Mengenal Kelompok-Kelompok Sesat Dan Ciri-cirinya

Mengenal Kelompok-Kelompok Sesat Dan Ciri-cirinya

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut pembahasan singkat kelompok-kelompok sesat yang banyak merujuk kepada risalah Syaikh Zaid bin Muhammad Al Madkhali dan kami berikan tambahan, semoga Allah menghindarkan kita dari kelompok-kelompok tersebut, aamin.
 
{tocify} $title={Table of Contents}

Kelompok atau Ajaran Sesat


1. Watsaniyyah (Paganisme)


Kelompok ini adalah kelompok kaum musyrik yang mengarahkan ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perbuatan yang dilakukan mereka adalah syirik yang merupakan dosa yang paling besar dan tidak diampuni Allah Azza wa Jalla.

2. Nasrani (Kristen)


Kelompok ini meyakini trinitas (tiga tuhan serangkai; ada tuhan bapak, ibu, dan anak). Kelompok dan ajaran ini telah dinyatakan kafir oleh Allah Azza wa jalla dalam firman-Nya,

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang mengatakan, "Bahwa Allah salah seorang dari yang tiga," padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (Qs. Al Maidah: 73)

3. Hululiyyah


Kelompok ini menyatakan bahwa ‘Allah berada di segenap tempat’, Mahatinggi Allah dari pernyataan mereka ini.

4. Ittihadiyyah


Kelompok ini menyatakan kesatuan wujud, yakni tidak ada perbedaan antara Khaliq (pencipta) dengan makhluk. Bahkan tokoh mereka –semoga Allah melaknatnya –menyatakan: anjing dan babi adalah tuhan kita, dan tuhan itu juga rahib yang ada di gereja.

5. Jahmiyyah


Kelompok ini mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala.

Mereka sama saja menolak nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah yang menyebutkan nama-nama dan sifat-sifat Allah.

6. Musyabbihah


Kelompok ini menyerupakan mahkluk dengan Khaliq seperti kaum Nasrani. Mereka menetapkan untuk Allah Al Khaliq dengan sifat-sifat makhluk yang lemah.

Allah Ta’ala berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (Qs. Asy Syuuraa: 11)

Dalam ayat ini terdapat bantahan kepada kaum musyabbihah, sekaligus terdapat bantahan kepada kaum Jahmiyyah dan Mu’aththilah (yang meniadakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala).

7. Qadariyyah


Kelompok ini menolak qadar atau taqdir Allah Azza wa Jalla. Mereka juga mengatakan bahwa ‘Allah tidak menciptakan kebaikan dan keburukan’ atau mengatakan bahwa ‘Allah menciptakan kebaikan dan tidak menciptakan keburukan’. Padahal beriman kepada qadar termasuk rukun iman yang enam.

8. Jabriyyah

Kelompok ini mengatakan bahwa hamba dipaksa dalam perbuatannya, seperti halnya pohon yang bergerak karena hembusan angin.

9. Murji’ah

Kelompok ini banyak cabangnya.

Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa ‘maksiat tidaklah membahayakan keimanan sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat jika di atas kekafiran’.

Ada pula di antara mereka yang mengatakan ‘iman hanyalah pengetahuan di hati saja’.

Ada pula yang mengatakan bahwa ‘iman itu hanyalah ucapan di lisan’.

Dan ada pula di antara mereka yang mengatakan bahwa ‘amal tidak termasuk bagian dari keimanan’.

10. Mu’tazilah

Kelompok ini mengatakan bahwa ‘Al Qur’an adalah makhluk’ dan bahwa ‘pelaku maksiat (dosa besar) dari kalangan Ahli Tauhid akan kekal di neraka jika mereka mati dan tidak bertobat’.

10. Khawarij

Kelompok ini mengkafirkan kaum muslimin yang melakukan dosa besar meskipun pelakunya masih di atas Tauhid, dan mereka juga menyatakan bahwa pelakunya akan kekal di neraka jika ia meninggal dunia di atas dosa itu.

11. Syi’ah Rafidhah

Kelompok ini menyelisihi kaum muslimin dalam segala hal baik secara garis besar maupun secara rinci, baik dalam ushul (dasar) maupun furu (cabang).

12. Shufiyyah (Sufi)

Kelompok ini ada yang ekstrem dan ada yang tidak.

Yang ekstrem sampai menyatakan ‘wihdatul wujud’ (semua yang ada adalah tuhan). Mereka ini seperti para pengikut Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in, dan semisalnya.

Dalam ibadahnya mereka banyak mengadakan cara sendiri dalam mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla tidak memperhatikan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

13. Asya’irah, Kullabiyyah, dan Maturidiyyah

Kelompok ini menyimpang dari manhaj Ahlissunnah wal jamaah dalam masalah asma wa shifat, membatasi sifat Allah dalam jumlah tertentu, mentakwil sifat-sifat Allah Azza wa Jalla. Demikian pula keliru dalam masalah iman, Kullabiyyah dan Maturidiyyah menyatakan bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Sumber utama pengambil akidah mereka adalah ilmu kalam dan akal.

14. Waqifah

Kelompok ini mengatakan ‘kami tidak menyatakan Al Qur’an sebagai makhluk atau bukan makhluk’.

15. Bathiniyyah

Kelompok ini adalah kelompok Zindik munafik. Mereka tidak beriman kepada kebangkitan dan pembalasan.

16. Qaramithah

Kelompok ini cabang dari kelompok Bathiniyyah.

17. Al ‘Almaniyyah (Sekularisme)

Kelompok ini memisahkan antara agama dengan negara dan kehidupan sehari-hari.

18. Masuniyyah (Freemasonry)

Kelompok ini adalah kelompok yang terstruktur untuk merusak manusia demi kepentingan orang-orang Yahudi.

19. Wujudiyyah

Kelompok ini mengingkari tuhan sebagaimana mengingkari adanya kebangkitan.

20. Babiyyah

Kelompok ini adalah kelompok yang kafir atau mengingkari semua yang dibawa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

21. Qadiyaniyyah (Ahmadiyyah)

Kelompok ini mengikuti nabi palsu Mirza Gulam Ahmad.

22. Qaumiyyah

Kelompok ini tidak bisa membedakan antara iman dan kufur. Kelompok ini terlalu fanatik dengan bangsa sendiri, terkadang melupakan nasib bangsa lain dan tidak memperhatikan sisi agama.

23. Ra’sumaliyyah (Kapitalisme)

Kelompok ini menolak ajaran Islam dalam berekonomi dan tidak peduli terhadap ancaman Allah Azza wa Jalla. Kelompok ini berusaha memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dalam usaha tanpa memperhatikan aturan agama.

24. Isytirakiyyah (Sosialisme)

Kelompok ini juga meninggalkan agama dalam berekonomi dan mengedepankan hawa nafsu. Kelompok ini menolak kepemilikan secara perorangan secara mutlak.

25. Hadatsah

Kelompok ini di antara sikapnya adalah mencela akidah Islam, menyamarkan kebenaran kepada manusia, dan melakukan ilhad (penyimpangan) dalam agama Allah.

26. Ilhad (Atheisme)

Kelompok ini tidak mempercayai adanya tuhan, dimana mereka sama saja menolak dalil baik dalil naqli (wahyu) maupun dalil aqli (akal).

27. Liberaliyyah (Liberalisme)

Kelompok ini menginginkan kebebasan dalam hidupnya, menolak adanya aturan baik aturan agama maupun aturan negara. Kelompok ini membuat masyarakat tidak bedanya dengan hewan.

28. Ta’addudiyyah Diniyyah (Pluralisme)

Kelompok ini membenarkan semua agama dan meninggalkan amar makruf dan nahi munkar.

29. ‘Aqlaniyyah (rasionalisme)

Kelompok ini hanya mengandalkan akal dalam mencapai maslahat dan meninggalkan agama, serta menyatakan bahwa akal adalah sumber pengetahuan, padahal akal manusia terbatas tidak menjangkau segalanya.

30. Syuyu’iyyah (komunisme)

Kelompok ini adalah kelompok yang tidak meyakini ajaran agama.

31. Dimaqrathiyyah (Demokrasi)

Kelompok ini menyatakan bahwa kekuasaan di tangan rakyat, dimana dalam roda pemerintahan rakyatlah yang berkuasa, sehingga jika suatu larangan dalam agama atau pemerintahan tidak sejalan dengan kehendak rakyat, maka larangan itu bisa dicabut.

32. Mutakallimin (Ahlul Kalam)

Kelompok ini menetapkan akidah berdasarkan akal dan filsafat. Disebut Kalam karena isinya perdebatan dan pendapat. Kalam dan filsafat inilah yang membuat akidah kaum muslimin menjadi rusak dan munculnya berbagai kelompok menyimpang.

Kelompok ini berusaha mencari kebenaran termasuk masalah akidah hanya bersandar kepada akal dan pendapat tanpa wahyu, sehingga hasilnya zhann (persangkaan).

Kelompok-Kelompok Sesat lainnya


Di negeri kita Indonesia juga banyak bermunculan kelompok sesat, di antaranya: Ahmadiyyah, Lia Eden atau Salamullah, Al Qiyadah Al Islamiyah, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), Tarekat Tajul Khalwatiyah, Kerajaan Ubur-Ubur, Islam Jamaah, NII, Isa Bugis, Inkar Sunnah, Lembaga Kerasulan, dll.

10 Ciri Aliran Sesat Menurut MUI


MUI dalam rapat kerja nasional tahun 2007 menyebutkan 10 kriteria sebuah aliran keagamaan dianggap menyimpang atau sesat, yaitu:

  1. Mengingkari salah satu rukun iman dan rukun Islam.
  2. Meyakini dan mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i .
  3. Meyakini turunnya wahyu sesudah Alquran.
  4. Mengingkari kebenaran Alquran.
  5. Menafsirkan Alquran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.
  6. Mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam.
  7. Menghina, melecehkan, atau merendahkan nabi dan rasul.
  8. Mengingkari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebagai utusan terakhir.
  9. Mengubah, menambah, dan mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan secara syar'i.
  10. Mengafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i.

Demikianlah pembahasan kelompok-kelompok sesat dan menyimpang agar kita dapat menjauhinya.

Nasihat Untuk Mereka 


Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Qs. Al An’aam: 116)

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memberitahukan keadaan mayoritas manusia yang berada di atas kesesatan, dan mengingatkan agar tidak mengikuti kebanyakan manusia, karena yang mereka ikuti hanyalah persangkaan belaka.

Hal itu, karena agama mereka telah menyimpang, sebagaimana amal dan ilmu mereka pun ikut menyimpang.

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa banyaknya orang yang melakukan sesuatu bukanlah menjadi tolok ukur terhadap suatu kebenaran, dan menunjukkan bahwa sedikitnya orang yang menempuh tidaklah menunjukkan tidak berada di atas kebenaran, oleh karenanya para pengikut kebenaran adalah orang yang paling sedikit jumlahnya, namun paling tinggi kedudukan dan pahalanya di sisi Allah.

Dalam ayat ini juga terdapat bantahan terhadap beberapa pemikiran yang dibuat manusia, yang kemudian dianut oleh sebagian orang atas dasar ikut-ikutan, seperti liberalisme, sosialisme, komunisme, pluralisme, kapitalisme, sekularisme dan sebagainya.

Ikuti Kebenaran dan Jangan Lihat Banyaknya Orang Yang Melakukan


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Kita tidak tertipu dengan kebanyakan manusia melakukannya, karena perbuatan manusia terkadang di atas kejahilan. Yang dijadikan patokan adalah ada dalil dalam syariat bukan karena dilakukan oleh pada umumnya manusia." (Al Qaulul Mufid 1/204)

"Kami tidaklah melihat kebenaran dengan banyaknya orang yang mengikuti, akan tetapi kami melihat kebenaran ketika sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah." (Asy Syarhul Mumti 4/379)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat, bahwa apabila seseorang telah mengetahui kebenaran, maka tidak boleh baginya menyelisihinya karena mengikuti seseorang." (Majmu Fatawa 7/71)

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, "Hendaklah setiap muslim waspada tidak tertipu dengan jumlah yang banyak sambil menyatakan, "Orang-orang berdatangan kepadanya dan biasa terhadap hal itu, maka aku ikut bersama mereka." Ini adalah musibah yang besar yang membuat binasa kebanyakan orang-orang terdahulu. Engkau wahai orang yang berakal, hendaknya memperhatikan dirimu dan menghisabnya, berpegang dengan kebenaran meskipun ditinggalkan manusia. Demikian pula berhati-hati terhadap apa yang dilarang Allah meskipun dikerjakan oleh manusia, karena kebenaran itu lebih berhak diikuti. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Qs. Al An’aam: 116)

"Dan kebanyakan manusia tidak beriman, meskipun engkau menginginkannya." (Qs. Yusuf: 103)

Sebagian kaum salaf berkata, "Jangan menjauhi kebenaran karena sedikitnya orang yang mengikuti, dan jangan tertipu dengan kebatilan meskipun orang yang binasa itu banyak." (Majmu Fatawa 12/411-416)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata, "Janganlah salah seorang di antara kamu menjadi imma'ah!"

Kawan-kawannya mengatakan "Apa itu Imma'ah wahai Abu Abdurrahman?"

Abdullah Bin Masud menjawab, "Yaitu orang yang mengatakan 'saya mengikuti orang-orang, jika mereka mendapatkan petunjuk, maka saya akan mendapatkan petunjuk, dan jika mereka sesat saya juga sesat'. Ingatlah! Hendaknya salah seorang di antara kalian menguatkan dirinya, yaitu ketika manusia kufur, namun dia tidak kufur." (Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Kabir no. 8765)

Jalan Keluar dari Penyimpangan


عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَاريةَ رَضي الله عنه قَالَ : وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله عليه وسلم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَأَوْصِنَا، قَالَ : أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan kami nasehat yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Kami berkata, “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasihat perpisahan, maka berilah kami wasiat.” Beliau bersabda, “Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena barang siapa yang hidup di antara kalian (sepeninggalku), maka ia akan menyaksikan banyak perselisihan. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat.“ (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dia (Tirmidzi) berkata, “Hasan shahih”)

Syarh (penjelasan)


Kalimat, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan kami nasehat (mau’izhah)”.

Mau’izhah artinya mengingatkan disertai targhib (dorongan) dan tarhib (ancaman). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam memberikan nasihat melihat waktu yang tepat dan tidak terlalu sering agar para sahabat tidak bosan. Dalam memberikan nasihat, Beliau juga tidak secara panjang lebar, dan kata-kata Beliau dalam nasihatnya menyentuh hati. Di samping itu, Beliau mengikuti Al Qur’an dalam memberikan nasihat, yaitu menyertakan targhib dengan tarhib, sehingga tidak membuat putus asa manusia dan tidak membuat manusia berani melakukan maksat. Sebagian kaum salaf berkata,

إنَّ الْفَقِيهَ كُلُّ الْفَقِيهِ الَّذِي لَا يُؤَيِّسُ النَّاسَ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ وَلَا يُجَرِّئُهُمْ عَلَى مَعَاصِي اللَّهِ

“Sesungguhnya orang yang betul-betul faqih adalah orang yang tidak membuat putus asa manusia dari rahmat Allah dan tidak membuat mereka berani mengerjakan maksiat kepada Allah.”

Sabda Beliau “bertakwa kepada Allah”, maksudnya adalah mencari perlindungan dari azab Allah dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Hal ini merupakan hak Allah Azza wa Jalla. Dan tidak ada wasiat yang paling mulia dan paling lengkap melebihi wasiat untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla (lihat juga surat An Nisaa’: 131).

Sabda Beliau “tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian” maksudnya tunduk dan patuh kepada para pemimpin baik adil maupun zalim, yakni dengarkanlah apa yang mereka katakan dan jauhilah apa yang mereka larang, meskipun yang memimpin kalian seorang budak. Tentunya jika mereka tidak memerintahkan bermaksiat. jika ternyata memerintahkan bermaksiat, maka tidak boleh ditaati. Perintah menaati ulil amri disebutkan di surat An Nisaa’ ayat 59:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An Nisaa’: 59)

Pada ayat tersebut, taat kepada ulil amri tidak diberi tambahan “taatilah” sebagaimana ketika memerintahkan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hal itu karena taat kepada ulil amri tidak mutlak.

Ibnu Rajab Al Hanbaliy berkata, “Adapun mendengar dan taat kepada pemerintah kaum muslimin, maka di dalamnya terdapat kebahagiaan di dunia. Dengannya, maslahat kehidupan hamba menjadi tertib, dan dengannya pula mereka bisa menampakkan agama mereka dan menaati Tuhan mereka.”

Sabda Beliau, “Karena barang siapa yang hidup di antara kalian (sepeninggalku), maka ia akan menyaksikan banyak perselisihan. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk” yakni siapa saja yang diberi umur panjang, maka ia akan melihat banyak perselisihan baik dalam masalah akidah, ibadah, manhaj (jalan hidup), dsb. yang membuat seseorang kebingungan untuk memilih mana jalan yang harus ia ikuti, terlebih karena masing-masing golongan yang ada seakan-akan di atas kebenaran, bahkan berdalil meskipun sebenarnya salah dalam berdalil.

Imam Syathibiy rahimahullah berkata, “Oleh karena itu, wajib bagi orang yang memperhatikan dalil syar’i untuk melihat apa yang difahami generasi terdahulu, dan apa yang mereka kerjakan, karena hal itu lebih membuatnya dekat dengan kebenaran.” (Al Muwafaqat 3/77)

Ternyata apa yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sampaikan memang benar, yakni benar-benar terjadi perselisihan yang banyak di zaman para sahabat, terlebih di zaman setelahnya dst. Namun demikian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkan begitu saja umatnya kebingungan, bahkan Beliau memberikan jalan keluar saat kita menghadapi kondisi tersebut, yaitu dengan berpegang dengan sunnah (jalan yang ditempuh) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam saat menyaksikan keadaan yang beraneka ragam tersebut; meskipun menyelisihi kebanyakan orang. Tidak sebatas itu, Beliau juga menyuruh kita mengikuti para khalifah (pengganti) Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam yang rasyidin (mendapat petunjuk), yang tidak lain adalah para sahabat Beliau, terutama khalifah yang empat; Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu 'anhum. Hal itu, karena bisa saja di antara golongan-golongan itu berdalih dengan ayat atau hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, namun dalam memahaminya tidak seperti yang dipahami Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menambahkan dengan sunnah (jalan yang ditempuh atau pemahaman) para sahabat, yakni apakah para sahabat memahami seperti itu ketika mendengar ayat atau hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, terutama pada ayat atau hadits-hadits yang membutuhkan penjelasan tambahan karena masih samar. Oleh karena itu Al Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam mukaddimah kitab tafsirnya:

“Apabila ada seseorang yang bertanya, “Apa cara terbaik dalam menafsirkan (Al Qur’an)?” Jawab, “Sesungguhnya cara terbaik dalam hal ini adalah menafsirkan Al Qur’an dengan (penjelasan) Al Quran, yang masih belum jelas di ayat ini mungkin dijelaskan di ayat lain. Jika kamu tidak menemukan (penjelasan di ayat lain), maka dengan melihat As Sunnah, karena ia adalah pensyarah Al Qur’an dan penjelasnya…dst.” Kemudian Ibnu Katsir melanjutkan, “Jika kita tidak menemukan (penjelasannya) dalam Al Qur’an dan As Sunnah, maka kita melihat pendapat para sahabat, karena mereka lebih tahu tentang hal itu…dst.” Ibnu Katsir berkata lagi, “Jika kamu tidak menemukan dalam Al Qur’an, As Sunnah juga dari para sahabat, maka dalam hal ini para imam melihat pendapat para taabi’iin…dst.”

Dengan cara seperti ini, yakni merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman generasi pertama Islam (As Salafush Shaalih), kita dapat selamat dari perselisihan. Dan oleh karena itu, seseorang harus memahami manhaj (cara beragama) generasi terdahulu yang merupakan manhaj Ahlussunnah wal jama’ah, silahkan lihat di sini: http://wawasankeislaman.blogspot.com/p/aqidah_5.html

Pada hadits di atas juga kita diperintahkan menjauhi bid’ah, yakni mengada-ada dalam agama yang dibawa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini merupakan dalil terlarangnya berbuat bid’ah. Oleh karena itu, jika seorang yang berbuat bid’ah berkata, « Bukankah tidak ada larangannya saya mengerjakan ibadah ini ? » Maka jawablah dengan hadits ini, yakni Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang semua bid’ah dalam agama. Karena jika disebutkan satu persatu tidak mungkin, disebabkan banyaknya jumlah bid’ah.

Hadits di atas juga menerangkan bahwa bid’ah dalam agama semuanya sesat, tidak ada yang hasanah (baik).

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa Maraji’: Al Ajwibah Al Atsariyyah, Maktabah Syamilah versi 3.45, Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an (Marwan bin Musa), Firqah-Firqah Sesat (Ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat), Untaian Mutiara Hadits (Marwan bin Musa), dll.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama