Kisah Sahabat Nabi yang Berbicara dengan Allah Tanpa Perantara

Kisah Sahabat Nabi yang Berbicara dengan Allah Tanpa Perantara

Fikroh.com - Abdullah bin Amr bin Haram, yang lebih dikenal dengan nama Abu Jabir bin Abdullah, bukanlah sosok biasa dalam sejarah Islam. Ia adalah salah satu dari mereka yang lebih dulu meneguhkan janji suci kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa bersejarah Baiat Aqabah Kedua. Di hadapan Rasulullah, ia membaktikan sumpah setia bukan hanya dengan lisan, tetapi dengan segenap darah dan nyawa yang mengalir dalam dirinya.

Sebagai tokoh terkemuka dari Bani Salamah, salah satu kabilah dari suku Khazraj, Rasulullah pun mengangkatnya sebagai wakil bagi kaumnya. Kehormatan ini bukan sekadar simbol, melainkan tanggung jawab besar yang ia pikul dengan lapang dada. Sepulang dari baiat itu, ia kembali ke Madinah dengan semangat yang menyala, mempersembahkan seluruh jiwa dan hartanya untuk menegakkan panji Islam.

Dan ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, keberkahan seolah berpihak padanya. Abu Jabir mendapatkan kemuliaan yang tak ternilai—kesempatan untuk selalu berada di sisi manusia terbaik sepanjang masa, siang dan malam. Ia menjadi saksi dari setiap ajaran yang diucapkan, dari setiap langkah perjuangan yang ditapaki Rasulullah.

Kemudian datanglah hari yang menentukan: Perang Badar al-Kubra—pertempuran yang menjadi garis pemisah antara kebenaran dan kebatilan. Di medan itu, Abdullah bin Amr berdiri tegak, memegang senjatanya dengan keyakinan yang bulat. Ia bukan hanya hadir sebagai prajurit, tetapi sebagai seorang pejuang yang tergolong dalam barisan agung: Ahlul Badr. Sebuah gelar yang tak bisa dibeli, tak bisa diwarisi—hanya bisa diraih oleh mereka yang benar-benar mengorbankan segalanya demi Islam. Dan Abu Jabir adalah salah satunya.

Lalu tibalah hari itu—hari ketika langit Uhud menggantungkan awan duka, dan bumi Madinah bergemuruh oleh seruan jihad. Perang Uhud, pertempuran besar yang akan menguji nyali, iman, dan kesetiaan setiap jiwa yang mengaku beriman.

Abdullah bin Amr bin Haram tak pernah mundur dari medan juang. Ia kembali mengenakan perlengkapan perangnya, melangkah mantap menyongsong pertempuran, seperti seorang prajurit yang tahu persis bahwa dirinya sedang berjalan menuju takdir agung.

Namun, sebelum pasukan kaum muslimin berangkat, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan rasa takut—melainkan sebuah firasat yang menukik tajam ke dasar hatinya. Ia merasa, ini adalah pertemuan terakhirnya dengan dunia. Ada keyakinan mendalam dalam dirinya bahwa ia akan menjadi syuhada pertama di medan Uhud. Dan anehnya, firasat itu tidak membuatnya gentar. Justru cahaya kebahagiaan menyala di matanya—seakan kematian di jalan Allah adalah kemenangan sejati yang selama ini ia rindukan.

Dengan ketenangan yang langka, ia memanggil putranya—Jabir bin Abdullah, seorang pemuda yang juga sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di hadapan anaknya, Abdullah duduk dengan wibawa yang tenang namun penuh makna, lalu menyampaikan wasiat terakhirnya.

"Anakku," ucapnya dengan suara yang tegas namun lembut, "Aku merasa, aku tidak akan kembali dari pertempuran ini. Jika itu terjadi, lunasilah semua hutangku dan perlakukanlah saudara-saudaramu dengan baik. Jangan abaikan hak mereka. Jadilah engkau penjaga keluarga kita."

Jabir terdiam, hatinya bergemuruh. Tapi ia tahu, di hadapannya bukan hanya seorang ayah—melainkan seorang mujahid yang sedang berpamitan kepada dunia dengan senyuman dan keteguhan hati yang tak tergoyahkan.

Keesokan harinya, fajar belum sepenuhnya merekah saat pasukan kaum Muslimin—Anshar dan Muhajirin—bergerak menuju medan Uhud. Mereka melangkah dengan dada lapang, membawa iman yang tak tergoyahkan, menghadapi musuh yang datang dengan gelombang dendam dari kekalahan mereka di Badr. Quraisy tak sekadar ingin menang—mereka ingin membasmi Islam hingga ke akar-akarnya, menebar ketakutan ke jantung kota Madinah.

Abdullah bin Amr bin Haram termasuk di antara mereka yang ditunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengisi pos strategis: lima puluh pemanah pilihan yang dipimpin oleh Abdullah bin Zubair. Mereka mendapat amanah berat—menjaga posisi di atas bukit guna melindungi garis belakang kaum Muslimin dari serangan balik musuh. Perintah Rasulullah sangat jelas: "Tetaplah di tempatmu, baik dalam keadaan menang maupun kalah, hingga aku sendiri yang memerintahkan kalian turun."

Pertempuran pun meletus. Darah tumpah, pedang beradu, dan teriakan takbir menggema di seluruh medan. Dengan izin Allah, pasukan Muslimin berhasil memukul mundur barisan Quraisy. Musuh kocar-kacir, meninggalkan harta rampasan dan tubuh-tubuh yang tergeletak di tanah Uhud. Saat itulah godaan mulai mengusik hati sebagian pemanah yang berjaga di bukit. Melihat ghanimah berserakan, mereka tergiur. Lupa akan wasiat Rasulullah, mereka turun satu per satu, meninggalkan pos yang seharusnya tak boleh ditinggalkan.

Abdullah bin Zubair berteriak keras, mengingatkan: “Jangan tinggalkan posisi! Ingat perintah Rasulullah!” Namun suara itu tenggelam oleh nafsu dan keyakinan palsu bahwa kemenangan telah diraih. Dalam sekejap, hanya tinggal sekitar sepuluh orang, dan Abdullah bin Amr bin Haram adalah salah satu dari mereka yang memilih tetap bertahan, memegang teguh amanah Rasulullah meski badai mengancam dari segala arah.

Dan benar saja, dari sisi lain bukit, pasukan berkuda Quraisy datang mengendap—pasukan elite yang dipimpin Khalid bin Walid, sang jenderal yang belum tersentuh hidayah Islam. Mereka memanfaatkan celah yang kini terbuka lebar. Bukit pertahanan pun dikepung, dan pertempuran tak seimbang pun meletus antara sepuluh sahabat pemberani melawan pasukan berkuda terlatih.

Di sanalah, Abdullah bin Amr bin Haram berdiri tegak. Pedangnya terayun, tubuhnya menghunus keberanian. Ia tahu ini akhir perjalanannya, namun tidak sekalipun ia goyah. Ia bertempur bukan demi menang—tapi demi kebenaran, demi Rasulullah, demi agama yang telah ia jaga dengan seluruh hidupnya.

Dan akhirnya, sebagaimana firasat yang ia rasakan sejak malam sebelum keberangkatan, Abdullah bin Amr bin Haram gugur sebagai syuhada, meregang nyawa di atas bukit tempatnya berjaga, dengan tubuh bersimbah darah, namun jiwa yang terangkat mulia.

Namun kekejaman musuh belum usai. Dalam luapan dendam mereka atas kekalahan di Badr, kaum Quraisy mencincang tubuh para sahabat yang gugur. Jenazah Abdullah bin Amr bin Haram pun tak luput dari kebiadaban itu. Tubuhnya dihujani luka, wajahnya nyaris tak dikenali—namun di hadapan langit dan bumi, ia berdiri sebagai pahlawan sejati.

Subhanallah... Kisah di atas bukan sekadar lembaran sejarah, melainkan pancaran hikmah yang menembus relung hati. Ia mengajarkan kepada kita bahwa maut adalah perkara ghaib, sebuah rahasia langit yang tak satu makhluk pun mampu menjangkaunya—kecuali jika Allah Ta’ala berkehendak membuka tabirnya.

Namun lihatlah, betapa mulianya para syuhada. Mereka yang jujur dalam cintanya kepada Allah, yang menapaki jalan jihad bukan demi nama atau kehormatan dunia, melainkan demi bertemu dengan Rabb-nya. Maka tak mustahil, jika Allah bukakan kepada mereka firasat akan kematian mereka sendiri, bukan sebagai rasa takut—melainkan sebagai kabar gembira yang memantapkan langkah mereka menuju syurga.

Inilah fenomena ruhani yang menakjubkan, menjadi saksi kebenaran bahwa jiwa-jiwa pilihan itu hidup di atas kejujuran dan keikhlasan. Mereka tidak berlari dari maut, justru menyambutnya dengan dada terbuka, karena yakin bahwa syahid fi sabilillah adalah puncak kemuliaan bagi seorang hamba.

Wallahu a’lamu bish-shawab. Hanya Allah yang Maha Mengetahui segala kebenaran. Namun kisah para syuhada seperti Abdullah bin Amr bin Haram ini, cukup menjadi pelita bagi kita, bahwa hidup bukan untuk ditakuti—tetapi untuk diisi dengan iman dan perjuangan yang tulus hingga akhir.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama