Fikroh.com - Apakah orang yang pingsan atau koma tak sadarkan diri wajib mengqadha shalat? Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini dalam madzhab fikih.
Sebagaimana ketetapan dari Alloh dan Rosul-Nya bahwa
shalat lima waktu adalah fardu 'ain atau wajib bagi setiap orang. Dengan
memenuhi beberapa syarat wajibnya, diantaranya islam, baligh dan
berakal sehat. Dasar hukum wajibnya sholat sudah disebutkan oleh Alloh
dalam al-Qur'an.
Pertama Firman Alloh :
وَاَقِيْمُوْ الصَّلَوْةَ وَآتُوْالزَّكَوةَ وَمَاتُقَدِّمُوْا لاَ نْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدُاللهِط اِنَّ اللهَ بِمَا
تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
وَاَقِيْمُوْ الصَّلَىةَ وَآتُوْ الزَّكَوةَوَارْكَعُوْامَعَ الرَّاكِعِيْنَ
Dan juga hadits Nabi,
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ
شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ
اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ
رَمَضَانَ
Adapun mengenai apa hukum shalat bagi orang yang pingsan atau koma? Maka disini ada beberapa pendapat ulama,
Pendapat pertama:
Tidak wajib qadha secara umum bila pingsannya menghabiskan waktu satu shalat. Misalnya belum shalat Zuhur lalu baru sadar setelah waktu Asar maka gugurlah shalat Zuhur atas dirinya.
Ini adalah pendapat madzhab Syafi’iyyah dan Malikiyyah serta didukung oleh Ibnu Hazm. Juga merupakan salah satu qaul dalam madzhab Hanbali.[1] Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam kitabnya Syarh Al-Mumti’ (jilid 2, hal. 17, cetakan Dar Ibnu Al-Jauzi tahun 1428 H).
Dalilnya adalah keumuman hadits dari Aisyah.
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ
الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
Hadits ini juga diriwayatkan dari Ali dengan redaksi senada, meski para ulama seperti An-Nasa`iy dan Ad-Daraquthni menyatakannya mauquf kepada Ali. (Lihat Al-Ilal oleh Ad-Daraquthni 3/72-73, no. 291)
Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Hujjah Malik dan yang sependapat dengannya serta madzhab Ibnu Umar dalam masalah ini adalah karena Al-Qalam (pena) itu telah diangkat dari orang yang pingsan berdasarkan qiyas dari orang gila yang telah disepakati tidak wajib mengqadha shalat. Sebab, tidak ada yang serupa dengan orang pingsan (dalam hadits di atas –penerj) kecuali dua point asal yaitu orang gila yang hilang akal dan point orang tidur.” Al-Istidzkaar 1/288.
Juga berdasarkan hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi:
أَنَّ
عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَتْ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يُغْمَى
عَلَيْهِ فَيَتْرُكَ الصَّلَاةَ فَقَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ بِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ قَضَاءٌ إِلَّا
أَنْ يُغْمَى عَلَيْهِ فِي وَقْتِ صَلَاةٍ، فَيَفِيقُ وَهُوَ فِي وَقْتِهَا
فَيُصَلِّيهَا»
Tapi hadits Aisyah ini sangat lemah bahkan bisa jadi palsu karena melalui jalur Hakam bin Abdullah bin Sa’d Al-Ayli, Yahya bin Ma’in mengatakannya ”tidak tsiqah dan tidak amanah”, An-Nasa`iy mengatakannya matruk, Al-Bukhari mengatakan, ”Mereka meninggalkannya” sehingga Ibnu ’Adi berkesimpulan, ”Kelemahan jelas pada hadits-haditsnya.”Al-Kamil oleh Ibnu ‘Adi, 2/478-483
Abu Hatim mengatakannya, ”Matrukul hadits, tidak boleh ditulis haditsnya, biasa berdusta.” Abu Zur’ah juga membuang haditsnya dan mengatakan, ”Dia dhaif, jangan meriwayatkan hadits darinya.” Al-Jarh wa At-Ta’dil oleh Ibnu Abi Hatim 3/121.
Imam Ahmad berdasarkan nukilan Abu Zur’ah mengatakan hadits-haditsnya palsu. Mausu’atu Aqwal Ahmad bin Hanbal fii Ar-Rijaal 1/284
Ibnu Hibban juga mengatakannya biasa meriwayatkan hadits-hadits palsu dari orang-orang yang terpercaya. Al-Majruuhiin 1/284
Aroma kepalsuan jelas dalam riwayat ini, sebab kalau riwayat ini benar ada maka para sahabat tidak akan berijtihad sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Dalil lain adalah qiyas dengan wanita haidh sebagaimana pengqiyasan madzhab Maliki atau diqiyaskan dengan orang gila sebagaimana pengqiyasan madzhab Asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm.
Pendapat ini juga didasarkan pada beberapa atsar dari sahabat:
Atsar Ibnu Umar sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dalam sunannya (no. 1861, 1862 dan 1863) dan juga diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa` no. 33 dimana Ibnu Umar pernah pingsan dan tidak mengganti shalat yang ia tinggalkan saat pingsannya itu. Akan tetapi dalam beberapa riwayat lain dinyatakan pula bahwa Ibnu Umar mengganti shalatnya dalam ukuran satu hari satu malam pingsan, sehingga riwayat dari Ibnu Umar ini belum sempurna bila dijadikan dalil bagi madzhab diatas.
Atsar Anas bin Malik sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mundzir dalam kitab Al-Awsath: Katsir bin Syihab menceritakan kepada kami di Bagdad, Muhammad bin Sa’id bin Sabiq menceritakan kepada kami, Amr yakni Ibnu Abi Qais menceritakan kepada kami, dari ’Ashim yang berkata, ”Anas bin Malik pernah pingsan dan dia tidak mengganti (mengqadha`) shalatnya.”
Tapi Atsar ini masih perlu ditinjau ulang karena belum jelas siapa ’Ashim dalam yang meriwayatkan dari Anas di sini. Bila dia ’Ashim bin Abi Nujud atau ’Ashim bin Bahdalah maka sanad ini lemah karena dia tak pernah bertemu dengan Anas bin Malik sehingga statusnya munqathi’ (terputus), tapi bila dia adalah ’Ashim Al-Ahwal maka sanadnya bagus karena dia memang mendengar dari Anas. Sedangkan Amr bin Abi Qais biasa meriwayatkan dari mereka berdua.
Pendapat para tabi’in:
1. Atsar dari Thawus yang mengatakan, ”Apabila seorang yang sakit itu pingsan lalu dia sadar maka dia tak perlu mengulang shalatnya.” Mushannaf Abdurrazzaq 2/479, no. 4154
2. Atsar Ibnu Sirin yg diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Husyaim menceritakan kepada kami, Yunus bin Ubaid mengabarkan kepada kami, dari Ibnu Sirin bahwa dia pernah pingsan beberapa hari dan tidak mengqadha (shalat) sedikitpun. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 6657.
3. Atsar dari Adh-Dhahhak bin Muzahim bahwa dia pernah pingsan dan disampaikan kepadanya bahwa dia belum shalat ini dan itu tapi dia malah menjawab, ”Tidak ada yang luput dariku” dan dia tidak mengganti shalat-shalat tersebut.
4. Pendapat Hasan Al-Bashri yang mengatakan, ”Orang yang pingsan wajib mengganti puasa tapi tidak perlu mengganti shalat sebagaimana wanita haidh yang wajib mengganti puasa tapi tidak mengganti shalat.”
5. Pendapat ’Amir Asy-Sya’bi yang mengatakan, ”Orang yang pingsan tidak mengganti shalat, bercontoh kepada para ummahatul mukminin dimana ketika mereka haidh maka mereka tidak mengganti (shalat) mereka.”
6. Fatwa Az-Zuhri bahwa orang yang pingsan tidak mengganti shalat sebagaimana ditanyakan kepadanya oleh Ma’mar. Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyyah, op.cit.
Pendapat kedua:
Wajib Qadha baik sebentar maupun lama. Ini adalah pendapat madzhab Hanbali.[15] Ini termasuk pendapat menyendiri madzhab Hanbali dibanding madzhab lainnya sebagaimana diungkapkan oleh Al-Mardawi dalam kitab Al-Inshaf. Al-Inshaf fii Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaaf 1/390.
Dalilnya adalah qiyas dan atsar sahabat. Qiyasnya adalah mengqiyaskan orang pingsan dengan orang tidur dimana yang tidur tetap wajib mengqadha shalat yang dia tinggalkan. Juga orang yang pingsan atau koma tetap wajib mengqadha puasa yang dia tinggalkan. Lihat Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 1/240 (kitab Ash-Shalaah, bab: Al-Mawaqiit, mas`alah: Al-Mughma ‘alaih yaqdhii jamii’as shalawaat....)
Pendapat ini dibantah oleh Al-Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti’:
”Jika kita melihat segi alasan maka kita dapati bahwa yang kuat adalah pendapat yang mengatakan tidak perlu mengqadha sama sekali. Karena, mengqiyaskan ornag pingsan dengan orang tidur tidak benar. Orang tidur bisa bangun sendiri atau dibangunkan, sedangkan orang pingsan sama sekali tidak merasa. Lagi pula, tidur itu sering terjadi dan hal biasa, sehingga kalau kita katakan dia tidak perlu mengqadha maka akan banyak kewajiban yang akan gugur darinya. Beda halnya dengan pingsan yang ada orang tak pernah mengalaminya seumur hidup. Kadang ada orang jatuh dari ketinggian hingga pingsan atau terkena penyakit yang membuatnya koma.” Asy-Syarh al-Mumti’ jilid 2 hal. 17.
Sedangkan atsar setidaknya diriwayatkan dari tiga orang sahabat, yaitu Samurah bin Jundab, ’Imran bin Hushain dan Ammar bin Yasir.
Atsar Samurah dan Imran ada dalam satu paket riwayat:
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al-Mushannaf,
حَدَّثنا
حَفْصٌ، عَن التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، قَالَ: قيلَ لِعِمْرَانَ
بْنِ حُصَيْنٍ: إِنَّ سَمُرَةَ بْنَ جُنْدُبٍ يَقُولُ في الْمُغْمَى
عَلَيْهِ: يَقْضِي مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ مِثْلَهَا، فَقَالَ عِمْرَانُ:
لَيْسَ كَمَا قَالَ، يَقْضِيهِنَّ جَمِيعًا.
Juga diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mundzir dalam Al-Awsath melalui jalur Zuhair dari Sulaiman At-Taimi pula. Di sini baik Samurah maupun Imran sama-sama memandang orang pingsan wajib mengqadha shalatnya, hanya saja menurut Samurah qadhanya dilakukan sesuai waktu shalat yang ada. Misalnya kalau dia ketinggalan shalat Zuhur maka dia mengqadhanya nanti bersama shalat Zuhur yang wajib untuknya. Sedangkan Imran memandang bahwa dia harus mengerjakan semua shalat yang ketinggalan itu sekaligus tanpa menunggu kehadiran waktu shalat itu berikutnya. Wallahu a’lam.
Sanad ini bermasalah karena menurut para Ibnu Al-Madini Abu Mijlaz yang bernama asli Lahiq bin Humaid ini tidak pernah bertemu dengan Samurah bin Jundab maupun dengan Imran bin Hushain, demikian kata Ali bin Al-Madini berdasarkan riwayat Ibnu ’Asakir dalam Tarikh Ad-Dimasyq jilid 64 hal. 28 dan juga disebut oleh Ibnu Hajar dalam Tahdzib At-Tahdzib (11/172). Dengan demikian sanad ini lemah.
Sementara riwayat Ammar bin Yasir yang mendukung pendapat ini sebagaimana disinggung oleh Ibnu Qudamah dlam Al-Mughni dari riwayat Al-Atsram. Berhubung Sunan Al-Atsram tidak sampai kepada kita tapi riwayat ini dari jalur Al-Atsram masih bisa ditemukan dalam kitab Al-Ausath Ibnu Al-Mundzir. Ibnu Al-Mundzir mengatakan. Al-Awsath 4/391-392, no. 234 dan 235
حَدَّثَنَا
مُوسَى، ثنا أَبُو بَكْرٍ الْأَثْرَمُ، ثنا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللهِ،
ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ وَهُوَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ أَبِي
الْحَسَنِ الْمَخْزُومِيُّ قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ الْحَارِثِ
الْأَنْصَارِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أُمِّ سَعِيدٍ، مَوْلَاةِ عَمَّارٍ
وَكَانَتْ جَارِيَةَ عَمَّارٍ: " أَنَّهُ غُشِيَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا لَا
يُصَلِّي، ثُمَّ اسْتَفَاقَ بَعْدَ ثَلَاثٍ فَقَالَ: هَلْ صَلَّيْتُ ؟
فَقَالُوا: مَا صَلَّيْتَ مُنْذُ ثَلَاثٍ، فَقَالَ: أَعْطُونِي وُضُوءًا
فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى تِلْكَ الثَّلَاثَ "
Dalam riwayat sebelumnya berbunyi,
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ هَارُونَ، ثنا أَبُو مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ، ثنا مَعْنُ بْنُ عِيسَى، ثنا عَبْدُ اللهِ
بْنُ
الْحَارِثِ بْنِ فُضَيْلٍ الْخَطْمِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ لُؤْلُؤَةَ،
مَوْلَاةِ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ: " أَنَّهُ أُغْمِيَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا
فَتَرَكَ الصَّلَاةَ ثُمَّ أَفَاقَ فَدَعَا بِوُضُوءٍ فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ
ابْتَدَأَ صَلَوَاتِ الثَّلَاثِ حَتَّى فَرَغَ مِنْهَا "
Lu’lu`ah dan Ummu Sa’id mawlah Ammar kemungkinan adalah dua orang yang sama karena sumber hadits ini bermuara pada Abdullah bin Harits bin Fudhail Al-Khathmi Al-Anshari, dan saya belum menemukan biografinya. Memang ada nama Lu`lu`ah mawlah Ummu Hakam puteri Ammar bin Yasir yang disebutkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mutadrak, tapi belum ditemukan jarh maupun ta’dil terhadapnya.
Sedangkan Harits bin Fudhail sendiri meski dianggap tsiqah oleh mayoritas ulama jarh dan merupakan perawi dalam Shahih Muslim, tapi Imam Ahmad mengatakannya, “Haditsnya tidak terjaga, dalam riwayat lain dia katakan, haditsnya tidak terpuji.” Mausu’at Aqwaal Ahmad bin Hanbal fir Rijaal 1/215, no. 432
Lagi pula riwayat ini berlawanan dengan riwayat-riwayat lain dari Ammar yang mengatakan dia pingsan hanya sehari semalam sebagaimana yang akan disebutkan nanti di pendapat ketiga.
Tokoh tabi’in yang mendukung pendapat ini adalah ‘Atha`, Thawus dan Mujahid, dimana mereka mengatakan, orang yang pingsan harus mengganti shalatnya sebagaimana dia mengganti puasa Ramadhan. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 4/435, no. 6650
Pendapat ketiga:
Bila pingsannya hanya satu hari satu malam atau meninggalkan lima kali shalat maka wajib qadha, tapi bila lebih dari itu maka tidak wajib mengqadha. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi Lihat Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyyah. Op.cit. Lihat pula buku pedoman madzhab Hanafi seperti Bidayatul Mubtadi beserta syarhnya Al-Hidayah oleh Al-Marghinani 1/76, Tabyin Al-Haqa`iq syarh Kanz Ad-Daqa`iq oleh Az-Zaila’i 1/203-204.
Dalil pendapat ini adalah istihsan dan menggabung atsar-atsar yang teriwayatkan dari para sahabat.
Istihsan yang dipakai adalah bila pingsan itu sebentar maka dia diqiyaskan dengan tidur dan tidak memberatkan bila harus diqadha, sementara bila pingsan atau koma itu lama maka akan memberatkan dan dia dianalogikan dengan gila yang biasanya berlangsung lama. Orang tidur wajib qadha shalat sementara orang gila tidak wajib qadha shalat yang ditinggalkannya selama kegilaannya.
Mereka menetapkan ukuran satu hari satu malam atau lima kali shalat (ada perbedaan sedikit antara Abu Hanifah dengan Muhammad bin Hasan) berdasarkan atsar beberapa sahabat sebagai berikut:
A. Atsar Ammar bin Yasir.
Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ats-Tsauri, dari As-Suddi, Yazid menceritakan kepadaku, bahwa Ammar bin Yasir pernah kena lemparan sehingga dia pingsan dan luput shala Zuhur, Asar, Magrib, Isya. Kemudian dia sadar di tengah malam lalu dia shalat Zuhur, kemudian Asar, kemudian Magrib kemudian Isya. Mushannaf Abdurrazzaq no. 4156. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Waki’ dari Sufyan.
Tapi sanad ini bermasalah karena Yazid yang dalam satu riwayat disebut sebagai mawla Ammar itu majhul, atas dasar inilah Asy-Syafi’i melemahkan riwayat Ammar ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab Ma’rifatu As-Sunan wal Atsar jilid 2, hal. 221.
Dengan demikian tidak ada yang tsabit riwayat dari Ammar cerita tentang kepingsanannya tersebut baik riwayat Lu`lu`ah ataupun Ummu Sa’id maupun riwayat Yazid ini.
B. Atsar Ibnu Umar.
Bila Asy-Syafi’i dan Malik berpedoman pada atsar Umar yang mengatakan dia tidak sama sekali mengqadha shalat saat dia pingsan maka Hanafiyyah menybutkan riwayat dari Ibnu Umar yang muqayyad atau merinci bahwa Ibnu Umar bila pingsan selama satu hari maka dia mengqadha sedangkan kalau lebih dari itu maka dia mengqadha pada hari dia sadar saja sedangkan yang sebelumnya tidak lagi diqadha.
Berikut beberapa teks riwayat atsar Ibnu Umar yang dijadikan dalil oleh madzhab Hanafi:
- Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ats-Tsauri, dari Ibnu Abi Laila, dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar pernah pingsan selama sebulan dan dia tidak mengganti shalat-shalat yang telah dia tinggalkan tapi hanya mengganti di hari yang dia sadar. Mushannaf Abdurrazzaq no. 4153
- Ibnu
Abi Syaibah meriwayatkan, Husyaim menceritakan kepada kami, dari
Asy’ats dan Ibnu Abi Laila dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar pernah pingsan
beberapa hari lalu dia sadar kemudian mengganti shalat di hari dia sadar
itu dan tidak mengganti yang sebelumnya.
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 6648. - Muhammad bin Hasan meriwayatkan dalam kitab Al-Atsar, Abu Hanifah menceritakan kepada kami, dari Hammad, dari Ibrahim, dari Ibnu Umar RA tentang orang yang pingsan selama sehari semalam maka dia mengatakan, “Dia harus mengqadha (Shalat selama itu)”.
- Ibnu Abi Laila dhaif, Dia adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, Al-Hafizh mengatakannya, “shaduq, hafalannya sangat buruk.” (At-Taqrib 2/70, no. 6744). tapi dia dikuatkan oleh Asy’ats bin Sawwar yang juga dhaif, dengan demikian riwayat mereka bias naik menjadi hasan li ghairih. Tapi sayang dalam riwayat ini mereka menyalahi riwayat orang yang tsiqah yaitu Ayyub dan Ubaidullah dari Nafi’ yang menyatakan Ibnu Umar pingsan beberapa hari dan tidak mengqadha. Asy’ats bin Sawwar Al-Kindi, kata Al-Hafizh, “dha’if” (At-Taqrib, 1/77, no. 599).
Ad-Daraquthni meriwayatkan,
“Da’laj
menceritakan kepada kami, Hasan bin Sufyan menceritakan kepada kami,
Habban menceritakan kepada kami, Ibnu Al-Mubarak menceritakan kepada
kami, dari Sufyan, dari Ubaidullah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, bahwa
dia pernah pingsan selama sehari semalam tapi tidak mengqadha shalat.
Dari Sufyan, dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwa dia pernah pingsan sehari semalam dan tidak mengqadha.” Sunan Ad-Daraquthni, no. 1837, terbitan Darul Kutub Al-Ilmiyyah.
Selain itu Ad-Daraquthni juga meriwayatkan dari jalur Ayyub bahwa Ibnu Umar pingsan selama dua dan tiga hari tanpa mengqadha shalat yang dia tinggalkan selama itu.
Ibrahim Al-Harbi meriwayatkan dalam Gharib Al-Hadits:
“Ahmad
bin Yunus menceritakan kepada kami, Za`idah menceritakan kepada kami,
dari Ubaidullah, dari Nafi’ bahwa Abdullah (Ibnu Umar) pernah pingsan
selama sehari semalam lalu ketika dia sadar dia tidak mengqadha shalat
yang ketinggalan dan hanya melaksanakan yang di berikutnya.”
Juga ada riwayat Abdurrazzaq dari Abdullah bin Umar Al-Umari, dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar pingsan selama sehari semalam dan tidak mengqadha shalat yang ketinggalan.
Riwayat dari Ubaidullah, Ayyub dan Abdullah Al-Umari menyelisihi riwayat Ibnu Abi Laila dan Asy’ats. Ubaidullah di sini adalah Ubaidullah bin Umar bin Hafsh bin ‘Ashim bin Umar bin Khaththab Al-Umari tsiqah bahkan paling tsabat (terkuat) bila meriwayatkan dari Nafi’, sedangkan saudaranya yaitu Abdullah dhaif, lalu Ayyub di sini adalah As-Sikhtiyani tsiqah hafizh.
Dengan demikian menunjukkan kelemahan dalil yang digunakan oleh madzhab Hanafi bahwa Ibnu Umar mengqadha shalat bila pingsan satu hari satu malam.
Sedangkan riwayat Ibrahim An-Nakha’i dari Ibnu Umar jelas dhaif karena terputus dimana Ibrahim tidak pernah bertemu Ibnu Umar, ditambah lagi persoalan kredibilitas Abu Hanifah yang di mata para ulama jarh wa ta’dil dianggap dhaif haditsnya.
Tabi’in yang mendukung pendapat ini adalah Ibrahim An-Nakha’i an Al-Hakam bin Abi Utaibah sebagaimana disebutkan dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.
Tarjih
Melihat dalil-dalil yang dikemukakan maka atsar yang shahih dari para sahabat nabi hanyalah atsar Abdullah bin Umar yang justru mendukung pendapat Syafi’iyyah dan Malikiyyah dimana Ibnu Umar tidak mengqadha shalat yang ditinggalkannya karena pingsan.
Inilah yang kami anggap lebih kuat dan peng-qiyas-an orang pingsan dengan orang gila lebih dekat daripada meng-qiyas-kannya dengan orang tidur. Bahkan tidaklah aneh bila meng-qiyas-kannya dengan wanita haidh yang juga tidak wajib qadha shalat, karena baik yang pingsan maupun haidh, sama-sama berada di luar kekuasaannya. Wallahu a’lam.
Oleh Ust. Anshari Taslim
حَدَّثَنَا
دَعْلَجٌ , ثنا الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ , ثنا حَبَّانُ , ثنا ابْنُ
الْمُبَارَكِ , عَنْ سُفْيَانَ , عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ , عَنْ نَافِعٍ ,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ , «أَنَّهُ أُغْمِيَ عَلَيْهِ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَلَمْ
يَقْضِ» وَعَنْ سُفْيَانَ , عَنْ أَيُّوبَ , عَنْ نَافِعٍ , عَنِ ابْنِ
عُمَرَ «أَنَّهُ أُغْمِيَ عَلَيْهِ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَلَمْ يَقْضِ»
Dari Sufyan, dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwa dia pernah pingsan sehari semalam dan tidak mengqadha.” Sunan Ad-Daraquthni, no. 1837, terbitan Darul Kutub Al-Ilmiyyah.
Selain itu Ad-Daraquthni juga meriwayatkan dari jalur Ayyub bahwa Ibnu Umar pingsan selama dua dan tiga hari tanpa mengqadha shalat yang dia tinggalkan selama itu.
Ibrahim Al-Harbi meriwayatkan dalam Gharib Al-Hadits:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ , حَدَّثَنَا زَائِدَةُ , عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ , عَنْ
نَافِعٍ: «أُغْمِيَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ يَوْمًا وَلَيْلَةً , فَأَفَاقَ , فَلَمْ يَقْضِ مَا فَاتَهُ , وَاسْتَقْبَلَ»
Juga ada riwayat Abdurrazzaq dari Abdullah bin Umar Al-Umari, dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar pingsan selama sehari semalam dan tidak mengqadha shalat yang ketinggalan.
Riwayat dari Ubaidullah, Ayyub dan Abdullah Al-Umari menyelisihi riwayat Ibnu Abi Laila dan Asy’ats. Ubaidullah di sini adalah Ubaidullah bin Umar bin Hafsh bin ‘Ashim bin Umar bin Khaththab Al-Umari tsiqah bahkan paling tsabat (terkuat) bila meriwayatkan dari Nafi’, sedangkan saudaranya yaitu Abdullah dhaif, lalu Ayyub di sini adalah As-Sikhtiyani tsiqah hafizh.
Dengan demikian menunjukkan kelemahan dalil yang digunakan oleh madzhab Hanafi bahwa Ibnu Umar mengqadha shalat bila pingsan satu hari satu malam.
Sedangkan riwayat Ibrahim An-Nakha’i dari Ibnu Umar jelas dhaif karena terputus dimana Ibrahim tidak pernah bertemu Ibnu Umar, ditambah lagi persoalan kredibilitas Abu Hanifah yang di mata para ulama jarh wa ta’dil dianggap dhaif haditsnya.
Tabi’in yang mendukung pendapat ini adalah Ibrahim An-Nakha’i an Al-Hakam bin Abi Utaibah sebagaimana disebutkan dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.
Tarjih
Melihat dalil-dalil yang dikemukakan maka atsar yang shahih dari para sahabat nabi hanyalah atsar Abdullah bin Umar yang justru mendukung pendapat Syafi’iyyah dan Malikiyyah dimana Ibnu Umar tidak mengqadha shalat yang ditinggalkannya karena pingsan.
Inilah yang kami anggap lebih kuat dan peng-qiyas-an orang pingsan dengan orang gila lebih dekat daripada meng-qiyas-kannya dengan orang tidur. Bahkan tidaklah aneh bila meng-qiyas-kannya dengan wanita haidh yang juga tidak wajib qadha shalat, karena baik yang pingsan maupun haidh, sama-sama berada di luar kekuasaannya. Wallahu a’lam.
Kesimpulan: Orang yang pingsan atau koma tidak perlu mengqadha shalat yang dia tinggalkan selama pingsannya dan hanya melaksanakan shalat ketika dia sadar. Wallahu a’lam.
Oleh Ust. Anshari Taslim
Posting Komentar