Hukum Vasektomi dan Tubektomi dalam Perspektif Islam

Hukum Vasektomi dan Tubektomi dalam Perspektif Islam

Vasektomi dan tubektomi merupakan istilah medis yang merujuk pada prosedur pembedahan untuk menghambat fungsi reproduksi secara permanen, masing-masing pada pria dan wanita. Prosedur ini dilakukan dengan tujuan utama untuk mencegah kehamilan, sehingga pasangan suami istri tidak lagi dapat memiliki keturunan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana pandangan Islam terhadap tindakan medis ini? Apakah diperbolehkan, atau justru dilarang secara mutlak?

Dalam Islam, perbincangan seputar vasektomi dan tubektomi sering dikaitkan dengan konsep ‘azl—yaitu upaya menunda kehamilan melalui ejakulasi di luar vagina. Meskipun secara teknis berbeda, kesamaan tujuan antara ‘azl dan sterilisasi menjadikan keduanya relevan dalam diskursus fikih.

Dua Pendekatan Ulama dalam Menyikapi Sterilisasi

Dalam khazanah fikih Islam, para ulama memiliki pandangan yang beragam terhadap hukum vasektomi dan tubektomi. Perbedaan ini bertumpu pada landasan dalil, kaidah fikih, serta pertimbangan medis dan sosial. Secara garis besar, pendapat ulama terbagi menjadi dua: yang mengharamkan secara mutlak, dan yang membolehkan dengan syarat tertentu.

1. Pendapat yang Mengharamkan

Kelompok pertama berpandangan bahwa segala bentuk usaha untuk mencegah keturunan, termasuk sterilisasi, adalah haram. Salah satu tokoh yang menegaskan pandangan ini adalah Ibn Hazm, yang merujuk pada hadis riwayat Muslim dari Judamah binti Wahb:

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 'Azl itu adalah bentuk pembunuhan secara samar (al-wa’d al-khafiyy).'"
(HR. Muslim, Jilid 2, hal. 1065)

Menurut Ibn Hazm, hadis ini menasakh (menghapus) hadis-hadis lain yang membolehkan ‘azl, sehingga ia menganggap bahwa segala tindakan pencegahan kehamilan, termasuk vasektomi dan tubektomi, adalah tidak dibenarkan.

Selain itu, ulama seperti al-Zarkasyi juga mengharamkan sterilisasi permanen, meskipun tidak mengharamkan ‘azl. Menurutnya, suami istri boleh menunda kehamilan dalam jangka waktu tertentu, tetapi tidak dibenarkan menghilangkan fungsi reproduksi secara total. Di sini, illat (sebab hukum) yang melandasi keharaman adalah efek kemandulan permanen yang tidak dapat dibatalkan.

2. Pendapat yang Membolehkan dengan Syarat

Di sisi lain, terdapat pandangan yang lebih moderat. Beberapa ulama memperbolehkan vasektomi dan tubektomi dalam situasi darurat syar’i—yaitu keadaan yang mengancam jiwa atau menimbulkan mudharat besar jika kehamilan tetap terjadi.

Salah satu pendukung pandangan ini adalah Syekh Jad al-Haq melalui tulisannya dalam Majalah al-Tasāwur fī ’l-Islām. Ia menyatakan bahwa sterilisasi dibolehkan bila terdapat indikasi medis yang kuat—misalnya risiko penyakit genetik berat yang dapat diwariskan kepada anak, atau adanya ancaman nyata terhadap keselamatan ibu jika ia hamil kembali.

Pandangan ini sejalan dengan kaidah fikih:

الضرورات تبيح المحظورات
"Keadaan darurat dapat membolehkan hal-hal yang pada asalnya dilarang."

Namun, konsep darurat dalam hal ini tidak bersifat umum dan bebas, melainkan harus memenuhi kriteria ketat, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah:

  • Terdapat ancaman serius terhadap nyawa atau anggota tubuh.
  • Tidak ada solusi alternatif yang lebih ringan.
  • Tindakan harus proporsional, tidak melebihi kebutuhan.

Rekanalisasi dan Dampaknya terhadap Hukum

Kemajuan teknologi kedokteran telah membuka kemungkinan baru: vasektomi dan tubektomi kini dapat direkanalisasi, yaitu dikembalikan fungsinya melalui prosedur medis lanjutan. Hal ini mengubah persepsi hukum, sebab status permanen yang menjadi alasan utama keharaman menjadi tidak lagi absolut.

Sayyid Sabiq, dalam Fiqh as-Sunnah Jilid 7, menyebut bahwa sterilisasi dapat diqiyaskan kepada ‘azl bila sifatnya tidak permanen. Pandangan ini pula yang mendasari perubahan sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pada tahun 2012, MUI menyatakan bahwa vasektomi dan tubektomi boleh dilakukan, dengan sejumlah syarat ketat:

  1. Tidak bertentangan dengan syariat Islam.
  2. Tidak menyebabkan kemandulan permanen.
  3. Ada jaminan medis untuk rekanalisasi.
  4. Tidak menimbulkan mudharat pada pasien.
  5. Bukan bagian dari program kontrasepsi permanen massal.

Penutup

Dengan memperhatikan berbagai pendapat ulama dan pendekatan fikih, dapat disimpulkan bahwa hukum vasektomi dan tubektomi dalam Islam bukanlah mutlak haram atau mutlak halal. Terdapat ruang fleksibilitas yang bergantung pada niat, kondisi medis, sifat permanennya tindakan, serta pertimbangan maslahat dan mafsadat.

Islam sebagai agama rahmat memberikan keleluasaan dalam batas-batas tertentu ketika nyawa atau keselamatan umat dipertaruhkan. Oleh karena itu, dalam kasus vasektomi dan tubektomi, keputusan akhir harus mempertimbangkan unsur ilmu medis, bimbingan ulama, serta niat dan tanggung jawab moral pasangan yang bersangkutan.

Semoga tulisan ini memberi wawasan dan kehati-hatian dalam menyikapi isu-isu medis yang bersinggungan dengan syariat Islam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama