyak alirannya akan sulit untuk diatasi (darurat) sama seperti kudis dan kurap. Jika bisul itu hanya sebiji saja, maka airnya yang mengalir dengan sendirinya ataupun keluar dengan sebab dipencet adalah dimaafkan. Tetapi apabila ia dipencet tanpa ada keperluan, maka ia tidak dimaafkan kecuali jika kadarnya tidak melebihi kadar satu dirham.
Dimaafkan juga darah kutu anjing apabila kurang dari kadar satu dirham, bukan kadar yang melebihinya. Tahi kutu anjing meskipun banyak juga dimaafkan. Begitu juga dimaafkan bangkai kutu manusia yang sedikit, yaitu kadar tiga ekor ataupun kurang dari itu.
Dimaafkan juga air yang keluar dari mulut orang yang sedang tidur jika ia keluar dari ususnya dan berwarna kuning, busuh dan keadaannya berterusan seperti sepanjang masa. Tetapi jika ia tidak berterusan, maka ia dihukumi najis.
Dimaafkan juga tanah yang terkena air hujan dan juga airnya yang bercampur dengan najis jika terkena pakaian ataupun kaki, selama ia masih berada di jalan meskipun setelah hujan berhenti. Demikian itu memang kadar najis itu tidak melebihi kadar tanah atau air itu secara meyakinkan ataupun atas dasar zhan, dan selama najis itu belum dicampur oleh seseorang dengan benda lainnya, dan juga selama orang tersebut tidak melakukan tindakan apa pun yang menyebabkan terjadinya percampuran itu. Tetapi jika terjadi satu saja dari keadaan tersebut, maka najis itu tidak dimaafkan lagi dan wajib dibasuh, sama seperti keadaannya apabila jalan itu kering karena tidak terdapat lagi kesulitan.
Bekas istijmar dengan menggunakan batu ataupun kertas bagi lelaki adalah dimaafkan, jika memang najisnya itu tidak melebihi kadar yang biasa. Tetapi jika najisnya itu keluar dan banyak mengotori bagian sekitar tempat keluarnya melebihi kebiasaan yang normal, maka hendaklah kadar yang lebih itu dibasuh dan kadar yang biasa dimaafkan. Adapun perempuan hendaklah menggunakan air ketika ber-istinja' untuk membersihkan air kencingnya sendiri seperti yang akan dijelaskan dengan lebih lanjut dalam perbincangan tentang istinja' nanti.
C. Menurut Madzhab Syafi’i
Ulama madzhab Syafi'i (Al-Majmu’, jilid 1, halaman 265, 292 dan seterusnya; Mughnil Muhtaj, jilid 1, halaman 81, 191-194; Syarh Al-Bajuri, jilid 1, halaman 104, 107; Hasyiah Asy-Syarqawi' ala Thuhfatith Thullab, jilid 1, halaman 133 dan seterusnya; Syarh Al-Hadhramiyyah oleh lbnu Hajr, halaman 50 dan seterusnya) berpendapat bahwa tidak ada najis yang dimaafkan kecuali najis-najis berikut.
Najis yang tidak dapat dilihat oleh mata normal seperti darah yang sedikit dan percikan air kencing yang sedikit.
Dimaafkan juga -baik banyak atau sedikit- darah jerawat atau bintik-bintik darah kepinding, darah bisul, darah kudis atau kurap, dan nanah. Begitu juga darah kutu babi, kutu manusia, nyamuk, lalat, kepinding, dan binatang semacamnya yang darahnya tidak mengalir (seperti lalat, semut, kalajengking dan cicak, bukannya seperti ular, katak dan tikus), tempat bekam dan hisapan darah, najis lalat, air kencing kelalawar; kencing yang terus-menerus, darah istihadhah, air luka atau kudis atau lainnya yang berbau dan juga yang tidak berbau menurut pendapat yang azdhar, semuanya dimaafkan karena sulit untuk menghindarkan diri darinya.
Tetapi jika yang dipencet adalah jerawat, bintik-bintik, ataupun bisul, ataupun yang dibunuh itu adalah kutu ataupun ada kain yang dibentang dan terdapat najis yang dimaafkan pada kain itu, maka kadar yang dimaafkan adalah kadar yang sedikit saja. Karena, amat sulit untuk menghindarkan diri darinya.
Adapun kulit kutu anjing dan seumpamanya adalah tidak dimaafkan. Menurut pendapat yang azdhar, darah ajnabi, yang sedikit adalah dimaafkan selain darah anjing dan babi. Termasuk darah ajnabi adalah darah yang telah berpisah dari badan seseorang kemudian kembali mengenainya lagi. Sebab, kemaafan adalah prinsip syara' yang mengedepankan kemudahan. Adapun darah anjing dan seumpamanya tidak dimaafkan, meskipun kadarnya sedikit karena hukumnya yang berat. Untuk menentukan kadar sedikit dan banyak adalah berdasarkan adat. Darah Ajnabi yaitu darah yang terpisah dari diri manusia kemudian kembali mengenainya lagi. Tetapi jika diambil darah asing (bukan darah sendiri) lalu dilumurkan ke badannya ataupun pakaiannya, maka darah itu tidak dimaafkan. Karena, tindakan seperti itu dianggap sebagai melampaui batas, sebab perbuatan melumuri najis ke badan dihukumi haram.
Adalah jelas bahwa asas kemaafan yang diberikan kepada darah-darah tersebut adalah selagi ia tidak bercampur dengan benda lain. Jika ia bercampur dengan benda lain, meskipun benda lain itu adalah darah yang berasal dari darahnya sendiri yang keluar dari bagian anggotanya yang lain, maka tidak dapat dimaafkan.
Dimaafkan juga bekas najis di tempat istijmar yang menggunakan batu untuk orang yang bersangkutan saja, bukan untuk orang lain. Meskipun, tempat itu berkeringat dan lembab, selagi bekas najis itu tidak berpindah ke tempat lain.
Dimaafkan juga najis yang biasanya sukar dihindari seperti tanah jalan raya yang memang diyakini kenajisannya sewaktu musim dingin, bukannya pada musim panas. Pemaafan itu jika najis itu mengenai bagian bawah pakaian seseorang atau kakinya, bukan lengan baju atau tangannya. Dengan syarat, najis itu tidak jelas keberadaannya dan orang yang berkenaan telah berusaha menghindarkan diri najis itu. Umpamanya dia tidak membiarkan ujung bajunya terurai ke bawah. Disyaratkan juga najis itu mengenainya semasa dia sedang berjalan ataupun menunggang, bukannya ketika dia terjatuh ke tanah. Oleh sebab itu, penentuan kadar sedikit yang dimaafkan adalah berdasarkan keadaan orang berkenaan, Yaitu apabila ia tidak dianggap sebagai orang yang terjatuh ke sesuatu yang najis ataupun jatuh dan mukanya terkena najis, ataupun dengan kadar sedikit yang masih melekat, sehingga najis itu tidak dimaafkan.
Jika tanah itu tidak diyakini kenajisannya, tetapi hanya ada sangkaan kuat saja seperti yang terjadi pada kebanyakan jalan raya, maka kedudukan tanah itu dan yang seumpamanya adalah sama seperti pakaian tukang-tukang pembuat arak, pakaian anak-anak penyembelih, atau penjual daging dan juga pakaian orang kafir yang memercayai bahwa agamanya menuntut penggunaan najis. Maka, menurut pendapat yang ashah ia adalah suci berdasarkan kepada asal wujudnya. Tetapi jika tidak ada dugaan mengenai kenajisannya, maka ia dihukum bersih sama seperti air pancuran atap rumah yang disangka ada najis tetapi ia masih tetap dihukumi bersih.
Dimaafkan juga bangkai ulat buah-buahan, ulat cuka, dan keju yang terbentuk dari bahan-bahan tersebut dalam bahan tersebut, selagi ulat tersebut tidak dikeluarkan kemudian ia dimasukkan lagi ke dalamnya sesudah mati, dan selama ia tidak menyebabkan bahan-bahan itu berubah. Dimaafkan juga al-infihah yang digunakan untuk keju, alkohol yang digunakan di dalam obat-obatan dan berbagai jenis pewangi, asap najis (yang dibakar), uap air najis yang jatuh atau menetes karena api, roti yang dipanaskan di dalam abu najis, meskipun sebagiannya melekat pada roti itu. Juga, dimaafkan pakaian yang dibentang di atas dinding yang dibangun dari abu najis karena sulit untuk menghindarinya.
Dimaafkan juga bangkai yang tidak mempunyai darah mengalir yang jatuh dengan sendirinya ke benda cair seperti lalat, semut, dan tawon, selagi ia tidak menyebabkan benda cair itu berubah.
Dimaafkan juga tahi burung yang terdapat di atas tanah lapang ataupun di atas tanah jika memang sulit untuk dihindari. Kemaafan ini jika memang tidak sengaja terkena najis itu ketika berjalan di atasnya. Kecuali, jika terpaksa seperti jalan itu meniadi tempat laluan yang harus dilewati, dan di kanan kirinya tidak ada jalan.
Dimaafkan juga bulu najis yang sedikit seperti sehelai ataupun dua helai, asalkan bukan dari bulu anjing, babi, anak dari keduaduanya, ataupun dari salah satu binatang itu yang kawin dengan binatang lain. Jika bulu-bulu itu dari kedua-duanya, meskipun sedikit, maka tidak dimaafkan. Adapun bulu yang banyak dari binatang yang ditunggangi adalah dimaafkan, karena sulit untuk menghindarinya.
Di antara perkara yang dimaafkan juga ialah bekas tato, tahi ikan yang terdapat di dalam air jika ia tidak menyebabkan air berubah, darah yang masih terdapat pada daging ataupun tulang air liur yang keluar dari usus orang sakit yang sedang tidur, tanah dan kotoran yang mengenai penggembala ataupun pemandu binatang yang kuat tarikannya, tahi binatang berkaki empat dan air kencingnya ketika digunakan untuk menghancurkan biji-bijian, tahi tikus yang terjatuh ke dalam kulah air jika kadarnya sedikit dan tidak menyebabkan berubahnya air itu, tahi binatang yang diperah susunya dan najis yang terdapat pada ujung susunya apabila jatuh ke dalam susu ketika dilakukan pemerahan, bekas tahi binatang berkaki empat yang bercampur dengan tanah, najis yang terkena madu lebah dan najisnya mulut anak-anak ketika memberi susuan kepadanya ataupun ketika menciumnya.
Al-Wasyn ialah menusuk-nusuk kulit hingga keluar darah kemudian di atasnya diusapkan suatu bahan, seumpama nila supaya tempat itu berwarna biru ataupun berwarna hilau akibat dari tusukan jarum itu. Perbuatan ini dihukumi haram, karena terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dalam dua kitab shahih, "Allah mengutuk perempuan yang menjadi tukang menyambung rambut dan perempuan yang meminta disambung rambutnya, perempuan yang meniadi tukang tato dan perempuan yang meminta ditato kulitnya, perempuan yang menjadi tukang asah gigi dan perempuan yang meminta giginya diasah, dan perempuan yang menjadi tukang cabut rambut di dahi dan perempuan yang meminta agar dicabut rambut di dahinya." Menghilangkan bekas tato adalah wajib jika tidak ditakuti berlaku bahaya pada diri orang yang melakukannya. Tetapi jika ditakuti timbul bahaya maka ia tidak wajib, dan tidak ada dosa apa pun bagi orang berkenaan sesudah ia bertobat. Ketetapan ini jika perbuatan yang dilakukan pada dirinya itu adalah dengan kerelaannya sesudah ia mencapai umur baligh. Jika tidak, maka tidak ada kewajiban menghapus (Mughnil Muhtaj, jilid 1, halaman 191). Ulama madzhab Hanafi berkata, "Tempat rusukan itu dianggap bersih jika ia dibasuh, karena susah untuk dihapus bekasnya.” (Raddul Mukhtar, jilid 1 halaman 305).
D. Menurut Madzhab Hambali
Menurut madzhab Hambali (Al-Mughni jilid 1 halaman 30, jilid 2 halaman 78-79; Kasysyaful Qina’ jilid 1 halaman 218-221), kadar najis yang sedikit meskipun ia tidak dapat dilihat oleh mata seperti najis yang melekat pada kaki lalat dan yang seumpamanya adalah tidak dimaafkan. Karena, firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Muddatstsir menyebutkan, "Dan bersihkanlah pakaianmu." Dan juga berdasarkan perkataan Ibnu Umar, "Kami disuruh membasuh najis sebanyak tujuh kali" dan juga dalil lainnya.
Namun, madzhab ini memaafkan jumlah yang sedikit dari darah, nanah, ash-shadid, dan air luka, selagi ia tidak mengenai bahan cair atau makanan, karena sulit menghindar dari benda-benda najis itu. Hukum ini adalah jika ia berasal dari makhluk hidup yang suci semasa hidupnya, baik itu manusia atau binatang yang dagingnya boleh dimakan seperti unta dan lembu, ataupun tidak boleh dimakan dagingnya seperti kucing, selagi tidak keluar dari kemaluan depan (qubul) ataupun kemaluan belakang (dubur). Oleh sebab itu, jika najis itu keluar dari binatang yang dihukumi najis seperti anjing dan babi, keledai dan bighal, ataupun ia keluar dari salah satu saluran (kemaluan depan ataupun belakang) termasuk juga darah haid, nifas, dan istihadhah, maka najis-najis itu tidak dimaafkan.
Bekas istijmar juga dimaafkan sesudah tempat yang terkena najis itu bersih dan bilangan yang dikehendaki dalam istijmar sudah terpenuhi. Dimaafkan juga tanah di jalan raya yang dipastikan kenajisannya karena sukar untuk menghindarkan diri darinya. Ada tiga kondisi di mana tempat yang terkena najis-najis berat dimaafkan. Pertama, tempat istinja’, yaitu tempat istinja’ yang menggunakan batu sesudah ia bersih dan sesudah sempurna bilangan yang dikehendaki di dalam istinja’ adalah dimaafkan, tanpa ada khilaf pendapat di kalangan ulama yang kami ketahui. Kedua, bagian bawah/tapak khuf dan sandal. fika ia terkena najis lalu ia digosok-gosokkan dengan tanah sehingga benda najisnya hilang, ada tiga riwayat mengenai hukumnya. Salah satunya mengatakan cukup dengan digosok-gosokkan dengan tanah dan boleh dipakai dalam shalat. Ini adalah pendapat yang terkuat menurut penjelasan Ibnu Qudamah. Ketiga, jika seseorang itu membalut tulangnya yang patah dengan tulang yang dihukumi najis, maka ia tidak wajib membukanya iika ditakuti timbul bahaya, dan shalatnya dihukumi sah (Al-Mughni, jilid 2, halaman 83 dan seterusnya).
Dimaafkan juga air kencing yang sedikit bagi pengidap penyakit kencing terus-menerus yang sudah berusaha untuk menjaganya dengan sempurna. Karena, kondisi seperti itu memang sukar untuk mengatasinya.
Dimaafkan juga kadar yang sedikit dari asap najis, abunya, dan juga uapnya selama sifat kenajisannya tidak jelas kelihatan pada benda yang bersih. Alasannya, karena sulit mengatasinya.
Dimaafkan juga air sedikit yang mutanajjis karena bercampur dengan air najis yang dimaafkan karena kadarnya yang sedikit.
Dimaafkan juga najis yang masuk ke dalam mata seseorang dan jika matanya dibasuh maka akan membahayakannya.
Dimaafkan juga bekas darah atau semacamnya seperti nanah yang banyak jatuh ke atas suatu benda, kemudian diusap. Karena, kadar yang tersisa sesudah ia diusap adalah sedikit.
Di antara benda-benda yang dianggap oleh ulama madzhab Hambali sebagai suci ialah darah yang masih ada dalam urat-urat daging binatang yang boleh dimakan dagingnya. Karena, darah-darah itu tidak mungkin dihindari, darah ikan, darah orang yang mati syahid yang masih berada di badannya meskipun jumlahnya banyak, darah kepinding kutu, nyamuk, lalat, dan binatang lainnya yang darahnya tidak mengalir, hati dan limpa binatang yang boleh dimakan dagingnya karena ada sebuah hadits, dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah, ulat sutra dan tahinya, misk yaitu pusar binatang rusa, 'anbar karena ada perkataan Ibnu Abbas dalam kitab Al-Bukhari, "'Anbar adalah sesuatu yang telah dibuang oleh laut," air yang mengalir dari mulut orang yang sedang tidur ketika tidur seperti yang telah dijelaskan sebelum ini, uap yang keluar dari satu rongga atau lubang (badan), karena bentuknya tidak jelas di samping sulit menghindarinya, ludah meskipun ia berwarna biru, baik ia keluar dari kepala (seorang), ataupun dari dada, ataupun dari usus karena terdapat sebuah hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah secara marfu', "Apabila seorang di antara kamu mengeluarkan ludahnya maka ludahkanlah di sebelah kirinya ataupun di bawah kakinya. Jika dia tidak dapat melakukannya, maka meludahlah seperti ini, lalu beliau meludahkannya ke pakaiannya. Kemudian beliau menggosok-gosokkannya dengan pakaiannya."
Kalau ludah itu najis, tentulah Rasul tidak menyuruh menggosokkannya ke pakaian. Apalagi hal itu dilakukan Rasul ketika beliau hendak menunaikan shalat.
Demikian juga air kencing ikan boleh dimakan atau yang seumpamanya, semuanya dihukumi bersih.