Ketika Tentara Paus yang Buas Memakan Daging Kaum Muslimin

Ketika Tentara Paus yang Buas Memakan Daging Kaum Muslimin

Fikroh.com - Sebuah manuskrip dari biarawan Robert, sekitar tahun 1107, menjadi saksi atas kebiadaban tentara salib. Robert adalah salah satu pengiring Perang Salib Pertama. Dalam catatannya, ia berusaha membenarkan perbuatan menjijikkan pasukan salib yang di Ma’arrat an-Nu’man tega memakan daging manusia. Ia menulis: “Para tentara [salib] putus asa karena kelaparan, sehingga akhirnya mereka memotong tubuh kaum Muslim, memasaknya, lalu memakannya.”

Kata-kata itu dengan telanjang memperlihatkan wajah asli perang salib: bukan sekadar perebutan tanah suci, melainkan letupan kebiadaban yang diselimuti dalih agama dan politik.

Eropa dalam Kegelapan

Abad Pertengahan adalah masa di mana Eropa jatuh ke titik paling kelam. Setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi, masyarakatnya terjerumus dalam jurang kebodohan. Ilmu pengetahuan mati, rasionalitas terkubur, dan yang tersisa hanyalah takhayul serta ilusi keagamaan.

Gereja memegang kendali penuh, menjadikan kebodohan sebagai “kesucian” dan ilmu sebagai “musuh”. Rakyat hidup dalam kemiskinan, penyakit, dan kelaparan, dibelenggu oleh rohaniwan yang lebih suka menindas daripada membimbing. Eropa adalah benua terpuruk, negeri lapar yang kehilangan arah.

Api Perang Salib

Dalam situasi itulah Paus Urbanus II menyalakan api Perang Salib. Ia mengobarkan kebencian, memanipulasi kerinduan palsu massa akan “keselamatan”, lalu mengirim mereka ke negeri-negeri Muslim dengan bendera suci palsu. Tentara yang ia kumpulkan kebanyakan hanyalah petani miskin, kotor, compang-camping, berasal dari bangsa Franka dan Jermanik yang primitif.

Mereka tidak berangkat sebagai “pasukan Tuhan”, melainkan sebagai gerombolan buas yang kelaparan dan liar. Hati mereka kosong dari kasih sayang, tetapi penuh kebencian dan dendam. Maka tidak heran, mereka berubah menjadi mesin pembantaian, bukan pejuang iman.

Kanibalisme di Ma’arrat an-Nu’man

Sejarah mencatat salah satu episode paling gelap umat manusia. Setelah mengepung Ma’arrat an-Nu’man selama dua puluh hari, tentara salib membantai penduduk kota tanpa sisa. Tidak cukup hanya membunuh, mereka kemudian memakan jasad-jasad korban.

Seorang saksi, Rudolf de Caen, menuliskan: “Di Ma’arrat an-Nu’man, para tentara kita merebus kaum pagan dalam kuali, dan menjadikan daging anak-anak sebagai sate untuk dilahap.”

Ini bukan sekadar lapar, melainkan pesta kebiadaban. Tubuh manusia dijadikan santapan, darah tumpah menjadi minuman dendam. Sejarah ini bukan dongeng, tetapi fakta yang dicatat pena para pendukung mereka sendiri.

Kekristenan yang Hilang Arah

Kekristenan pada masa itu telah kehilangan akal sehat. Gereja bukan lagi rumah ibadah, melainkan pusat pengendali kegelapan. Mandi dianggap kejahatan, pengobatan dicap dosa, dan kebersihan dipandang sebagai kesesatan. Maka tidak mengherankan jika wabah, kelaparan, dan kemiskinan merajalela di seluruh Eropa.

Ketika peradaban Islam sedang berkembang dengan ilmu, pemikiran, filsafat, dan seni—Eropa justru terjerat dalam lumpur kebodohan dan kebiadaban. Perbedaan ini sangat jelas: Timur memberi cahaya, sementara Barat menenggelamkan diri dalam kegelapan.

Paus Urbanus II: Pengobar Kehancuran

Urbanus II bukanlah pemimpin rohani, melainkan pengobar kebinasaan. Ia menjadikan gereja sebagai alat politik untuk memuaskan ambisi kekuasaan. Dari dirinya, tradisi kekerasan itu diwariskan hingga kini: Vatikan masih menutup-nutupi sejarah hitam penuh kebencian, kekerasan, dan penindasan.

Gereja tetap menjadi simbol gelap: dari kolonialisme, rasisme, hingga pelecehan anak. Eropa yang selalu mengangkat slogan “peradaban” pada hakikatnya hanyalah benua yang berlumuran darah, dengan sejarah yang terus menghantui.

Penutup

Eropa, bersama lembaga Kristennya, tidak pantas mengaku beradab. Ia lahir dan tumbuh dalam kebodohan, dan sepanjang sejarahnya tidak pernah benar-benar keluar dari bayangan itu. Sementara dunia Islam menyalakan obor ilmu, Eropa justru meneguhkan dirinya sebagai tanah kegelapan.

Kini, gereja-gereja di Eropa banyak yang kosong, bahkan berubah fungsi menjadi bar, klub malam, atau tempat hiburan. Agama yang dulu dipaksakan dengan pedang kini ditinggalkan oleh umatnya sendiri. Tidak berlebihan jika Karl Marx, dengan melihat realitas zamannya, menegaskan: “Agama adalah candu.”

Posting Komentar untuk "Ketika Tentara Paus yang Buas Memakan Daging Kaum Muslimin"