Berikut pembahasan tentang syarat dan adab poligami atau Ta’ddud, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Allah Azza wa Jalla yang menciptakan manusia, tentu Dialah yang paling tahu tentang hal yang bermaslahat bagi mereka. Dia berfirman,
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui; padahal Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Qs. Al Mulk: 14)
Oleh karenanya, Dia mensyariatkan kepada mereka syariat yang bermaslahat (membawa mereka kepada kebaikan), baik maslahat murni atau maslahatnya lebih kuat daripada madharat(bahaya)nya.
Termasuk dalam hal ini adalah perkara poligami. Ketika Dia menghalalkannya bagi hamba-hamba-Nya, maka karena di sana terdapat maslahat bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman,
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Qs. An Nisaa: 3)
Berlaku adil di sini adalah perlakuan yang adil dalam bergaul dengan istri seperti pakaian, tempat, giliran, dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
Hukum Poligami
Kami belum mendapatkan seorang ulama yang berpendapat wajibnya berpoligami, yang masyhur di kalangan Ahli Ilmu adalah mubah atau sunnah.
Syarat dan Adab Poligami
Ketika seorang muslim hendak melakukan poligami, hendaknya ia memperhatikan syarat dan adab-adabnya seperti yang diterangkan di bawah ini:
1. Jangan sampai poligami membuat seseorang lalai dari menjalankan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.
Hal itu, karena tujuan hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. At Taghabun: 14)
Maksudnya ayat ini adalah bahwa terkadang istri atau anak dapat menjerumuskan suami atau ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang agama atau meninggalkan kewajiban agama. Oleh karena itu, di ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Wahai orang-orang beriman! Janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Qs. Al Munafiqun: 9)
2. Seorang laki-laki dari umat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam tidak boleh beristri lebih dari empat dalam satu waktu.
Jika seseorang masuk ke dalam agama Islam, sedangkan ia memiliki istri lebih dari empat, maka dia disuruh memilih empat saja dari istri-istrinya, sedangkan yang lain diceraikan.
Seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam bernama Qais bin Harits radhiyallahu anhu berkata, “Saya masuk Islam sedangkan saya memiliki delapan istri, lalu aku sampaikan hal itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا»
“Pilihlah empat daripadanya.” (Hr. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)
Faedah:
Jika seseorang menikahi wanita kelima, padahal dia masih memiliki empat istri, maka menurut Imam Malik dan Syafi’i, bahwa jika dia mengetahui hukumnya, dia dikenakan had. Ini pula yang dinyatakan Abu Tsaur. Az Zuhri menyatakan, bahwa jika dia mengetahui hukumnya, maka dia dirajam (sampai mati). Namun jika dia tidak tahu, maka dikenakan had yang rendah, yaitu dera. Adapun wanita itu, maka ia mendapatkan mahar, dan dipisahkan antara keduanya.
3. Seorang laki-laki tidak boleh memperistri dua wanita bersaudara dalam satu waktu.
Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan (diharamkan) bagimu menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi di masa yang lalu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. An Nisaa: 23)
4. Seorang istri tidak boleh memperistri seorang wanita dan bibinya dalam satu waktu.
Jabir radhiyallahu anhu berkata,
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُنْكَحَ المَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا أَوْ خَالَتِهَا»
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang seorang wanita dinikahi bersama dengan ‘ammah (saudari bapak) atau seorang wanita bersama dengan khalah (saudari ibu).” (Hr. Bukhari dan Muslim)
5. Boleh berbeda mahar dan walimah bagi masing-masing istri.
Maksudnya nilai mahar dan besarnya walimah di antara para istri tidak harus sama.
Raja Najasyi radhiyallahu anhu menikahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan Ummu Habibah radhiyallahu anha, dan Najasyi memberikan mahar sebanyak 4.000 dirham. (Hr. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga menikahi Shafiyyah dengan mahar memerdekakan Shafiyyah dari perbudakan (Hr. Bukhari dan Muslim)
Beliau shallallahu alaihi wa sallam saat menikahi Zainab binti jahsy radhiyallahu anha dengan walimah seekor kambing (Hr. Bukhari dan Muslim)
6. Seorang suami yang menikah dengan gadis, maka dia tinggal bersamanya selama tujuh hari, lalu dilakukan giliran yang sama setelah itu. Jika yang dinikahi janda, maka dia tinggal selama tiga hari, kemudian baru melakukan giliran.
Dari Anas radhiyallahu anhu ia berkata, “Termasuk sunnah, jika seorang laki-laki menikahi gadis, ia tinggal bersamanya selama tujuh hari lalu menggilir (secara sama). Dan jika dia menikahi janda, maka dia tinggal bersamanya selama tiga hari, lalu menggilir.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Faedah/Catatan:
Sebagian ulama berpendapat bolehnya mengkhususkan sebagian istri dengan hadiah atau pakaian tertentu ketika istri yang lain tampak sudah cukup.
Imam Ahmad pernah berkata tentang seorang yang memiliki dua istri, “Dia boleh melebihkan salah satunya di atas yang lain dalam hal nafkah, syahwat, dan pakaian jika istrinya yang lain sudah cukup, dan boleh juga membelikan untuk istri yang satu pakaian yang lebih tinggi nilainya daripada yang lain, sedangkan istrinya yang satu lagi sudah cukup.” (Al Mughni 8/144)
7. Seorang wanita yang dilamar oleh laki-laki yang telah beristri tidak boleh mensyaratkan kepada laki-laki itu untuk menceraikan istrinya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تَسْأَلُ طَلاَقَ أُخْتِهَا، لِتَسْتَفْرِغَ صَحْفَتَهَا، فَإِنَّمَا لَهَا مَا قُدِّرَ لَهَا»
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam Beliau bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita meminta saudarinya ditalak sehingga dia membalikkan piringnya, karena sesungguhnya dia mendapatkan apa yang telah ditakdirkan baginya.” (Hr. Bukhari)
Maksud membalikkan piringnya adalah membalikkan isi piring saudarinya berpindah kepadanya, yakni ia mendapatkan nafkah laki-laki itu, kebaikannya, dan pergaulannya yang sebelumnya untuk saudarinya.
Demikian juga seorang istri tidak boleh meminta suaminya menceraikan madunya.
8. Suami wajib berlaku adil dalam membagi giliran pada istri-istrinya.
Misalnya setiap istri mendapatkan gilirannya sehari-semalam. Atau jika seorang istri mendapatkan giliran sepekan, maka yang lain juga mendapatkan bagian yang sama. Dan yang dijadikan patokan utama dalam waktu giliran adalah malamnya. Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Penggiliran adalah di malam hari, dimana seseorang bermalam di masing-masingnya malamnya, dan kami suka kalau ia juga berdiam di sisi istrinya pada siang hari.” (Al Umm 5/158)
Di samping itu, karena siang hari biasa dipakai oleh seorang suami untuk bekerja dan mencari rezeki.
Kecuali jika seseorang bekerjanya di malam hari, seperti seorang penjaga, maka dia membagi gilirannya di siang hari.
Dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat menikahi Ummu Salamah, berdiam di rumahnya selama tiga hari, Beliau bersabda,
«إِنَّهُ لَيْسَ بِكِ عَلَى أَهْلِكِ هَوَانٌ، إِنْ شِئْتِ سَبَّعْتُ لَكِ، وَإِنْ سَبَّعْتُ لَكِ، سَبَّعْتُ لِنِسَائِي»
“Sesungguhnya ini bukan penghinaan terhadap keluargamu. Jika aku tinggal tujuh hari bersamamu, maka aku juga tinggal tujuh hari bersama istri-istriku yang lain.” (Hr. Muslim)
Demikian pula terhadap istri yang sedang haidh atau sakit, ia tetap berhak mendapatkan giliran. Dan jika suami akan bersafar, kemudian hendak mengajak salah satu istrinya, maka dia dapat melakukan undian.
Aisyah radhiyallahu anha berkata,
«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ، فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ، وَكَانَ يَقْسِمُ لِكُلِّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا، غَيْرَ أَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا لِعَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، تَبْتَغِي بِذَلِكَ رِضَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam apabila ingin safar, maka Beliau melakukan undian terhadap istri-istrinya. Siapa saja di antara mereka yang keluar bagiannya, maka Beliau keluar bersamanya. Beliau membagi untuk setiap istrinya sehari-semalam. Akan tetapi Saudah binti Zam’ah radhiyallahu anha memberikan jatah hari dan malamnya kepada Aisyah istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam karena ingin mencari keridhaan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (Hr. Bukhari)
Faedah:
Tidak berlaku giliran terhadap wanita yang ditalak raj’i (masih stastusnya sebagai istri) dan wanita yang durhaka (nusyuz).
9. Suami hendaknya tidak berjima dengan istri yang bukan pemilik hak giliran kecuali dengan izin dan ridha pemilik hak.
Aisyah radhiyallahu anha berkata kepada Urwah bin Az Zubair,
«يَا ابْنَ أُخْتِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ، مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا، وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلَّا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا، فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ، حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا» وَلَقَدْ قَالَتْ سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ: حِينَ أَسَنَّتْ وَفَرِقَتْ أَنْ يُفَارِقَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، يَوْمِي لِعَائِشَةَ، فَقَبِلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا، قَالَتْ: نَقُولُ فِي ذَلِكَ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى وَفِي أَشْبَاهِهَا أُرَاهُ قَالَ: {وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا} [النساء: 128]
“Wahai putera saudariku, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak mengutamakan sebagian kami di atas yang lain dalam pembagian, yaitu menetapnya Beliau pada kami. Dan hampir setiap hari Beliau mengelilingi kami semua, yakni Beliau mendatangi semua istri namun tanpa berjima sampai kepada istri yang menjadi gilirannya, lalu beliau bermalam di situ. Pada waktu Saudah binti Zam’ah telah tua dan takut dicerai oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam maka ia berkata, “Wahai Rasulullah, jatah hariku untuk Aisyah,” maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerimanya.”
Aisyah juga berkata, “Kami berkata, “Berkenaan dengan hal itu dan semisalnya Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,
{وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا}
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya...dst.” (Qs. An Nisaa: 128)
Penulis kitab Aunul Ma’bud berkata, “Dalam hadits tersebut tedapat dalil bahwa diperbolehkan bagi seseorang menemui istrinya yang bukan pemilik gilirannya, menyenangkan hatinya, menyentuh, dan menciumnya. Demikian juga menunjukkan mulianya akhlak Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan bahwa Beliau adalah orang yang paling baik kepada istrinya. Dalam hadits tersebut juga terdapat dalil bolehnya seorang wanita menghibahkan jatahnya ke madunya dengan syarat mendapatkan keridhaan suami, karena ia memiliki hak terhadap istrinya, sehingga seorang istri tidak memiliki hak untuk menggugurkan haknya kecuali dengan ridha suaminya.” (Aunul Ma’bud 6/122)
Bahkan boleh jika para istri mengizinkan suami menggilir mereka semua dalam satu malam. Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah menggilir semua istrinya dalam satu malam. Ketika itu Beliau memiliki sembilan istri.” (Hr. Bukhari)
10. Tidak dibenarkan bagi seorang suami menemui salah satu istrinya di malam hari yang bukan gilirannya kecuali karena darurat, demikian pula di siang hari kecuali jika ada kebutuhan.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Syarat dan Adab Poligami (Ust. Abu Ismail Muslim Al Atsari), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan), Ahkaumut Ta’addud fi Dhau’il Kitab was Sunnah (Ihsan bin Muhammad Al Utaibiy), Maktabah Syamilah, dll.
Tags:
Fikih