Inilah Alasan Mengapa Jumlah Rakaat Shalat Tarawih Berbeda-Beda

Inilah Alasan Mengapa Jumlah Rakaat Shalat Tarawih Berbeda-Beda

Fikroh.com - Tulisan ini ingin mengurai perbedaan yang kadang masih sering membuat sesama muslim saling sinis gara-gara permasalahan yang sebenarnya kalau kita telusuri akan melapangkan dada kita.

Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih. Seperti yang kita tahu setidaknya ada 2 perbedaan jumlah shalat tarawih, pertama 8 rakaat ditambah 3 witir jadi 11 rakaat. Kedua, 23 rakaat

Apa yang menjadi Akar Perbedaan?

1. Perbedaan terjadi karena tidak ada satu pun hadits yang shahih dan sharih (jelas/eksplisit) yang menyebutkan jumlah rakaat shalat tarawih yang dilakukan oleh Rasululullah SAW.

Prof. Ali Mustafa Yaqub, MA, menerangkan bahwa tidak ada satu pun hadits yang derajatnya mencapai shahih tentang jumlah rakaat shalat tarawih (yang istilah shalat tarawih memang tidak ada pada masa Rasul) yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Kalau pun ada yang shahih derajatnya, namun dari segi istidlalnya (penunjukan maknanya) tidak menyebutkan jumlah rakaat shalat tarawih.

2. Perbedaan pandangan apakah shalat tarawih itu sama dengan shalat malam atau keduanya adalah jenis shalat sendiri-sendiri.

Abu Salamah bin Abdurrahman bertanya tentang shalatnya Rasulullah dalam bulan Ramadhan, maka Aisyah ra berkata,

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا

Tidaklah Rasulullah SAW menambah (rakaat shalat malam) di dalam bulan Ramadhan dan tidak pula diluar bulan Ramadhan dari 11 rakaat. Beliau melakukan sholat 4 rakaat dan janganlah engkau tanya mengenai betapa baik dan panjangnya, kemudian beliau kembali sholat 4 rakaat dan jangan engkau tanyakan kembali mengenai betapa baik dan panjangnya, kemudian setelah itu beliau melakukan sholat 3 rakaat. (HR Bukhori dan Muslim, redaksi menurut Muslim no. 1219, Maktabah Syamilah v. 3).

Hadits ini dijadikan dasar bagi yang berpendapat bahwa shalat tarawih adalah 11 rakaat (termasuk witir).

Kalaupun bisa disepakati bahwa shalat tarawih adalah termasuk shalat malam yang dimaksud oleh hadits diatas, maka sebenarnya hadits diatas tidaklah melarang untuk shalat malam lebih dari 11 rakaat (wah ini jadi seperti berpihak ke yang 23 rakaat, tapi nggak kok, cuma mau bicara jujur aja dari apa yang saya kaji). Beberapa hadits shahih (juga bersumber dari Aisyah ra menjelaskan bahwa Rasulullah shalat malam 13 rakaat dg witir. Dari Hisyam dari bapaknya dari Aisyah r.a ia berkata :

َانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ

Adalah Rasulullah SAW shalat malam 13 rakaat termasuk witir 5 rakaat (Shahih Muslim, no 1217, Maktabah Syamilah v. 3)

Bagaimana mungkin jumlah rakaatnya shalat malam Rasul berbeda-beda padahal bersumber dari satu orang, yakni Aisyah?, diawal katanya tidak pernah lebih dari 11 rakaat, kok dilain waktu 13 rakaat? Penulis kitab Al Muntaqa (Syarh Al Muwattho’) menjelaskan bahwa :

أَنَّهُ كَانَ صلى الله عليه وسلم تَخْتَلِفُ صَلاَتُهُ بِاللَّيْلِ لانَّهُ لاَ حَدَّ لِصَلاَةِ اللَّيْلِ

Sesungguhnya adalah Rasulullah SAW berbeda-beda(jumlah rakaat) shalat malamnya karena sesungguhnya tidak ada batasan (jumlah rakaat) shalat malam (Al Muntaqa, 1/278, Maktabah Syamilah v. 3)

Sedangkan Imam Nawawi menjelaskan bahwa jumlah rakaat salat malamnya Rasulullah SAW berbeda-beda karena bergantung kondisi, masih luangnya waktu, karena udzur atau lagi sakit, atau saat beliau sudah lanjut usia, sebagaimana riwayat Aisyah:

( فَلَمَّا أَسَنَّ صَلَّى سَبْع رَكَعَات )

Ketika beliau sudah lanjut usia beliau shalat (malam) 7 raka’at. (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim,  3/70, Maktabah Syamilah v. 3)

Qadhi ‘Iyad menyatakan bahwa: tidak ada perbedaan (ulama) bahwasanya shalat malam itu tidak ada batasan raka’atnya sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari batasan tersebut, dan merupakan ketaatan yang semakin bertambah maka semakin bertambah (jumlah & kualitasnya) maka makin bertambah juga pahalanya. Perbedaan yang terjadi hanyalah pada perbuatan nabi, dan apa yang dipilih nabi untuk dirinya. (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim,  3/70, Maktabah Syamilah v. 3)

وَإِنَّمَا قَالَتْ إنَّهُ صلى الله عليه وسلم كَانَ لَا يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً تُرِيدُ صَلَاتَهُ الْمُعْتَادَةَ الْغَالِبَةَ وَإِنْ كَانَ رُبَّمَا يَزِيدُ فِي بَعْضِ الْأَوْقَاتِ عَلَى ذَلِكَ

Dan sesungguhnya aisyah berkata : Tidaklah Rasulullah SAW menambah (rakaat shalat malam) di dalam bulan Ramadhan dan tidak pula diluar bulan Ramadhan dari 11 rakaat, Aisyah bermaksud menjelaskan bahwa shalatnya (Rasul)biasanya lebih sering (11 rakaat) walaupun kadang-kadang beliau menambah (rakaat) dalam waktu yang lain. (Al Muntaqa, 1/278, Maktabah Syamilah v. 3)

Jadi, sebenarnya dari sini saja bagi yang menyatakan shalat malam dg tarawih itu sama maupun yang mengatakan berbeda–seharusnya sudah tidak perlu dipersoalkan mau shalat malam berapa rakaat, dan tidak ada bidah dalam jumlah rakaat ini, perbedaan yang ada hanya terbatas mana yang dianggap lebih afdhal, lebih baik atau lebih disukai (mustahab).

3. Perbedaan riwayat yang menyatakan shalat tarawih secara jelas, yang dilakukan pada masa Umar bin Khattab (keduanya diriwayatkan Imam Malik ra).

Dari Saib bin Yazid ia berkata:

أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ

Umar bin Al-Khottob telah memerintahkan Ubay bin Kaab dan Tamim Ad-Dariy supaya keduanya mengimami orang-orang dengan melaksanakan sholat 11 rakaat, dia berkata: dan sesungguhnya qari (imam) membaca ratusan ayat (dalam satu rakaat) sampai kami bersandar pada tongkat kami karena lamanya berdiri. (Imam Malik, Al Muwaththo, hadits no 232, Maktabah Syamilah v. 3)

Dalam kitab Fathul Bary di jelaskan kalau mereka dalam satu rakaat membaca 200 ayat, Ubay bin Kaab mengimami laki laki, Tamim Ad Dary mengimami perempuan (ditempat yang berbeda), atau disebutkan Ubay bin Kaab mengimami dan dilain waktu Tamim Ad Dary yang mengimami (Ibn Hajar Al Asqalany, Fathul Bary, 6/292)

Riwayat kedua dari Yazid bin Ruman dia berkata:

كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً

Adalah manusia pada zaman Umar mereka qiyamul (lail) pada bulan Ramadhan 23 rakaat. (Imam Malik, Al Muwaththo, hadits no 233, Maktabah Syamilah v. 3)

Kesimpulan

Tidak ada batasan jumlah rakaat, baik shalat malam maupun shalat tarawaih (kalau dianggap berbeda dg shalat malam). Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani menulis berbagai pendapat tentang jumlah rakaat shalat tarawih, yakni 11, 13, 21,23, 24,26 (tanpa witir), 33, 36,39,41, 47 rakaat.

Perbedaan yang ada adalah dalam rangka meringankan (11 rakaat terlalu lama berdiri maka rakaatnya ditambah, sehingga bisa duduk duludst). Jadi pembahasan jumlah rakaat kaitannya dengan kualitas bacaan shalatnya. Ibnu Hajar berkata, Perbedaan yang terjadi dalam jumlah rakaat tarawih mucul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang, maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat; dan demikian sebaliknya.

Dari Az-Zafarani , Imam As Syafii mengatakan:

إِنْ أَطَالُوا الْقِيَامَ وَأَقَلُّوا السُّجُودَ فَحَسَنٌ ، وَإِنْ أَكْثَرُوا السُّجُود وَأَخَفُّوا الْقِرَاءَةَ فَحَسَنٌ ، وَالْأَوَّل أَحَبُّ إِلَيَّ

Jika shalatnya panjang (berdirinya/bacaanya) dan sedikit sujud (jumlah rakaatnya sedikit) itu baik. Dan jika banyak sujudnya (jumlah rakaatnya banyak), dan bacaan (surah nya) ringan (pendek) juga baik menurutku, dan aku lebih senang pada yang pertama. (Ibn Hajar Al Asqalany, Fathul Bary, 6/292)

Hal diatas menunjukkan bahwa ketika ada perbedaan riwayat, jalan yang dilakukan oleh para ahli fiqh dan hadits tidaklah langsung mentarjih (mencari yang lebih kuat) lalu meninggalkan yang dianggap kurang kuat, tetapi yang dilakukan adalah melakukan jam’u (menggabungkan beberapa riwayat itu), karena mengamalkan banyak nash adalah lebih utama dari pada meninggalkan beberapa nash, apalagi beberapa nash tersebut tidaklah bisa dipandang bertentangan (kontradiksi) sehingga tidak perlu ada yang dibuang, lebih parah lagi kalau kemudian yang melakukan yg dianggap lemah tersebut terus di cap ahli bidah. Allahu a’lam. [M. Taufik N.T]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama