تَهَادَوْا تَحَابَّوْا
“Salinglah kalian memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (Hr. Abu Ya’la dari Abu Hurairah, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 3004)
«يَا نِسَاءَ المُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا، وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ»
“Wahai wanita muslimah! Janganlah seorang tetangga menganggap remeh memberikan hadiah kepada tetangganya meskipun hanya memberi kaki kambing (yang sedikit dagingnya).” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Aisyah radhiyallahu anha berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa menerima hadiah dan membalasnya.” (Hr. Bukhari)
Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika kedatangan makanan, maka Beliau bertanya, “Hadiahkah atau sedekah (zakat)?” Jika dikatakan ‘sedekah’ (zakat) maka Beliau bersabda kepada para sahabatnya, “Makanlah kalian!” Dan Beliau tidak makan. Tetapi jika dikatakan ‘hadiah’ maka Beliau menjulurkan tangannya dan ikut makan bersama mereka. (Hr. Bukhari)
Jangan Tolak Hadiah
Nabi shallallahu alaihi wa sallam suka menerima hadiah meskipun kecil. Oleh karenanya Beliau tidak pernah menolak hadiah meskipun ringan seperti minyak wangi. Beliau shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,
«مَنْ عُرِضَ عَلَيْهِ رَيْحَانٌ فَلَا يَرُدُّهُ، فَإِنَّهُ خَفِيفُ الْمَحْمِلِ طَيِّبُ الرِّيحِ»
“Barang siapa yang ditawarkan wewangian, maka jangan ditolak, karena ia ringan dibawa dan beraroma wangi.” (Hr. Muslim)
Beliau juga bersabda,
ثَلَاثٌ لَا تُرَدُّ: الوَسَائِدُ، وَالدُّهْنُ، وَاللَّبَنُ
“Ada tiga hadiah yang tidak ditolak, yaitu: bantal, wewangian, dan susu.” (Hr. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani)
Demikian pula pemberian ringan lainnya, hendaknya diterima dengan senang hati.
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لَأَجَبْتُ، وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ
“Kalau aku diundang untuk makan paha depan (kambing) atau kaki kambing tentu aku akan datangi. Dan jika aku dihadiahkan paha depan atau kaki kambing, tentu aku terima.” (Hr. Bukhari)
Hadits ini menunjukkan, bahwa hadiah baik besar maupun kecil hendaknya diterima.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga memerintahkan untuk menerima hadiah dan tidak menolaknya, Beliau bersabda,
أَجِيْبُوا الدَّاعِيَ، وَلَا تَرُدُّوا الْهَدِيَّةَ، وَلاَ تَضْرِبُوا الْمُسْلِمِيْنَ
“Penuhilah undangan orang yang mengundang, jangan tolak hadiah, dan jangan pukul kaum muslimin.” (Hr. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad, Ahmad, Abu Ya’la, dan Ibnu Abi Syaibah, dishahihkan oleh Al Albani)
Dan jika kita harus menolak hadiah, maka hendaknya kita sampaikan alasannya agar tidak menyakiti hati pemberi hadiah. Dalam hadits Ash Sha’b bin Jutsamah radhiyallahu anhu disebutkan, bahwa ia pernah menghadiahkan keledai liar kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di Abwa atau Waddan, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menolaknya, dan saat Beliau melihat wajahnya (bersedih), maka Beliau bersabda, “Ketahuilah, bahwa kami tidaklah menolak hadiahmu melainkan karena kami sedang ihram.”
Hadiah ada yang maksudnya untuk melembutkan hati seseorang menerima dakwah Islam dan ada pula untuk menyingkirkan kebencian dan permusuhan yang ada dalam hati. Ada kisah, bahwa Abu Hanifah pernah dicaci-maki oleh seseorang, maka ia mengirimkan hadiah kepada orang itu, lalu orang yang membencinya itu berubah malah memuji Abu Hanifah.
Demikian pula para ulama sering memberi hadiah kepada para penuntut ilmu untuk mendorong mereka giat menuntut ilmu. Ada kisah Imam Syafi’i yang mendatangi Imam Malik dan menerima Al Muwaththa darinya, lalu Imam Malik memujinya karena pemahaman dan hafalannya, lalu Imam Malik memberinya hadiah yang banyak saat Imam Syafii hendak pergi. Ketika itu Imam Syafii berkata, “Imam Malik adalah guru dan ustadzku, darinya kami belajar ilmu, dan tidak ada seorang yang lebih besar jasanya kepadaku daripada Imam Malik.”
Ibnul Mubarak rahimahullah juga sering memberikan hadiah kepada kawan-kawannya, terkadang ia mengajak kawan-kawannya rihlah untuk haji dan ia yang menanggung nafkah perjalanannya, bahkan memberikan hadiah sesuai permintaan keluarga mereka, dan ketika sampai di suatu kota, maka ia belikan untuk mereka oleh-oleh kota tersebut.
Hadiah semakin besar nilai dan pahalanya jika ditujukan kepada pihak tertentu. Kepada orang tua jelas lebih besar pahalanya, karena di dalamnya terdapat birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua). Demikian pula kepada kerabat, karena di dalamnya terdapat menyambung tali silaturrahim, dan kepada istri agar semakin harmonis hubungan rumah tangga.
Suatu ketika Maimunah istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerdekakan budaknya, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَمَا إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ لِأَجْرِكِ
“Sesungguhnya jika engkau berikan budak itu kepada paman-pamanmu (dari pihak ibu) tentu lebih besar pahalanya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Hadiah yang diberikan kepada sesama muslim akan mempererat persaudaraan dan rasa saling mencintai.
Hadiah yang diberikan kepada orang yang memusuhi, dapat menyingkirkan rasa permusuhannya, dsb. Karena sebab-sebab inilah hadiah disyariatkan.
Hadiah kepada kerabat dan tetangga
Kerabat terdekat lebih didahulukan daripada kerabat yang jauh, dan tetangga yang lebih dekat pintunya lebih didahulukan daripada tetangga yang jauh.
Imam Bukhari meriwayatkan hadits Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Aku pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, aku punya dua tetangga, ke manakah di antara keduanya aku memberikan hadiah?” Beliau menjawab,
إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا
“Kepada yang lebih dekat pintunya denganmu.”
Menerima hadiah dari wanita jika aman dari fitnah
Imam Ahmad meriwayatkan dengan isnad hasan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Saudariku mengirimku menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk membawakan hadiah untuk Beliau, lalu Beliau menerimanya.”
Menerima hadiah dari Ahli Kitab dan kaum musyrik
Menerima hadiah dari Ahli Kitab dan kaum musyrik boleh jika di dalamnya tidak ada sikap sogok terhadap agama atau mengakui kebatilan mereka.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah diberi hadiah oleh raja Ailah berupa bigal (hewan yang lahir dari kuda dan keledai) berwarna putih dan kain burdah yang bergaris (sebagaimana dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Humaid As Sa’idiy)
Wanita Yahudi juga pernah menghadiahkan kambing beracun kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan Beliau makan daripadanya (sebagaimana dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari hadits Anas)
Ukaidar dari Dumah juga pernah memberikan hadiah berupa pakaian kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam (sebagaimana dalam Shahih Bukhari secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh Muslim dari hadits Anas radhiyallahu anhu).
Muqauqis juga pernah menghadiahkan Mariyah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Demikian pula boleh memberikan hadiah kepada kaum musyrik. Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil--Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Qs. Al Mumtahanah: 8-9)
Umar pernah menghadiahkan pakaian kepada saudaranya yang masih musyrik di Mekkah sebelum ia masuk Islam (Lihat Shahih Bukhari no. 2619)
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid, bahwa pernah disembelih seekor kambing di tengah keluarga Abdullah bin Amr, saat Abdullah datang ia bertanya, “Apakah kalian telah menghadiahkan kepada tetangga kita yang yahudi? Apakah kalian telah menghadiahkan kepada tetangga kita yang yahudi? Karena aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril senantiasa mewasiatkanku untuk berbuat baik kepada tetangga sehingga aku mengira bahwa ia akan mendapatkan warisan.”
Namun jika hadiah yang diberikan kepada orang kafir dapat membuatnya semakin kuat dan malah mengganggu kaum muslimin, maka tidak boleh diberikan.
Jangan menarik kembali hadiah yang telah diberikan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
العَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ
“Orang yang menarik kembali hadiahnya seperti anjing yang muntah, lalau menelan kembali muntahnya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Jangan mengungkit-ungkit pemberian
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak diperhatikan, tidak disucikan, dan bagi mereka azab yang pedih.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan kalimat ini tiga kali, maka Abu Dzar berkata, “Mereka rugi sekali wahai Rasulullah.”
Beliau menjawab,
«الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ»
“Yaitu orang yang melabuhkan kainnya (melewati mata kaki dengan sombong), orang yang mengungkit-ungkit pemberian, dan orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah dusta.” (Hr. Muslim)
Beberapa Keadaan Ketika Hadiah Hukumnya Menjadi Haram
Hadiah bisa berubah hukumnya, yakni menjadi haram ketika mengantarkan kepada yang haram, seperti dalam hal berikut:
1. Hadiah yang berupa risywah (sogokan) agar seseorang bungkam dari menyampaikan yang hak (benar) dan menyetujui kebatilan. Oleh karenanya, Nabi Sulaiman alaihis salam menolak hadiah yang diberikan Ratu Balqis karena dapat membuatnya diam dari menyampaikan kebenaran dan dari dakwah ilallah serta meninggalkan jihad fi sabilillah. Ia bahkan berkata,
أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٍ فَمَا آتَانِيَ اللَّهُ خَيْرٌ مِمَّا آتَاكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُونَ (36) ارْجِعْ إِلَيْهِمْ فَلَنَأْتِيَنَّهُمْ بِجُنُودٍ لَا قِبَلَ لَهُمْ بِهَا وَلَنُخْرِجَنَّهُمْ مِنْهَا أَذِلَّةً وَهُمْ صَاغِرُونَ
"Apakah (patut) kamu membantuku dengan harta? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.--Kembalilah kepada mereka sungguh kami akan mendatangi mereka dengan balatentara yang mereka tidak kuasa melawannya, dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan terhina dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina.” (Qs. An Naml: 36-37)
Termasuk juga penolakan yang dilakukan Raja Najasyi rahimahullah terhadap hadiah dari kaum kafir Quraisy ketika mereka mengirim dua orang duta mereka dengan membawa hadiah untuk para pendeta yang berada di samping beliau dan hadiah khusus untuk beliau agar Beliau mengembalikan kaum muslimin yang berhijrah ke negerinya kepada mereka.
2. Diharamkan pula hadiah jika ditujukan kepada para pegawai, yakni pegawai negara yang ditugaskan memberikan pelayanan kepada manusia dan telah menerima gaji dari negara. Mereka tidak berhak menerima hadiah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُوْلٌ
“Hadiah untuk para pegawai adalah ghulul (khianat).” (Hr. Ahmad dan Baihaqi dari Abu Humaid As Sa’idiy, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 7021 dan Irwa’ul Ghalil no. 2622)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang berkhianat, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.” (Qs. Ali Imran: 161)
Oleh karena itu, saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengirimkan seseorang untuk mengumpulkan zakat, dan sudah maklum bahwa petugas zakat mempunyai bagian dari zakat karena sebagai ‘amilin, lalu ada di antara masyarakat yang memberinya hadiah, dan ia pulang menghadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam seraya mengatakan, bahwa ‘barang ini untuk kalian, sedangkan yang ini hadiah untukku’, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam marah besar dan menaiki mimbar lalu berkhutbah dan bersabda,
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى العَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ، فَيَأْتِي فَيَقُولُ: هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي، أَفَلاَ جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ، وَاللَّهِ لاَ يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ، فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ
Amma ba’du: sesungguhnya aku mengangkat salah seorang di antara kalian untuk melakukan pekerjaan yang diberikan Allah kepadaku, namun setelah pulang ia berkata, “Ini harta kalian, sedangkan yang ini hadiah untukku.” Mengapa ia tidak duduk di rumah bapak atau ibunya hingga ada hadiah yang datang kepadanya. Demi Allah, tidaklah ada di antara kalian yang mengambil sesuatu dengan tanpa haknya melainkan ia akan menghadap Allah dengan membawa sesuatu itu pada hari Kiamat. Aku benar-benar mengetahui ada seseorang di antara kalian yang menghadap Allah dengan membawa unta yang bersuara, sapi yang bersuara, atau kambing yang bersuara.”
Kemudian Beliau mengangkat tangannya hingga terlihat putih ketiaknya dan bersabda, “Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan?” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Jika seorang pegawai hendak mengetahui pemberian yang diberikan kepadanya apakah sebagai hadiah atau sogokan, maka caranya mudah. Yaitu jika ia tidak berada pada jabatan itu atau di atas kursi itu, dan ternyata tidak ada yang memberinya hadiah, maka berarti pemberian pada saat dirinya menjabat atau di atas kursi itu merupakan sogok. Adapun jika hadiah itu dari saudaranya yang sebelumnya biasa memberi hadiah, baik sebelum ia menjabat amanah itu atau pun setelahnya, maka dalam hal ini tidak mengapa menerimanya.
3. Hadiah di pengadilan, yakni tidak boleh bagi hakim menerima hadiah dari seseorang kecuali dari orang yang sebelum ia menjabat sebagai hakim biasa memberi hadiah dengan syarat ketika ia memberi hadiah ia tidak punya permasalahan di sisi hakim.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika orang yang diberi hadiah bukan orang yang biasa diberi hadiah sebelum ia menjabat, maka haram baginya menerima hadiah. Jika pemberi hadiah tidak memiliki permasalan di sisi hakim, maka boleh menerimanya. Tetapi jika punya permasalahan di sisi hakim, maka tidak boleh bagi hakim menerima hadiah itu meskipun sebelumnya si pemberi hadiah biasa memberi hadiah sebelum si hakim menjabat sebagai hakim. keduanya adalah syarat.”
Suatu ketika datang seseorang kepada Umar bin Abdul Aziz dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau tidak menerima hadiah, padahal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerimanya?” Umar menjawab, “Dulu di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pemberian itu memang hadiah, namun sekarang adalah risywah (sogok). Dahulu mereka memberikan hadiah kepada Beliau karena kenabiannya, namun kami, apa alasan kalian memberi hadiah kepada kami?”
Dan pihak penguasa berhak meminta ditarik hadiah yang diberikan kepada para pegawainya dan mengembalikannya ke Baitul Mal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hadiah yang diterima oleh para pejabat dan lainnya dari harta kaum muslimin dengan tanpa hak, maka pihak yang berkuasa (pemerintah) yang adil berhak menariknya dari mereka seperti hadiah yang diambilnya karena sebab pekerjaannya.”
Hadiah (tips) yang diterima mereka itu atau yang kita berikan kepada pegawai negeri khususnya dalam bidang jasa atau pelayanan yang memang seharusnya mereka lakukan seperti ketika mengurus berbagai surat atau berkas dan sebagainya merupakan risywah (sogok) dan haram meskipun dianggap hal biasa.
4. Dalam hal syafaat, yakni menjadi perantara dalam kebaikan atau dalam urusan mubah dengan kedudukan yang dimilikinya juga tidak diperbolehkan mengambil hadiah terhadapnya, karena menjadi perantara terhadapnya adalah zakat terhadap kedudukan yang seharusnya diberikan secara gratis. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ شَفَعَ لِأَخِيهِ بِشَفَاعَةٍ، فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً عَلَيْهَا فَقَبِلَهَا، فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيمًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا»
“Barang siapa yang memberikan syafaat kepada saudaranya, lalu ia diberi hadiah terhadapnya, maka sesungguhnya ia telah mendatangi satu pintu besar di antara pintu-pintu riba.” (Hr. Ahmad dan Abu Dawud, dihasankan oleh Al Albani no. 3541)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadiah untuk orang yang memberikan syafaat (menjadi perantara) di hadapan pemerintah dan semisalnya adalah tidak boleh mengambil upah terhadapnya. Sebagian Ahli Fiqih berkata, “Tidak boleh mengambil upah karena menghindarkan kezaliman dari orang yang terzalimi, bahkan yang wajib adalah dipenuhi hajatnya secara gratis.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga pernah ditanya tentang mengambil upah atau hadiah karena memenuhi kebutuhan orang lain, maka ia menjawab, “Saya berfatwa ‘tidak boleh’.”
Demikianlah yang dinukil dari kaum salaf dan para imamnya.
Ibnu Mas’ud pernah ditanya tentang suht (harta haram), ia menjawab, “Sesungguhnya suht adalah ada seseorang meminta bantuan kepadamu karena kezaliman yang menimpanya, lalu ia memberikan hadiah kepadamu, maka jangan diterima.”
Suatu ketika Masruq rahimahullah menjadi perantara di hadapan Ibnu Ziyad terkait kezaliman yang menimpa seseorang, maka hak orang itu pun dikembalikan, lalu orang itu memberikan hadiah kepada Masruq rahimahullah berupa budak sebagai pembantu, maka Masruq menolaknya dan tidak menerimanya seraya berkata, “Aku mendengar Ibnu Mas’ud berkata, “Barang siapa yang menghindarkan kezaliman dari seorang muslim, lalu ia diberi hadiah karena hal itu baik sedikit atau banyak, maka pemberian itu adalah suht (harta haram).”
Demikianlah perbuatan yang seharusnya dilakukan karena mencari keridhaan Allah tanpa ada maksud dibalas atau disyukuri oleh manusia, seperti menolong orang yang terzalimi, menjadi perantara dalam kebaikan, maka janganlah menerima hadiah terhadapnya. Tetapi jika kita lihat di zaman sekarang, manusia banyak yang mengatakan, “Saya siap menjadi perantara bagimu namun engkau harus berikan saya uang sekian,” padahal jika seseorang hanya menggunakan kedudukannya atau karena memiliki hubungan, maka zakatnya adalah dengan menggunakannya untuk membantu orang lain secara gratis. Kedudukan adalah karunia Allah yang seharusnya digunakannya untuk hal yang mubah atau untuk memberikan manfaat kepada orang lain secara cuma-cuma.
Padahal sesungguhnya manusia akan senantiasa menyebutkan kebaikan seorang pejabat jika ia mau membantu mereka secara cuma-cuma.
Suatu ketika Abdullah bin Rawahah diutus Nabi shallallahu alaihi wa sallam menemui orang-orang Yahudi di Khaibar untuk menghitung persentase yang harus mereka keluarkan dari buah dan tanaman mereka, kemudian ia hendak menyogok Ibnu Rawahah agar meringankan persentase itu, maka Ibnu Rawahah berkata, “Demi Allah, aku datang kepada kalian dari seorang yang paling kucintai dan kalian adalah orang yang paling aku benci daripada monyet dan babi. Akan tetapi kecintaanku kepada Beliau dan kebencianku kepadamu tidak bisa membuatku berlaku tidak adil, maka mereka berkata, “Dengan hal inilah langit dan bumi tegak.”
6. Hadiah juga menjadi haram jika diberikan kepada para pejabat, menteri, dan pihak berwenang seperti hakim, polisi, dan sebagainya agar mereka memberikan kepadamu yang bukan menjadi hakmu atau agar mereka melakukan kecurangan. Ketika ini haram hukumnya memberikan hadiah dan haram bagi mereka menerimanya. Ini disebut juga risywah atau sogok. Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu berkata,
«لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي»
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat penyuap dan penerima suap.” (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Kebanyakan Ahli Ilmu berkata, “Ar Rasyi adalah yang memberikan suap, murtasyi adalah yang mengambilnya (menerimanya), sedangkan Ar Raa’isy adalah perantara antara keduanya.”
Mereka juga berkata, “Risywah (sogok) adalah pemberian untuk menyalahkan kebenaran atau membenarkan kebatilan. Adapun pemberian dengan maksud agar seseorang memperoleh haknya atau untuk menghindarkan kezaliman dari dirinya, maka tidak mengapa.”
Faedah/Catatan:
Para ulama juga tidak menerima hadiah karena berfatwa.
Hadiah haram lainnya
Termasuk hadiah yang haram juga adalah hadiah dari si peminjam kepada pemberi pinjaman. Oleh karena itu, tidak boleh bagi peminjam menghadiahkan sesuatu kepada peminjam sebelum ia lunasi utangnya, karena setiap pinjaman yang menarik manfaat adalah riba, dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang menerima hadiah dari peminjam sebelum utang dilunasi, karena terkadang hal tersebut membuat penundaan tempo pembayaran sehingga hadiah itu seakan-akan sebagai bayaran (denda) karena penundaan.
Dan hendaknya seseorang menjaga diri dari mengambil hadiah ketika diminta menjaga amanah agar ia mendapatkan pahala dari sisi Allah Azza wa Jalla.
Demikian pula hendaknya diperhatikan, bahwa jangan sampai kita memberikan hadiah yang haram seperti cincin emas untuk laki-laki, jam emas, dan medali emas untuk laki-laki. Juga tidak boleh menghadiahkan baju sutera untuk laki-laki, hadiah untuk safar ke negeri kafir dan tempat maksiat, dsb. Demikian pula diharamkan hadiah yang berupa alat musik, khamar, patung, dan foto-foto yang diharamkan.
Termasuk hadiah yang diharamkan adalah hadiah yang diberikan pada hari raya orang-orang kafir, seperti saat mereka memperingatkan natal atau pada saat hari valentin.
Catatan:
Dalam memberi hadiah hendaknya diperhatikan, apakah dapat memperbaiki atau malah membuka kerusakan, atau hadiah itu murni membawa kebaikan. Jika malah membuka kerusakan seperti hadiah atau pemberian kepada seorang anak dengan meninggalkan anak-anaknya yang lain atau tidak adil maka tidak diperbolehkan.
عَنِ اَلنُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- أَنَّ أَبَاهُ أَتَى بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ r فَقَالَ : إِنِّي نَحَلْتُ اِبْنِي هَذَا غُلَامًا كَانَ لِي، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r " أَكُلُّ وَلَدِكَ نَحَلْتَهُ مِثْلَ هَذَا" ?. فَقَالَ : لَا . فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r " فَارْجِعْهُ" وَفِي لَفْظٍ : فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى اَلنَّبِيِّ r لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي. فَقَالَ : " أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ"?. قَالَ : لَا. قَالَ: " اِتَّقُوا اَللَّهَ , وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ " فَرَجَعَ أَبِي, فَرَدَّ تِلْكَ اَلصَّدَقَةَ مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ قَالَ : فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي" ثُمَّ قَالَ : " أَيَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا لَكَ فِي اَلْبِرِّ سَوَاءً"? قَالَ : بَلَى . قَالَ : " فَلَا إِذًا
Dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhu, bahwa bapaknya pernah membawanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata, “Sesungguhnya saya memberikan kepada anakku ini seorang budak milikku, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Apakah semua anakmu kamu berikan seperti ini?” Ia menjawab, “Tidak”, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda, “Kembalikan.” Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Bapakku pergi menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk memnta persaksian terhadap pemberiannya, maka Beliau bersabda, “Apakah kamu lakukan hal yang sama kepada anakmu yang lain?” Ia menjawab, “Tidak” maka Beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah kepada anakmu”, bapaknya pun menarik kembali pemberiannya.” (Muttafaq 'alaih, sedangkan dalam riwayat Muslim disebutkan “Mintalah jadi saksi kepada selainku,” lalu Beliau bersabda, “Sukakah kamu kalau anak-anakmu berbakti semua kepadamu?” Ia menjawab, “Ya” maka Beliau bersabda, “Kalau begitu jangan berikan.”)
Hukum menerima uang tips
Seorang pegawai/pekerja yang sudah mendapatkan gaji dari perusahaan tidak boleh meminta tips kepada konsumen atau pelanggan. Dan jika pelanggan menerima tips tanpa memintanya, maka dia harus menyampaikan kepada pihak atasan. Jika atasannya mengizinkan, maka boleh diambilnya dan halal. Dalam hadits disebutkan,
عَنْ عَدِيِّ بْنِ عَمِيرَةَ الْكِنْدِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ، فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا، فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» ، قَالَ: فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنَ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: «وَمَا لَكَ؟» قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ: كَذَا وَكَذَا، قَالَ: «وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ، فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ، فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ، وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى»
Dari Addi bin Amirah Al Kindiy ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang kami angkat sebagai pegawai terhadap suatu pekerjaan, lalu ia menyembunyikan kepada kami barang sebuah jarum atau di atasnya, maka merupakan bentuk pengkhianatan yang akan ia bawa pada hari Kiamat, lalu ada seorang Anshar berkulit hitam yang sepertinya aku melihatnya berkata, “Wahai Rasulullah, ambillah lagi tugas yang engkau berikan kepadaku.” Beliau pun bertanya, “Ada apa denganmu?” Ia menjawab, “Tadi aku mendengar engkau bersabda begini dan begitu.” Beliau bersabda, “Aku memang bersabda demikian. Sekarang siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai terhadap suatu tugas, maka bawalah semua hasilnya sedikit atau banyak. Jika ia diberi daripadanya, maka silahkan ambil, dan jika dilarang, maka jangan ambi.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud)
Ibnu Baththal berkata, “Hadiah pegawai harus diserahkan kepada Baitul Mal, dan pegawai tidak berhak sedikit pun daripadanya kecuali jika mereka meminta izin kepada imam sebagaimana dalam kisah Mu’adz, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengaggap baik hadiahnya.”
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa Maraji: https://almunajjid.com/speeches/lessons/574 , https://ar.islamway.net/article/70783/%D8%A7%D9%84%D9%87%D8%AF%D9%8A%D8%A9-%D9%88%D8%A3%D8%AD%D9%83%D8%A7%D9%85%D9%87%D8%A7 , Fiqhul Mu’amalat bainal Mu’minin wal Mu’minat (Syaikh Mushthafa Al Adawi), Maktabah Syamilah, dll.
Tags:
Fiqh