Fikroh.com - Tulisan ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya tentang "Sebab-sebab Terjadinya Perselisihan atau Perbedaan pendapat dikalangan Ulama" bagi yang belum baca silahkan buka tautan ini Sebab-sebab Terjadinya Perselisihan atau Perbedaan Pendapat Dikalangan Ulama.
Seperti disinggung oleh penulis bahwa pembahasan soal khilafiyah sering kali dianggap perkara yang tidak penting. Dan bukan tanpa alasan. Faktanya tidak sedikit persoalan khilafiyah ini tidak di fahami berdasar ilmu yang haq, sehingga yang nampak dipermukaan selalu dari sisi negatifnya.
Oleh karena itu perlu format ulang untuk memahami hakikat khilafiyah dan dibutuhkan kedewasaan sikap dalam menghadapi khilafiyah. Dan teruntuk para Thulabul ilm, mengkaji soal khilafiyah menjadi sebuah tuntutan yang harus di kaji. Kelak ini akan menjadi bekal mana kala sudah terjun langsung ke medan dakwah.
Dan inilah lanjutan pembahasan tentang Sebab-sebab terjadinya khilafiyah dan cara menyikapinya bagian 2. Selamat membaca.
Sebab Kedua:
Bisa jadi hadits telah sampai kepada seorang ulama; akan tetapi dia tidak mempercayai perawinya, dan dia berpendapat bahwa (hadits) itu menyelisihi (dalil) yang lebih kuat; maka ulama tersebut memilih dalil yang menurutnya lebih kuat.
Kita ambil sebuah contoh yang terjadi pada zaman Shahabat:
Fathimah binti Qais radhiyallaahu ‘anhaa telah ditalak tiga oleh suaminya, maka suaminya mengutus wakilnya untuk memberi gandum kepadanya selama masa ‘iddah. Akan tetapi dia marah (karena merasa kurang) dan enggan menerimanya. Maka keduanya melaporkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada Fathimah bahwa dirinya tidak memiliki hak nafkah dan tempat tinggal; karena suaminya telah mentalak baa-in, sedangkan wanita yang telah ditalak baa-in; maka tidak ada kewajiban nafkah dan tempat tinggal atas suaminya; kecuali kalau dia hamil, berdasakan firman Allah Ta’aalaa:
“…Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil; maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungan- nya…” (QS. Ath-Thalaq: 6)
‘Umar radhiyallaahu ‘anhu -dan engkau telah mengetahui keutamaan dan keilmuannya-: telah samar atasnya Sunnah ini, sehingga beliau berpendapat bahwa wanita (yang ditalak tiga) mendapat hak nafkah dan tempat tinggal. Beliau menolak hadits Fathimah karena dimungkinkan Fathimah lupa. ‘Umar berkata: “Apakah kita meninggalkan firman Rabb kita (yakni: keumuman QS. Ath-Thalaq: 6; untuk wanita hamil dan yang lainnya-pent) kemudian mengambil perkataan wanita ini yang kita tidak bisa memastikan apakan dia ingat atau lupa?”
Maknanya bahwa Amirul Mukminin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu tidak merasa tenang dengan dalil (yang dibawa Fathimah) ini. Dan hal -ini sebagaimana terjadi pada ‘Umar-; terjadi juga pada orang-orang yang di bawahnya dari kalangan Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan terus sampai zaman kita sekarang ini, bahkan sampai Hari Kiamat, yaitu: seorang (ulama) tidak mempercayai sahnya sebuah dalil.
Betapa banyak dari pendapat-pendapat para Ulama yang di dalamnya terdapat hadits-hadits yang dianggap sah oleh sebagian ulama sehingga mereka mengambilnya, sedangkan para ulama yang lainnya berpendapat bahwa dalil tersebut lemah sehingga mereka tidak mengambilnya karena tidak mempercayai kebenaran penukilannya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sebab Ketiga:
Sebuah hadits sampai kepada ulama akan tetapi kemudian dia lupa. Dan Maha Agung (Allah) Yang tidak lupa. Betapa banyak (ulama) yang lupa terhadap sebuah hadits, bahkan terkadang lupa terhadap sebuah ayat.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah Shalat bersama para Shahabat pada suatu hari, kemudian beliau melewatkan satu ayat. Saat itu ‘Ubayy bin Ka’ab ikut Shalat bersama beliau. Maka tatkala beliau selesai dari Shalatnya; beliau bersabda kepada ‘Ubayy: “Kenapa engkau tidak mengingatkan- ku tentang ayat tersebut?” Padahal wahyu diturunkan kepada beliau, dan Allah telah berfirman kepada beliau:
“Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) sehingga engkau tidak akan lupa, kecuali jika Allah menghendaki. Sungguh, Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi” (QS. Al-A’la: 6-7)
Dan termasuk juga dalam hal ini -yaitu hadits telah sampai kepada seseorang akan tetapi kemudian dia lupa-: Kisah ‘Umar bin Al-Khaththab bersama ‘Ammar bin Yasir radhiyallaahu ‘anhumaa ketika Rasulullah mengutus keduanya untuk suatu keperluan, kemudian keduanya junub.
Adapun ‘Ammar; maka dia berijtihad dan ber- pendapat bahwa Thaharah dengan tanah adalah seperti Thaharah dengan air, sehingga dia bergulingan di tanah layaknya binatang; agar seluruh tubuhnya terkena tanah sebagaimana wajib untuk terkena air secara keseluruhan (ketika mandi wajib), kemudian dia Shalat. Adapun ‘Umar; maka dia tidak Shalat.
Kemudian keduanya mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menunjukkan kepada keduanya cara yang benar. Beliau bersabda kepada ‘Ammar: “Harusnya telah mencukupimu untuk melakukan demikian terhadap kedua tanganmu.” Maka beliau (bertayammum dengan) memukulkan kedua tangannya ke tanah dengan sekali pukulan, kemudian mengusapkan tangan kiri ke tangan kanan, dan bagian luar telapak kedua tangan, serta wajahnya.
Maka ‘Ammar membawakan hadits ini pada zaman kekhalifahan ‘Umar dan juga sebelum zaman itu. Akan tetapi ‘Umar memanggilnya pada suatu hari dan mengatakan: “Hadits apa yang engkau bawakan ini?” Maka ‘Ammar pun mengabarkannya dan berkata: “Tidakkah anda ingat ketika Rasulullah mengutus kita untuk suatu keperluan, kemudian kita junub. Adapun anda; maka tidak Shalat, adapun saya; maka bergulingan seperti binatang, lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Harusnya mencukupimu untuk melakukan seperti ini.”
Akan tetapi ‘Umar tidak mengingatnya dan dia berkata: “Bertakwalah engkau kepada Allah wahai ‘Ammar!” ‘Ammar berkata: “Karena Allah telah mewajibkan atasku untuk taat kepadamu; maka kalau engkau ingin agar aku tidak lagi membawakan hadits ini; niscaya tidak akan aku bawakan lagi.” Akan tetapi ‘Umar berkata: “Kami mempersilahkan apa yang engkau inginkan.” Yakni: silahkan engkau sampaikan hadits itu kepada manusia.
Maka di sini ‘Umar lupa bahwa Nabi shallallaahu‘alaihi wa sallam telah menjadikan Tayammum (sebagai Thaharah) ketika keadaan junub (hadats akbar) sama seperti keadaan hadats ashghar.
Dan ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu telah mengikuti ‘Umar dalam hal ini, dan pernah terjadi diskusi antara dia dengan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhumaa dalam masalah ini. Maka Abu Musa membawakan perkataan ‘Ammar yang disampaikan kepada ‘Umar, maka Ibnu Mas’ud mengatakan: “Tidakkah engkau perhatikan bahwa ‘Umar tidak merasa puas dengan perkataan ‘Ammar?” Maka Abu Musa berkata: “Mari kita tinggalkan perkataan ‘Ammar, maka apa pendapat anda tentang ayat ini?” Yakni: ayat (6) Surat Al-Maa-idah (yang Tayammum sebagai ganti Thaharah air: disebutkan setelah hadats akbar (Junub) dan hadats ashghar-pent).
Maka Ibnu Mas’ud tidak mengatakan apa pun.
Akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa kebenaran ada bersama kelompok yang mengatakan bahwa orang yang junub (hadats akbar) bertayammum (ketika ada udzur) sebagaimana orang yang berhadats ashghar juga bertayammum.
Initnya bahwa seorang (ulama) terkadang lupa dan tersamar atasnya sebuah hukum syar’i, sehingga dia mengeluarkan sebuah pendapat yang dia diberi udzur (atas kesalahannya). Akan tetapi bagi orang yang mengetahui dalil; maka tidak ada udzur baginya. Maka keduanya (yang lupa/tidak tahu dan yang ingat/tahu) adalah dua sebab (yang berbeda-pent)
Sebab Keempat:
Telah sampai dalil kepada seorang ulama; akan tetapi dia memahaminya tidak dengan semestinya. Kami beri dua contoh: pertama dari Al-Qur’an dan kedua dari As-Sunnah.
1. Dari Al-Qur’an: firman Allah Ta’aalaa:
“Adapun jika kamu sakit, atau sedang dalam perjalanan, atau sehabis buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan -sedangkan kamu tidak mendapatkan air-; maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)…” (QS. Al-Maa-idah:6)
Para ulama rahimahumullaah berselisih tentang makna:
“…atau kamu telah menyentuh perempuan…” (QS. Al-Maa-idah: 6)
(1) Sebagian ulama memahami bahwa yang dimaksud adalah: semata-mata menyentuh, dan (2) ulama yang lainnya memahami bahwa yang dimaksud adalah: sentuhan yang disertai syahwat, dan (3) ulama yang lainnya lagi memahami bahwa yang dimaksud adalah: berhubungan (suami istri); dan pendapat (terakhir) ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhumaa.
Jika anda memperhatikan ayat tersebut; maka akan anda dapatkan bahwa: kebenaran ada bersama orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah berhubungan, karena Allah Tabaaraka Wa Ta’aalaa menyebutkan dua macam Thaharah dengan air; yaitu: Thaharah dari hadats ashghar dan akbar.
Maka tentang hadats ashghar adalah firman Allah:
“…maka basuhlah (cucilah) wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah (usaplah) kepalamu, dan (cucilah) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki…” (QS. Al-Maa-idah: 6)
Adapun tentang hadats akbar adalah firman Allah:
“…Jika kamu junub; maka mandilah…” (QS. Al- Maa-idah: 6)
Dan tuntutan dari balaaghah dan bayaan adalah: disebutkan juga yang mewajibkan dua Thaharah (ashghar & akbar) dalam Thaharah Tayammum.
Maka firman Allah Ta’aalaa:
“…atau sehabis buang air…” (QS. Al-Maa-idah: 6)
Merupakan isyarat kepada hal yang mewajibkan Thaharah dari hadats ashghar.
Dan firman Allah Ta’aalaa:
“…atau kamu telah menyentuh perempuan…” (QS. Al-Maa-idah: 6
Merupakan isyarat kepada hal yang mewajibkan Thaharah dari hadats akbar.
Kalau kita artikan “menyentuh” di sini dengan “semata-mata menyentuh”; maka ayat ini menyebut- kan dua hal yang mewajibkan Thaharah dari hadats ashghar, dan tidak ada penyebutan sama sekali terhadap hal yang mewajibkan Thaharah dari hadats akbar. Dan ini bertentangan dengan tuntutan dari balaaghah Al-Qur’an.
Maka para ulama yang memahami bahwa yang dimaksud adalah semata-mata menyentuh; mereka mengatakan: “Jika seorang laki-laki menyentuh kulit seorang perempuan; maka batal wudhu’-nya.” Atau (pendapat ulama lain): “Jika menyentuhnya dengan syahwat; maka batal, dan jika tidak dengan syahwat; maka tidak batal.”
Dan pendapat yang benar adalah: tidak batal dalam dua keadaan tersebut. Dan telah diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencium salah satu istrinya, kemudian pergi menunaikan Shalat tanpa berwudhu’ lagi. (Hadits tersebut) telah datang dari beberapa jalan yang saling menguatkan.
2. Contoh dari As-Sunnah:
Tatkala Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab dan beliau telah meletakkan peralatan perangnya; maka Jibril mendatanginya dan berkata: “Kami belum meletakkan senjata kami, maka pergilah menuju Bani Quraizhah!” Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para Shahabatnya untuk keluar, dan beliau bersabda:
“Janganlah salah seorang dari kalian Shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah!”
Maka para Shahabat berselisih dalam memahaminya:
Di antara mereka ada yang memahami bahwa yang dimaksud oleh Rasul adalah: bersegera untuk keluar, agar tidak datang waktu ‘Ashar kecuai mereka sudah di Bani Quraizhah, sehingga ketika datang waktu ‘Ashar sedangkan mereka masih di tengah jalan; maka mereka Shalat dan tidak mengakhirkannya sampai keluar dari waktunya.
Dan di antara mereka ada yang memahami bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah adalah: janganlah kalian Shalat kecuali jika sudah sampai di Bani Quraizhah, maka mereka mengakhirkannya sampai di Bani Quraizhah, sehingga mereka mengakhirkannya sampai keluar dari waktunya.
Dan tidak diragukan lagi bahwa: kebenaran ada bersama orang-orang yang mengerjakan Shalat pada waktunya; karena dalil-dalil tentang wajibnya Shalat pada waktunya adalah dalil-dalil yang Muhkam (jelas maknanya), sedangkan hadits ini masih Mutasyabih (samar maknanya). Dan jalan ilmu adalah dengan membawa yang Mutasyabih kepada yang Muhkam.
Jadi, di antara sebab-sebab perselisihan adalah: Memahami dalil tidak sesuai dengan maksud Allah dan Rasul-Nya, dan ini adalah sebab keempat.