Setelah terbangun, Imam Abu Hanifa segera menemui gurunya, Syaikh Hamad bin Salman, untuk menanyakan arti mimpi itu. Saat itu, Imam Abu Hanifa masih sangat muda, belum genap berusia dua belas tahun.
Setibanya di rumah gurunya, Imam Abu Hanifa mendapati gurunya sedang bersedih. Lupa akan mimpinya, Abu Hanifa bertanya, "Ada apa gerangan, wahai guruku? Kenapa engkau tampak sedih?"
Syaikh Hamad menjawab, "Wahai Abu Hanifa, khalifah telah memanggilku untuk berdebat dengan sekelompok orang yang mengingkari adanya Tuhan. Mereka mengatakan bahwa alam semesta ini terjadi dengan sendirinya tanpa adanya pencipta. Sungguh tugas yang berat, karena kita tidak mungkin memahami sepenuhnya keagungan Tuhan untuk kemudian diperdebatkan."
Abu Hanifa kemudian berkata kepada gurunya, "Wahai guruku, izinkan aku menggantikanmu untuk berdebat dengan mereka. Jika mereka menang, maka tidak apa-apa, karena saya masih muda. Tetapi jika saya yang menang, itu akan lebih baik." Gurunya pun mengizinkannya.
Abu Hanifa pergi ke istana khalifah. Di sana, ia melihat sekelompok orang sedang duduk bersama khalifah. Abu Hanifa mengucapkan salam, tetapi hanya khalifah dan beberapa orang yang membalasnya. Khalifah bertanya, "Di mana gurumu, Hamad bin Salman? Aku telah menyuruh orang menjemputnya." Abu Hanifa menjawab, "Guruku telah mengutusku untuk menggantikan beliau."
Abu Hanifa kemudian duduk bersama mereka dan meminta mereka untuk mengajukan pertanyaan. Seorang pemimpin kelompok itu bertanya, "Mengapa gurumu tidak datang? Bukankah beliau memiliki ilmu yang luas untuk berdebat dengan kami?" Abu Hanifa menjawab, "Guruku adalah pohon ilmu yang rindang, tetapi kalian belum layak untuk duduk di bawah naungannya."
Perdebatan pun dimulai. Kaum musyrik bertanya, "Apakah engkau pernah melihat Tuhanmu?" Abu Hanifa menjawab, "Maha Suci Tuhanku, Dia tidak dapat dilihat oleh mata, tetapi Dialah yang melihat segala sesuatu."
Kaum musyrik tidak puas dengan jawaban itu. Mereka meminta bukti dari alam. Abu Hanifa kemudian memberikan contoh, "Jika kalian melihat seseorang yang sedang sekarat, apa yang keluar dari tubuhnya ketika ia meninggal?" Mereka menjawab, "Rohnya keluar." Abu Hanifa melanjutkan, "Kalian melihat orang itu mati, tetapi tidak melihat rohnya. Begitu pula dengan Tuhan, Dia menciptakan roh tetapi tidak dapat dilihat."
Kaum musyrik terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit, tetapi Abu Hanifa selalu mampu menjawabnya dengan bijaksana. Hingga pada akhirnya, mereka bertanya, "Dalam agama kalian, dikatakan bahwa jin diciptakan dari api. Lalu bagaimana Tuhan akan menyiksa mereka di neraka? Bukankah itu sama saja menyiksa api dengan api?"
Abu Hanifa menjawab, "Pertanyaanmu membutuhkan penjelasan yang lebih konkret." Kemudian, Abu Hanifa mengambil segumpal tanah dan memukul kepala salah seorang dari kaum musyrik itu. Khalifah terkejut dan bertanya, "Apa yang kau lakukan, Abu Hanifa?" Abu Hanifa menjawab, "Ini hanya sebuah contoh. Tanah ini diciptakan dari tanah, namun aku memukulnya dengan tanah. Begitu pula Tuhan akan menyiksa api dengan api."
Kaum musyrik terdiam tak berkutik. Mereka akhirnya mengakui kehebatan ilmu Abu Hanifa dan meminta untuk menjadi murid gurunya.
Dengan demikian, Imam Abu Hanifa mengetahui makna mimpinya. Babi dalam mimpinya melambangkan pemimpin kaum musyrik, pohon besar adalah gurunya, dan dahan kecil adalah dirinya sendiri yang berhasil mengalahkan kaum musyrik.
Tags:
Biografi Muslim