Bolehkah Shalat Tahajud Dikerjakan Sambil Duduk?

Bolehkah Shalat Tahajud Dikerjakan Sambil Duduk?

Fikroh.com - Diantara sholat sunnah dengan berlimpah pahala adalah sholat tahajud atau shalat malam. Sayang sekali jika ditinggalkan dengan alasan malas dan alsan yang tidak mendasar. Padahal shalat malam bisa saja dikerjakan sambil duduk jika mau. Benarkah demikian? Iya, Karena Sholat malam bisa dikerjakan berdiri juga bisa dengan duduk. Berikut ini penjelasan tata cara shalat malam sambil duduk.

Hukum asalnya shalat apapun dikerjakan sambil berdiri, termasuk shlata tahajud, sebagaimana ketika mengerjakan sholat Fardhu. Namun khusus untuk sholat Tathowu’ (sunnah), maka telah dinukil adanya kesepakatan ulama akan bolehnya sholat Tathowu’ dikerjakan dengan duduk, dalam “al-Maushû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah” (12/157) disebutkan :

تَجُوزُ صَلاَةُ التَّطَوُّعِ مِنْ قُعُودٍ بِاتِّفَاقٍ بَيْنَ الْمَذَاهِبِ. قَال ابْنُ قُدَامَةَ: لاَ نَعْلَمُ خِلاَفًا فِي إِبَاحَةِ التَّطَوُّعِ جَالِسًا، وَأَنَّهُ فِي الْقِيَامِ أَفْضَل

“Sholat Tathowu’ boleh dikerjakan dengan duduk berdasarkan kesepakatan 4 mazhab. Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata : “kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat terkait kebolehan sholat Tathowu’ dengan duduk dan mengerjakannya dengan berdiri lebih utama.” -selesai-.

Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah -pengusung mazhab zhahiri – dalam kitabnya “al-Muhallâ” (2/95, cet. Darul Fikr) juga menukil adanya ijma dalam hal ini, kata beliau :

لا خِلَافَ فِي أَنَّ التَّطَوُّعَ يُصَلِّيهِ الْمَرْءُ جَالِسًا إنْ شَاءَ

“Tidak ada perbedaan pendapat bahwa sholat Tathowu’ itu dapat dikerjakan oleh seseorang dengan duduk, jika ia berkehendak demikian.”

Diantara dalil landasan adanya Ijma ini adalah hadits Ummul Mukminin Hafshah radhiyallahu anha:

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي سُبْحَتِهِ قَاعِدًا حَتَّى كَانَ قَبْلَ وَفَاتِهِ بِعَامٍ. فَكَانَ يُصَلِّي فِي سُبْحَتِهِ قَاعِدًا

“aku belum pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sholat sunnahnya dengan duduk, sampai satu tahun menjelang wafatnya, lalu setelah itu Beliau sholat sunnah dengan duduk.” (HR. Muslim).

Kami ulangi lagi pernyataan al-‘Allâmah Mubarakfuriy dalam syarahnya atas Sunan Tirmidzi yang juga meriwayatkan hadits diatas :

والحديث يدل على جواز صلاة التطوع من قعود وهو مجمع عليه

“Hadits ini menunjukkan bolehnya sholat Tathowu’ dengan duduk dan ini adalah sesuatu yang disepakati atasnya.” -selesai-.

Asy-Syaikh Abu Mâlik Kamâl hafizhahullah dalam kitabnya “Shahih Fiqh as-Sunnah” (1/408) menerangkan khusus untuk sholat malam, maka riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam terkait dikerjakan dengan berdiri atau duduk atau tiga bentuk :

  1. Beliau mengerjakannya dengan berdiri.
  2. Beliau sholat dengan duduk dan ruku’nya juga dengan duduk.
  3. Beliau awalnya sholat dengan duduk, ketika tersisa sedikit lagi bacaan suratnya, Beliau berdiri lalu ruku’ dalam kondisi berdiri. 
Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anhâ :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي جَالِسًا، فَيَقْرَأُ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا بَقِيَ مِنْ قِرَاءَتِهِ قَدْرُ مَا يَكُونُ ثَلَاثِينَ أَوْ أَرْبَعِينَ آيَةً قَامَ فَقَرَأَ وَهُوَ قَائِمٌ، ثُمَّ رَكَعَ، ثُمَّ سَجَدَ، ثُمَّ يَفْعَلُ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sholat dengan duduk, Beliau pun membaca surat dengan duduk, ketika bacaannya tinggal sekitar 30 atau 40 ayat, maka Beliau berdiri dan melanjutkan bacaannya dengan berdiri, lalu ruku’ (dalam kondisi berdiri), lalu sujud, kemudian Beliau melakukannya di rakaat kedua seperti itu lagi.” (Muttafaqun alaih, ini lafazh Muslim).

Namun sebagai catatan sholat dengan duduk, padahal mampu berdiri, maka pahalanya adalah setengah dari jika dikerjakannya dengan berdiri. Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab pertanyaan salah seorang sahabatnya terkait orang yang sholatnya dengan duduk:

مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ

“Barangsiapa yang sholatnya dengan berdiri, maka ini lebih utama, barangsiapa yang sholatnya dengan duduk, maka ia mendapatkan pahala setengahnya orang yang sholat dengan berdiri dan barangsiapa yang sholatnya dengan tidur (maksudnya berbaring), maka pahalanya setengah yang sholatnya dengan duduk.” (HR. Bukhari).

Yang menarik dari hadits Bukhari diatas, ada isyarat bahwa sholat tathowu’ dapat dikerjakan dengan berbaring, meskipun ia mampu berdiri dan duduk, namun al-Imam al-Khathabi rahimahullah menepis adanya kemungkinan hal ini, sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh dalam “al-Fath”, kata beliau:

لأن المضطجع لا يصلي التطوع كما يفعل القاعد؛ لأني لا أحفظ عن أحد من أهل العلم أنه رخص في ذلك

“Karena berbaring tidak dikerjakan untuk sholat Tathowu’, sebagaimana sholatnya dengan duduk, karena aku tidak menghapal dari seorang ulama pun yang memberikan keringanan (mengerjakan sholat Tathowu’ dengan berbaring).” -selesai-.

Akan tetapi tenyata al-Imam Nawawi yang mewakili mazhab Syafi’i sebagai pendapat yang shahih dalam mazhabnya, memberikan potensi untuk mengerjakan sholat tathowu’ dengan berbaring, dalam kitabnya “Minhâj ath-Thâlibîn” (hal. 25) beliau berkata :

وللقادر التنفل قاعدا وكذا مضطجعا في الأصح

“Untuk yang mampu ketika mengerjakan sholat sunnah bisa dengan duduk, demikian juga berbaring menurut pendapat yang paling shahih.” -selesai-.

Namun kami yang mencoba berkomitmen menempuh mazhab salaf, termasuk juga dalam masalah fiqih, maka kita kembalikan kepada salaf dalam masalah sholat mengerjakan sholat sunnah dengan berbaring. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam “al-Majmû al-Fatâwâ” (7/159, via dorarnet) :

لم يُجوِّز أحدٌ من السلف صلاة التطوع مضطجعًا من غير عذر، ولا يعرف أنَّ أحدًا من السلف فعل ذلك، وجوازه وجهٌ في مذهب الشافعي وأحمد، ولا يعرف لصاحبه سلفُ صِدق، مع أنَّ هذه المسألة ممَّا تعمُّ بها البلوى…

“Tidak ada seorang salaf pun yang membolehkan sholat Tathowu’ dengan berbaring tanpa ada uzur, tidak diketahui seorang salaf pun yang mengerjakan hal ini. Yang membolehkannya adalah wajh dalam mazhab Syafi’i dan Ahmad, namun tidak diketahui oleh pengikut salaf yang jujur, disamping itu ini adalah masalah yang “umumul balwâ”….” -selesai-.

Maksud Syaikhul Islam dengan umumul balwâ dalam masalah ini adalah jika sholat sunnah dengan berbaring diperbolehkan, tentu Rasulullah akan mensyariatkannya dan dikerjakan oleh salaf dari kalangan sahabat dan generasi setelahnya, karena mengerjakan dengan berbaring untuk sholat sunnah itu, jika boleh, maka dibutuhkan agar pelaksanaanya lebih memperingan hamba-hamba Allah. Wallahu A’lam.

Oleh: Abu Sa’id Neno Triyono

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama