Fikroh.com - Air Musyamas adalah air yang dipanaskan dibawah sinar terik matahari, sehingga air tersebut berubah menjadi panas. Telah ternashkan dari Imam asy-Syafi’I bahwa beliau memakruhkan air musyamas. Beliau berkata:
ﻭَﻟَﺎ ﺃَﻛْﺮَﻩُ ﺍﻟْﻤَﺎﺀَ ﺍﻟْﻤُﺸَﻤَّﺲَ ﺇﻟَّﺎ ﻣِﻦْ ﺟِﻬَﺔِ ﺍﻟﻄِّﺐِّ
“aku tidak memakruhkan air musyamas, melainkan dari sisi kesehatan.” (al-Umm vol. 1 / hal. 16).
Dalil dalam masalah ini adalah 2 jenis hadits, yang pertama secara marfu’ dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dan hadits Mauquf Umar bin Khothob radhiyallahu ‘anhu. Hadisnya Umar dibawakan oleh Imam Syafi’I setelah menyebutkan kalam diatas, dengan sanadnya sampai kepada Jaabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
ﺃَﻥَّ ﻋُﻤَﺮَ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻜْﺮَﻩُ ﺍﻟِﺎﻏْﺘِﺴَﺎﻝَ ﺑِﺎﻟْﻤَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤُﺸَﻤَّﺲِ ﻭَﻗَﺎﻝَ : ﺇﻧَّﻪُ ﻳُﻮﺭِﺙُ ﺍﻟْﺒَﺮَﺹَ
“bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu tidak suka mandi dengan air musyamas, katanya: “itu dapat menyebabkan penyakit kusta”.
Adapun hadits Aisyah, Imam Baihaqi telah meriwayatkan dalam sunannya dengan sanadnya sampai kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﺃَﺳْﺨَﻨْﺖُ ﻣَﺎﺀً ﻓِﻲ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲِ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ : ” ﻟَﺎ ﺗَﻔْﻌَﻠِﻲ ﻳَﺎ ﺣُﻤَﻴْﺮَﺍﺀُ، ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻳُﻮﺭِﺙُ ﺍﻟْﺒَﺮَﺹَ “.
“aku memanaskan air dibawah terik matahari, lalu Nabi sholallahu ‘alaihi wa Salam berkata kepadaku: “jangan lakukan itu wahai Humairoo’, sesungguhnya itu akan menyebabkan kusta”.
Imam Baihaqi setelah menyebutkan hadits ini berkata, hadits ini tidak shahih.
Imam Nawawi dalam “al-majmu’ syarah al-Muhdzab” telah memberikan penilaian untuk kedua hadits diatas dengan penilaian kedua hadits tersebut Dhoif dan menyandarkannya sebagai kesepakatan ahli hadits (vol. 1 / hal. 87, cet. Daarul Fikr).
Imam Syafi’I kelihatannya sudah paham dengan status hadits diatas, oleh karenanya alasan pe-makruh-an air musyamas, menurut beliau adalah dari sisi kesehatan.
Pendapat makruhnya air musyamas itu adalah mu’tamad menurut sebagian ulama syafi’iyyah seperti : Imam al-Mawardi di dalam kitabnya “al-Hawi” (1/42), Imam Abu Suja’ dalam “al-Ghoyah wa at-Taqriib (hal. 3), Imam Nawawi dalam “Minhajut Tholibin” (hal. 9), Imam ar-Rofi’I sebagaimana dinukil dalam “Kifayatul Akhyar” (hal. 12), al-‘Alamah Zakariya al-Anshori dalam “Asaanil Matholib” (1/8), al-‘Alamah asy-Syarbiiniy dalam “Mughnil Muhtaj” (1/119), dan lain-lain.
DR. Muhammad az-Zuhailiy dalam kitabnya “al-Mu’tamad fii Fiqih asy-Syafi’I” (1/38) pun menyebutkan masalah makruhnya air musyamas. Ini menunjukkan bahwa pendapat makruhnya air musyamas adalah menjadi pegangan dalam madzhab Syafi’i. namun Imam Nawawi sebagai muhaqiqinnya Syafi’iyyah berpendapat lain dengan mengatakan bahwa air musyamas tidak makruh, beliau berkata:
ﻓَﺤَﺼَﻞَ ﻣِﻦْ ﻫَﺬَﺍ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻤُﺸَﻤَّﺲَ ﻟَﺎ ﺃَﺻْﻞَ ﻟِﻜَﺮَﺍﻫَﺘِﻪِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﺜْﺒُﺖْ ﻋﻦ ﺍﻻﻃﺒﺎﺀ ﻓﻴﻪ ﺷﺊ ﻓَﺎﻟﺼَّﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﺰْﻡُ ﺑِﺄَﻧَّﻪُ ﻟَﺎ ﻛَﺮَﺍﻫَﺔَ ﻓِﻴﻪِ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺣَﻜَﺎﻩُ ﺍﻟْﻤُﺼَﻨِّﻒُ ﻭَﺿَﻌَّﻔَﻪُ ﻭَﻛَﺬَﺍ ﺿَﻌَّﻔَﻪُ ﻏَﻴْﺮُﻩُ ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﺑِﻀَﻌِﻴﻒٍ ﺑَﻞْ ﻫُﻮَ ﺍﻟﺼَّﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﻤُﻮَﺍﻓِﻖُ ﻟِﻠﺪَّﻟِﻴﻞِ
“kesimpulannya, air musyamas tidak ada dasar pe-makruh-annya, dan tidak mantap dari para dokter terkait adanya penyakit yang ditimbulkan olehnya. Maka yang benar adalah kepastian tidak makruhnya air musyamas. Ini adalah wajh (salah satu) pendapat yang diriwayatkan oleh Mushonif (Imam asy-Syairaziy), namun beliau dan ulama lain melemahkan wajh qoul ini. Akan tetapi qoul tersebut tidak lemah, bahkan itulah yang benar karena bersesuaian dengan dalil (umum)” (1/87).
Dalam kitab “al-Muhadzab” tulisan Imam asy-Syairozi yang dijadikan sebagai bahan syarah oleh Imam Nawawi, memang Imam asy-Syairozi berkata:
ﻭَﻟَﺎ ﻳُﻜْﺮَﻩُ ﻣِﻦْ ﺫَﻟِﻚَ ﺇﻟَّﺎ ﻣَﺎ ﻗُﺼِﺪَ ﺇﻟَﻰ ﺗَﺸْﻤِﻴﺴِﻪِ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻳُﻜْﺮَﻩُ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮﺀُ ﺑِﻪِ ﻭَﻣِﻦْ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻨَﺎ ﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﺎ ﻳُﻜْﺮَﻩُ ﻛَﻤَﺎ ﻟَﺎ ﻳُﻜْﺮَﻩُ ﺑِﻤَﺎﺀٍ ﺗَﺸَﻤَّﺲَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒِﺮَﻙِ ﻭَﺍﻟْﺄَﻧْﻬَﺎﺭِ ﻭَﺍﻟْﻤَﺬْﻫَﺐُ ﺍﻟْﺄَﻭَّﻝُ
“tidak dimakruhkan air musyamas, kecuali jika sengaja untuk dipanasi dibawah sinar terik matahari, maka ia makruh untuk berwudhu. Diantara madzhab kami ada yang mengatakan tidak makruh, sebagaimana tidak makruhnya air yang kena panas matahari di kolam dan sungai. Dan madzhab (yang mu’tamad) adalah pendapat pertama”.
Dari perkataan Imam asy-Syairozi tersirat bahwa air musyamas ada 2 kondisi, yakni sengaja dipanaskan dan tidak sengaja, kalau tidak sengaja maka tidak makruh, adapun yang disengaja maka itulah yang makruh.
Imam Abul Khoir dalam kitabnya “al-Bayaan fii Madzhabi Imam Syafi’I” (1/13-14) merinci ada 5 pendapat jika air sengaja dipanaskan dibawah terik matahari:
1. Makruh ini nash (Imam asy-Syafi’i);
2. Tidak makruh alasannya sebagaimana tidak makruhnya air yang kena panas matahari di kolam dan sungai, ini juga pendapatnya Imam Abu Hanifah;
3. Jika air yang dipanaskan terdapat dalam bejana kuningan, maka makruh karena katanya dapat menyebabkan kusta, jika selain bejana kuningan tidak makruh;
4. Makruh jika digunakan di badan, namun tidak makruh untuk mencuci pakaianya, ini pendapatnya Imam asy-Syaasyi;
5. Jika ada 2 orang dokter yang adil mengatakan air tersebut bisa menyebabkan kusta, maka makruh, namun jika tidak maka tidak makruh.
Akan tetapi Imam Abul Khoir mengisyaratkan beliau berpegang dengan pendapat yang mu’tamad.
Sedangkan Asy-Syaikh DR. Muhammad az-Zuhaily agaknya condong kepada pendapatnya Imam Nawawi, begitu juga penyusun artikel ini condong kepada pendapat tidak makruhnya secara mutlak, karena 2 alasan yang disebutkan oleh Imam Nawawi, yaitu:
Pertama, Hadits yang dijadikan dalil tidak shahih.
Kedua, Tidak adanya kepastian dari hasil penelitian dokter (ahli kesehatan) yang menyatakan bahwa air musyamas menyebabkan kusta. Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya “al-Mughni” (1/15) berkata :
ﻭَﺣُﻜِﻲَ ﻋَﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﻄِّﺐِّ ﺃَﻧَّﻬُﻢْ ﻟَﺎ ﻳَﻌْﺮِﻓُﻮﻥَ ﻟِﺬَﻟِﻚَ ﺗَﺄْﺛِﻴﺮًﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻀَّﺮَﺭِ .
“diriwayatkan dari para ahli kesehatan, mereka tidak mengetahui bahwa hal tersebut menyebabkan bahaya/penyakit”. Wallahu a'lam bish shawab.
Oleh: Abu Sa'id Neno Triyono