Makna Kullu dalam Hadits Tentang Bid'ah

Makna Kullu dalam Hadits Tentang Bid'ah

Oleh: Ahmad Syahrin Thoriq 

Fikroh.com - Dalam hadits tentang perkara bid’ah para ulama berbeda pendapat tentang lafadz kata kullu yang ada dalam kalimatnya. Apakah kata kullu yang artinya adalah semua berarti semua di sini tanpa kecuali, ataukah makna semua yang bersifat umum namun tidak bermakna mutlak.

Yang jelas dalam bahasa arab kata kullu (semua) ada yang bersifat semua tanpa kecuali dan ada juga yang bersifat untuk menunjukkan sebagiannya saja. Sehingga di makna ke dua ini penggunakan kullu (semua) hanya untuk menegaskan atau menyebutkan sebagian besar dari sesuatu.

Dalam bahasa lainnya termasuk bahasa Indonesia hal ini juga digunakan. Kita ambil contoh untuk bentuk pertama : “Semua ayah adalah laki-laki”,  maka kata “semua” di sini bersifat mutlak adanya, tidak ada ayah yang berjenis kelamin perempuan. Contohnya lagi : “Semua  orang pasti pernah mengalami masa kanak-kanak” dan contoh lainnya.

Sedangkan contoh kata semua tapi tidak bersifat mutlak misalnya kalimat : “Semua orang dibuat kaget dengan kejadian tadi malam.” lafadz tersebut meskipun menggunakan kata semua orang tapi tidaklah menunjukkan semua tanpa kecuali. Ia menunjukkan sebagian atau sebagian besar orang, karena tentu ada saja orang yang tidak kaget dengan kejadian tadi malam. Dan contoh lainnya.

Nah demikian juga dengan kata kullu dalam kaidah bahasa Arab. Ada yang menunjukkan semua tanpa kecuali dan yang bermakna sebagian. Karenanya berkata al imam Ibnu Atsir rahimahullah :

موضع ‌كل، ‌الإحاطة ‌بالجميع، وقد جاء استعماله بمعنى بعض، وعليه حمل قول عثمان رضي الله عنه حين دخل عليه فقيل له: أبأمرك هذا فقال: كل ذلك أي بعضه عن أمري، وبعضه بغير أمري

“Topik dari kata kullu adalah makna yang mencakup keseluruhan. Namun demikian bisa juga bermakna sebagian. (Contohnya) makna ini diarahkan ucapan Sayyidina Utsman radhiyallahu’anhu, Ketika beliau didatangi seseorang kemudian ditanya, “Apakah ini perintahmu?” Beliau Radhiyallahu Anhu menjawab, “Kullu (sebagian) itu adalah perintahku dan sebagiannya bukan perintahku.”[1]

Al imam Fairus al Abadi rahimahullah, salah seorang pakar dalam bidang bahasa juga menjelaskan hal yang sama :

الكل...  ‌اسم ‌لجميع ‌الأجزاء، للذكر والأنثى، أو يقال: كل رجل، وكلة امرأة... وقد جاء بمعنى بعض

"Kullu adalah nama bagi semua bagian, baik bagi kata maskulin atau feminim. Ada pula yang mengatakan bagi maskulin kullu bagi feminim kullatu. … Dan ada kalanya kullu bermakna sebagian.”[2]

Jadi lafadz dalam ayat al Qur’an dan hadits yang menggunakan kata kullu itu memiliki dua kemungkinan makna, yang pertama kullu yang bermakna semua mutak tanpa kecuali dan yang kedua kullu yang berarti sebagian saja.

𝗖𝗼𝗻𝘁𝗼𝗵 K𝘂𝗹𝗹𝘂 P𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 Yang Bermakna S𝗲𝗺𝘂𝗮


Firman Allah ta’ala dalam surah al Ankabut ayat 57:

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ ثُمَّ اِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ

 “𝘚𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘫𝘪𝘸𝘢 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘵𝘪𝘢𝘯, 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘒𝘢𝘮𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪𝘬𝘢𝘯.”

Ayat di atas jelas dipahami bahwa kata kullu yang digunakan artinya semua secara mutlak. Karena memang tidak akan ada makhluk yang tidak bertemu dengan kematian, semua pasti masti. Orang kaya mati, orang miskin mati, raja-raja mati orang biasa mati …

Firman Allah ta’ala dalam surah al Baqarah ayat 20 :

إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

 “𝘚𝘦𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘴𝘦𝘨𝘢𝘭𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘶𝘢𝘴𝘢.”

Dalam ayat ini, jelas bahwa kata kullu juga berarti semua tanpa kecuali, karena memang demikianlah kekuasaan Allah yang tanpa adanya batas.

Firman Allah ta’ala dalam surah al Baqarah ayat 276 :

وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ

 “𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘶𝘬𝘢𝘪 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘬𝘶𝘧𝘶𝘳 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘨𝘦𝘭𝘪𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘰𝘴𝘢.”

Kata kullu yang digunakan di ayat ini juga menunjukkan semua tanpa kecuali, karena mustahil Allah subhanahu wata’ala akan menyukai atau meridhai bentuk kekufuran. 

𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 K𝗲𝗱𝘂𝗮: 𝗞𝘂𝗹𝗹𝘂 B𝗲𝗿𝗺𝗮𝗸𝗻𝗮 S𝗲𝗯𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻


Yang selanjutnya adalah pendapat dari mayoritas ulama yang menyatakan bahwa lafadz kata kullu dalam hadits tersebut adalah bermakna semua yang tidak mutlak alias sebagian saja.

Al imam Nawawi rahimahullah berkarkata :

وكل ‌بدعة ‌ضلالة ‌هذا ‌عام ‌مخصوص ‌والمراد ‌غالب ‌البدع قال أهل اللغة هي كل شيء عمل على غير مثال سابق قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة

 “Setiap bid’ah adalah kesesatan, lafazh semua (kullu) di sini adalah lafazh umum yang bermaksud khusus, yaitu maksudnya sebagian besar bid’ah. Telah berkata sebagian ahli bahasa pengertian bid’ah adalah setiap perbuatan yang tidak ada contoh sebelumnya. Dan ulama telah berfatwa hukum bid’ah itu terbagi menjadi lima : Wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.”[1]

Beliau juga berkata :

وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات ‌الباطلة ‌والبدع ‌المذمومة ‌وقد ‌سبق ‌بيان ‌هذا

“Dalam hadits ini ada pengkhususan untuk hadits “semua hal baru adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat”. Maksud hadits tersebut adalah bid’ah yang bathil dan bid’ah yang tercela. Dan telah kami jelaskan masalah ini di bahasan sebelumnya...”[2]

Al imam Syaukani rahimahullah berkata :

كثير من أهل العلم من تخصيص البدعة القبيحة بما كان من الابتداع في الدين

 “Banyak dari ahli ilmu yang mengkhususkan bid’ah yang buruk adalah sesuatu dari hal baru dalam perkara agama...”[3]

Al imam Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah berkata :

والمراد بقوله كل بدعة ضلالة ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام

“Yang dimaksud dengan ucapan Nabi shalallahu’alaihi wassallam bahwa setiap bid’ah adalah sesat yaitu sesuatu yang baru yang tidak memiliki landasan dalil dari syari’at, baik dalil itu bersifat umum atau pun khusus.”[4]

Syaikh Muhammad bin Ali Asy Syafi’i berkata :

وفي هذا: أي: من سن سنة حسنة الخ ‌تخصيص قوله: كل محدثة بدعة، وكل ‌بدعة ‌ضلالة وقد تقدم انقسام البدعة إلى خمسة أقسام

 “Hadits ini :  ‘Siapa yang membuat sunnah yang baik hingga akhir lafadz...’ adalah hadits yang mentakhshis (mengkhususkan) hadits : ‘Setiap hal baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. Dan telah terdahulu penjelasan tentang bid’ah yang hukumnya terbagi menjadi lima...”[5]

𝗗𝗮𝗹𝗶𝗹𝗻𝘆𝗮


Kalangan yang menyatakan bahwa kata kullu dalam hadits bid’ah tersebut bermakna sebagian, menyandarkan pendapat mereka terhadap dalil-dalil berikut ini :

1️⃣. 𝗔𝗱𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗯𝗲𝗯𝗲𝗿𝗮𝗽𝗮 𝗵𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗸𝗵𝘂𝘀𝘂𝘀𝗸𝗮𝗻

 𝘈𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘣𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢 𝘩𝘢𝘥𝘪𝘵𝘴 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘵𝘢𝘬𝘩𝘴𝘩𝘪𝘴 (𝘮𝘦𝘯𝘨𝘬𝘩𝘶𝘴𝘶𝘴𝘬𝘢𝘯)

Hadits yang menyebutkan bahwa semua bid’ah adalah sesat ditakhshis oleh beberapa hadits diantaranya :

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

 “𝘉𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘱𝘢𝘩𝘢𝘭𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘳𝘵𝘢 𝘱𝘢𝘩𝘢𝘭𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘥𝘪𝘬𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨𝘪 𝘴𝘦𝘥𝘪𝘬𝘪𝘵𝘱𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘱𝘢𝘩𝘢𝘭𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢. 𝘋𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘫𝘦𝘭𝘦𝘬 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘪𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘥𝘰𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘰𝘴𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘥𝘪𝘬𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨𝘪 𝘴𝘦𝘥𝘪𝘬𝘪𝘵𝘱𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘥𝘰𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢.” (HR. Muslim)

Dalam Mu’jam al Washit dikatakan :

‌وكل ‌من ‌ابْتَدَأَ ‌أمرا ‌عمل ‌بِهِ ‌قوم ‌من ‌بعده ‌فَهُوَ ‌الَّذِي ‌سنه

“Setiap orang yang memulai suatu hal yang belum ada sebelumnya, kemudian diikuti oleh orang lain maka dia sudah membuat sunnah.”[6]

Dan al imam Nawawi rahimahullah menjelaskan : “𝘉𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬”, 𝘮𝘢𝘬𝘴𝘶𝘥𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘵𝘦𝘳𝘴𝘦𝘣𝘶𝘵 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘤𝘰𝘯𝘵𝘰𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘢𝘴𝘢 𝘕𝘢𝘣𝘪 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮, 𝘢𝘵𝘢𝘶𝘱𝘶𝘯 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘤𝘰𝘯𝘵𝘰𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘢𝘴𝘢 𝘕𝘢𝘣𝘪 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮 𝘯𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘭𝘪𝘬𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘪𝘭 𝘶𝘮𝘶𝘮.

𝘋𝘪 𝘴𝘪𝘴𝘪 𝘭𝘢𝘪𝘯, 𝘙𝘢𝘴𝘶𝘭𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶’𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘨𝘪𝘵𝘪𝘮𝘢𝘴𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮 𝘣𝘦𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘪𝘯𝘰𝘷𝘢𝘴𝘪 𝘢𝘮𝘢𝘭𝘪𝘢𝘩 𝘱𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘢𝘩𝘢𝘣𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘢𝘫𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘣𝘦𝘭𝘪𝘢𝘶. 𝘔𝘪𝘴𝘢𝘭𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘪𝘵𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘵𝘢 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘮𝘢’𝘮𝘶𝘮 𝘮𝘢𝘴𝘣𝘶𝘲 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘢𝘮𝘢𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘥𝘪𝘵𝘴 𝘴𝘩𝘢𝘩𝘪𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘶𝘵 𝘪𝘯𝘪: “𝘗𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘢𝘴𝘢 𝘙𝘢𝘴𝘶𝘭𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮, 𝘣𝘪𝘭𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘮𝘣𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘣𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢 𝘳𝘢𝘬𝘢𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘶𝘵𝘪 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘢𝘮𝘢𝘢𝘩, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘥𝘶𝘭𝘶 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪 𝘪𝘴𝘺𝘢𝘳𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘢𝘬𝘢𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯𝘪, 𝘴𝘦𝘩𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘫𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘳𝘢𝘬𝘢𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘥𝘢𝘩𝘶𝘭𝘶, 𝘬𝘦𝘮𝘶𝘥𝘪𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘢𝘮𝘢𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢.

𝘗𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘔𝘶’𝘢𝘥𝘻 𝘣𝘪𝘯 𝘑𝘢𝘣𝘢𝘭 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘮𝘣𝘢𝘵, 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘴𝘺𝘢𝘳𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘶𝘮𝘭𝘢𝘩 𝘳𝘢𝘬𝘢𝘢𝘵 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘭𝘢𝘬𝘴𝘢𝘯𝘢𝘬𝘢𝘯, 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘔𝘶’𝘢𝘥𝘻 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘢𝘮𝘢𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘪𝘳𝘢𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘴𝘺𝘢𝘳𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢, 𝘯𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘙𝘢𝘴𝘶𝘭𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘦𝘭𝘦𝘴𝘢𝘪 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘔𝘶’𝘢𝘥𝘻 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘳𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘳𝘢𝘬𝘢𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭 𝘪𝘵𝘶.

𝘛𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘙𝘢𝘴𝘶𝘭𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶'𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘦𝘭𝘦𝘴𝘢𝘪 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵, 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘱𝘰𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘔𝘶’𝘢𝘥𝘻 𝘣𝘪𝘯 𝘑𝘢𝘣𝘢𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘦𝘥𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢. 𝘓𝘢𝘭𝘶 𝘣𝘦𝘭𝘪𝘢𝘶 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣: “𝘔𝘶’𝘢𝘥𝘻 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯.” 𝘋𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘳𝘪𝘸𝘢𝘺𝘢𝘵 𝘔𝘶’𝘢𝘥𝘻 𝘣𝘪𝘯 𝘑𝘢𝘣𝘢𝘭, 𝘣𝘦𝘭𝘪𝘢𝘶 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶'𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘣𝘥𝘢; “𝘔𝘶’𝘢𝘥𝘻 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯. 𝘉𝘦𝘨𝘪𝘵𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘳𝘫𝘢𝘬𝘢𝘯”. (HR. Ahmad)”

𝗗𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗵𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝗹𝗮𝗶𝗻 𝗱𝗶𝗿𝗶𝘄𝗮𝘆𝗮𝘁𝗸𝗮𝗻 :

وَعَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ  رضي الله عنه قَالَ : كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ  صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَ

ةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ : أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا

𝘋𝘢𝘳𝘪 𝘙𝘪𝘧𝘢’𝘢𝘩 𝘣𝘪𝘯 𝘙𝘢𝘧𝘪’ 𝘳𝘢𝘥𝘩𝘪𝘺𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘢𝘯𝘩𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢:  “𝘚𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘕𝘢𝘣𝘪 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶'𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘢𝘭𝘭𝘢𝘮. 𝘒𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘣𝘦𝘭𝘪𝘢𝘶 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘳𝘶𝘬𝘶’, 𝘣𝘦𝘭𝘪𝘢𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢: “𝘴𝘢𝘮𝘪’𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘭𝘪𝘮𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘮𝘪𝘥𝘢𝘩”. 𝘓𝘢𝘭𝘶 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘬𝘪-𝘭𝘢𝘬𝘪 𝘥𝘪 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘬𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢: “𝘳𝘢𝘣𝘣𝘢𝘯𝘢 𝘸𝘢𝘭𝘢𝘬𝘢𝘭𝘩𝘢𝘮𝘥𝘶 𝘩𝘢𝘮𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘵𝘴𝘪𝘳𝘢𝘯 𝘵𝘩𝘢𝘺𝘺𝘪𝘣𝘢𝘯 𝘮𝘶𝘣𝘢𝘳𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘧𝘪𝘪𝘩”. 𝘚𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘭𝘦𝘴𝘢𝘪 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵, 𝘣𝘦𝘭𝘪𝘢𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢: “𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘮𝘢𝘵 𝘵𝘢𝘥𝘪?” 𝘓𝘢𝘬𝘪-𝘭𝘢𝘬𝘪 𝘪𝘵𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣: “𝘚𝘢𝘺𝘢”. 𝘉𝘦𝘭𝘪𝘢𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘣𝘥𝘢: “𝘈𝘬𝘶 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 30 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘪𝘬𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘦𝘣𝘶𝘵𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘱𝘢𝘩𝘢𝘭𝘢𝘯𝘺𝘢”. (HR. Bukhari)[7]

Dua hadits yang seolah bertentangan ini dikompromi dengan cara takhshis al-‘am alias mengkhususkan yang umum, hasilnya adalah sebuah kesimpulan, bahwa tidak setiap hal baru (bid’ah) bersifat sesat, karena Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengatakan ada hal baru (sunnah) yang bersifat baik.

Jadi, mengartikan lafazh kullu dengan “setiap” atau “sebagian” itu berdasarkan adanya dalil yang mentakhshisnya. Jika tidak, maka ia kembali kepada keumumannya seperti pada lafadz kullu yang kedua “kullu dhalalatin fi an-nar” (setiap kesesatan akan masuk neraka), lafazh kullu disini tidak ada dalil lain untuk men-takhshisnya (mengkhsusukan maksudnya) sehingga maknanya “semua” atau “setiap”.

2️⃣. 𝗥𝗲𝗮𝗹𝗶𝘁𝗮 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀𝗸𝗮𝗻 𝗮𝗱𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗽𝗲𝗺𝗯𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻

Secara realita fakta dan logika apabila mengartikan kullu dalam hadits tersebut dengan semua secara mutlak, maka akan berakibat semua hal baik bersifat keduniaan atau bersifat keagamaan, akan mendapat stempel bid’ah dan akan masuk neraka. Karena redaksi hadits jelas menegaskan : “setiap hal baru adalah bid’ah” tanpa membedakan antara masalah duniawi atau masalah agama.

Maka sudah menjadi konsekuensi logis adanya pembagian bid’ah, bahkan termasuk yang menyatakan bahwa kata kullu dalam hadits berarti semua tanpa kecuali. Pada akhirnya mereka juga mentakhsis hadits tersebut dengan hadits lain yang berbunyi : “Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini.” Yang dengan itu kemudian mereka juga membagi bid’ah atau hal baru menjadi urusan dunia dan agama.

3️⃣. 𝗦𝗮𝗵𝗮𝗯𝗮𝘁 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗯𝗲𝗿𝗮𝗽𝗮 𝗽𝗲𝗿𝗸𝗮𝗿𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗮𝗱𝗮 𝗱𝗶 𝘇𝗮𝗺𝗮𝗻 𝗡𝗮𝗯𝗶

Telah kita ketahui adanya beberapa riwayat yang menyebutkan akan hal ini, diantaranya yakni :

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ  رضي الله عنه  لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلى الْمَسْجِدِ فَإِذًا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ t: إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِيْ نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ

“𝘈𝘣𝘥𝘶𝘳𝘳𝘢𝘩𝘮𝘢𝘯 𝘣𝘪𝘯 𝘈𝘣𝘥 𝘢𝘭-𝘘𝘢𝘳𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢: “𝘚𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘪 𝘣𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘙𝘢𝘮𝘢𝘥𝘩𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘶 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘬𝘦 𝘮𝘢𝘴𝘫𝘪𝘥 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘜𝘮𝘢𝘳 𝘣𝘪𝘯 𝘢𝘭-𝘒𝘩𝘢𝘵𝘩𝘵𝘩𝘢𝘣. 𝘛𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘮𝘢𝘴𝘫𝘪𝘥 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘦𝘯𝘤𝘢𝘳-𝘱𝘦𝘯𝘤𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘦𝘬𝘪𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘭𝘰𝘮𝘱𝘰𝘬. 𝘈𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪𝘢𝘯. 𝘈𝘥𝘢 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘪𝘮𝘢𝘮 𝘣𝘦𝘣𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨. 𝘓𝘢𝘭𝘶 𝘜𝘮𝘢𝘳 𝘳𝘢𝘥𝘩𝘪𝘺𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶’𝘢𝘯𝘩𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢: “𝘈𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵, 𝘢𝘯𝘥𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘬𝘶𝘮𝘱𝘶𝘭𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘪𝘮𝘢𝘮, 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘢𝘪𝘬”.

Artinya apakah hal baru ini perkara bid’ah yang ia bertentangan dengan dalil agama sehingga dihukumi bid’ah sayyi’ah ataukah ada dalil yang selaras dengannya sehingga bisa dihukumi sebagai hal baru yang merupakan bid’ah hasanah.

Bahkan ada sebagian perkara yang sulit untuk ditentukan apakah ia murni urusan agama ataukah perkara dunia, sebut contohnya mushaf al Quran. Yang jelas Qur’an seperti yang kita pegang hari ini bukanlah Qur’an yang ada di masa Nabi dan bahkan beberapa generasi setelahnya.

Itu mengapa sayyidina Abu Bakar megeluarkan kalimat :

كيف ‌أفعل ‌شيئا ‌لم ‌يفعله ‌رسول ‌الله صلى الله عليه وسلم؟

“𝘔𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘬𝘦𝘳𝘫𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘙𝘢𝘴𝘶𝘭𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶’𝘢𝘭𝘢𝘪𝘩𝘪 𝘸𝘢𝘴𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮 ?” (HR. Bukhari)

Artinya beliau dengan ucapannya tersebut menimbang apakah hal yang akan dilakukan berupa kodifikasi Qur’an itu tidak bertentangan dengan dalil agama atau tidak. Yang mana, seharusnya kalau itu jelas cuma sarana atau urusan dunia, beliau kan tidak perlu mengucapkan kalimat seperti itu.

Inilah kemudian mengapa kita temukan adanya fakta dalam sejarah, beberapa “perkara dunia” yang sempat menjadi bahasan hangat di tengah-tengah ulama. Yang hari ini oleh sebagian orang disepelekan dengan dikatakan : “Inikan hanya alat dan sarana, koq dibid’ahkan.”

Sebelum berkomentar tanpa ilmu yang justru menunjukkan kebodohan kita, alangkah baiknya kita mau menyelami dahulu ilmu para ulama agar tidak mudah mendeskreditkan pendapat pihak lain y angberbeda dengan kita. Wallahua'lam 
____
[1] Syarah Shahih Muslim (6/154)
[2] Syarah shahih Muslim (7/104)
[3] Fath ar Rabbani (11/5689)
[4] Fath al Bari (13/254)
[5] Dalil al Falihin (2/446)
[6] Mu’jam al Washith (1/455)
[7] Syarah Shahih Muslim (6/154)

Posting Komentar untuk "Makna Kullu dalam Hadits Tentang Bid'ah"