Notification

×

Iklan

Iklan

Syuriyah PBNU Minta KH Cholil Staquf Mundur Dalam Tempo Tiga Hari

Jumat | November 21, 2025 WIB | 0 Views
Syuriyah PBNU Minta KH Cholil Staquf Mundur Dalam Tempo Tiga Hari

Fikroh.com - Gelombang besar sedang menghantam tubuh PBNU. Para kiai sepuh yang duduk di Syuriyah PBNU meminta KH Yahya Cholil Staquf turun dari kursi Ketua Tanfidziyah. Dan kalau sudah para kiai yang bicara, biasanya urusannya tak lagi sekadar administratif—itu sudah masuk wilayah “jangan coba-coba membantah kalau tak mau kualat.” Seruput Koptagul dulu, wak, sebelum lanjut membaca.

Dalam kitab-kitab fikih, para ulama biasa memperdebatkan apakah air dua kulah itu tetap suci atau berubah hukum ketika seekor cicak bernyali teaterik pura-pura tenggelam. Namun pada Kamis, 29 Jumadal Ula 1447 H / 20 November 2025, di sebuah aula hotel Jakarta, para kiai Syuriyah PBNU justru membahas perkara yang lebih panas dari perdebatan air musta’mal: apakah Ketua Umum PBNU masih memenuhi syarat menjaga kemaslahatan jamaah, atau justru sudah masuk kategori “wajib ditertibkan demi hifzhul jamaah.”

Dari 53 pengurus, 37 hadir—cukup untuk membentuk satu shaf shalat yang lurus, meski mungkin beberapa shaf hati sedang goyah karena kabar kedatangan narasumber yang dituding membawa aroma jaringan Zionis Internasional. Tindakan itu dinilai bukan sekadar melanggar nilai Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah, tapi juga bertentangan dengan Muqaddimah Qanun Asasi. Dalam istilah fikih, ini bukan makruh biasa; sudah naik tingkat menjadi makruh tahrimi, level yang membuat guru-guru pesantren spontan menaikkan alis.

Terlebih, kejadian itu berlangsung di tengah situasi genosida yang dikecam dunia internasional. Ibarat orang lagi darurat debu dan harus tayammum, tiba-tiba ada yang malah mandi besar di atas bukit pasir sambil melambaikan tangan ke drone. Tidak etis, tidak kontekstual, dan jelas tidak sejalan dengan maqashid organisasi: menenangkan umat, bukan menambah panas kepala.

Situasi makin pedas ketika rapat memasuki pembahasan tata kelola keuangan. Para ulama Syuriyah yang biasanya mengurai akad mudharabah, berubah menjadi auditor fikih yang menemukan indikasi pelanggaran hukum syara’, aturan negara, hingga pasal 97–99 ART. Kalau ini bab muamalah, akadnya sudah fasad, berkahnya luntur, dan risikonya mengancam eksistensi badan hukum. Dalam analogi ibadah: seperti imam shalat yang kiblatnya melenceng 15 derajat tapi tetap ngotot bilang, “Yang penting niatnya lurus.”

Melihat berbagai ‘illat tersebut, Syuriyah tak langsung mengetuk palu. Mereka mengikuti tertib adab fikih: jika kemaslahatan umum terancam, keputusan dikembalikan kepada ulil amri minkum. Maka Rais Aam bersama dua Wakil Rais Aam bermusyawarah. Hasilnya? Sebuah keputusan yang membuat banyak kiai menarik napas panjang seperti baru menuntaskan bab waris dengan delapan paman dan lima sepupu.

Keputusannya tegas sekaligus sederhana:
KH Yahya Cholil Staquf diminta mengundurkan diri dalam tempo tiga hari.
Tiga hari, wak—bukan tiga minggu, tiga bulan, apalagi setara tiga kali masa iddah.

Dan bila dalam tiga hari tidak ada pengunduran diri, maka keputusan otomatis berlaku: pemberhentian dari jabatan Ketua Umum PBNU. Bukan karena marah, tapi karena ‘illah sudah terpenuhi. Kaidah fikih jelas: taghayyurul ahkam bi taghayyur al-azminah wal amkinah—keadaan berubah, hukum pun ikut berubah.

Membaca risalah ini sambil menyeruput Koptagul akan membuat siapa pun geleng-geleng. Rasanya seperti membuka kitab kuning bab jinayat edisi ormas besar: satire alami, argumentatif, tetap sopan, dan berakar pada nalar fikih. Sebab dalam ormas sebesar PBNU, ketika marwah jamaah terus terusik, ulama bergerak. Ketika ‘illat terpenuhi, keputusan muncul. Ketika situasi mencapai level darurat, tempo tiga hari bukan ancaman, melainkan adab menjaga umat agar tidak makin bingung.

Begitulah sikap Syuriyah: tegas, berlandaskan fikih, tetap dengan aroma pesantren—halus di lidah, pedas di dada, dan bikin pembaca tersenyum miris sambil menatap cangkir kopi yang tiba-tiba terasa lebih panas dari biasanya.
×
Berita Terbaru Update