Menjawab Syubhat, Apakah Ibnu Katsir Seorang Asy'ari?

Menjawab Syubhat, Apakah Ibnu Katsir Seorang Asy'ari?

Oleh : Muhammad Atim

Fikroh.com - Sebagaimana telah dijelaskan bahwa untuk menentukan seorang ulama sebagai Asy'ari, harus dipastikan dahulu ulama tersebut menggunakan metode kalam, dari metode kalam itu kemudian memastikan makna zhahir dari (sebagian) nash sifat Allah mengandung tasybih lalu menta'wil atau mentafwidh.

Menilai imam Ibnu Katsir bermadzhab atau berakidah Asy'ari tentu terhitung aneh karena beliau tidak pernah menggunakan metode kalam dalam pemaparan aqidahnya, lalu menjadikannya sebagai landasan untuk menta'wil atau mentadwidh. Beliau justru menyatakan diri berpegang kepada aqidah Salaf. Apalagi beliau murid dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, banyak nukilan darinya di dalam tafsirnya, sangat mencintai dan membelanya.

Ibnu Hajar Al-'Asqalani menyebut tentang biografi beliau:

ولازم الْمزي وَقَرَأَ عَلَيْهِ تَهْذِيب الْكَمَال وصاهره على ابْنَته وَأخذ عَن ابْن تَيْمِية ففتن بحبه وامتحن لسببه وَكَانَ كثير الاستحضار حسن المفاكهة سَارَتْ تصانيفه فِي الْبِلَاد فِي حَيَاته وانتفع بهَا النَّاس بعد وَفَاته

"Beliau bermulazamah (membersamai) Al-Mizzi dan membacakan kepadanya Tahdzib Al-Kamal dan menjadi menantunya dengan menikahi putrinya. Beliau mengambil ilmu dari Ibnu Taimiyyah, maka beliau terkena "fitnah" dengan mencintainya dan diuji oleh sebabnya. Beliau banyak mengingat-ngingat (ilmu), bagus dalam becanda. Karya-karyanya bertebaran di berbagai negeri saat beliau masih hidup, dan orang-orang mendapat manfaat dengannya setelah wafatnya." (Ad-Durad Al-Kaminah, Ibnu Hajar Al-'Asqalani, 1/445).

Dan ini menunjukkan bahwa aqidah Salaf yang dipegangnya adalah sebagaimana diajarkan oleh gurunya, yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yaitu menetapkan makna zhahirnya, membiarkan sebagaimana dikandung oleh nash (imrar), tanpa melazimkan adanya tasybih.

Dan itu dapat kita lihat dengan jelas dalam pernyataan di dalam tafsirnya. Misalnya ketika beliau menafsirkan tentang sifat istiwa Allah di atas arsy beliau mengatakan:

وَأَمَّا قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ﴾ فَلِلنَّاسِ فِي هَذَا الْمَقَامِ مَقَالَاتٌ كَثِيرَةٌ جِدًّا، لَيْسَ هَذَا مَوْضِعَ بَسْطِهَا، وَإِنَّمَا يُسلك فِي هَذَا الْمَقَامِ مَذْهَبُ السَّلَفِ الصَّالِحِ: مَالِكٌ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، والثوري، وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ وَغَيْرُهُمْ، مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ قَدِيمًا وَحَدِيثًا، وَهُوَ إِمْرَارُهَا كَمَا جَاءَتْ مِنْ غَيْرِ تَكْيِيفٍ وَلَا تَشْبِيهٍ وَلَا تَعْطِيلٍ. وَالظَّاهِرُ الْمُتَبَادَرُ إِلَى أَذْهَانِ الْمُشَبِّهِينَ مَنْفِيٌّ عَنِ اللَّهِ، فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُشْبِهُهُ شَيْءٌ مِنْ خَلْقِهِ، وَ ﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ﴾ [الشُّورَى:١١] بَلِ الْأَمْرُ كَمَا قَالَ الْأَئِمَّةُ -مِنْهُمْ نُعَيْم بْنُ حَمَّادٍ الْخُزَاعِيُّ شَيْخُ الْبُخَارِيِّ -: "مَنْ شَبَّهَ اللَّهَ بِخَلْقِهِ فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ جَحَدَ مَا وَصَفَ اللَّهُ بِهِ نَفْسَهُ فَقَدْ كَفَرَ". وَلَيْسَ فِيمَا وَصَفَ اللَّهُ بِهِ نَفْسَهُ وَلَا رَسُولَهُ تَشْبِيهٌ، فَمَنْ أَثْبَتَ لِلَّهِ تَعَالَى مَا وَرَدَتْ بِهِ الْآيَاتُ الصَّرِيحَةُ وَالْأَخْبَارُ الصَّحِيحَةُ، عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَلِيقُ بِجَلَالِ اللَّهِ تَعَالَى، وَنَفَى عَنِ اللَّهِ تَعَالَى النَّقَائِصَ، فَقَدْ سَلَكَ سَبِيلَ الْهُدَى.

"Dan adapun firman-Nya, "Kemudian Dia bersemayam di atas arsy". Dalam konteks ini orang-orang memiliki perkataan yang sangat banyak, bukan di sini tempat untuk menjabarkannya. Hanya saja hendaklah ditempuh dalam konteks ini madzhab Salaf Ash-Shaleh, yaitu Malik, Al-Auza'i, Ats-Tsauri, Laits bin Sa'ad, Asy-Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rohawaih, dan selain mereka dari para imam kaum muslimin, baik dahulu maupun sekarang, yaitu membiarkannya sebagaimana datangnya, tanpa mentakyif, mentasybih, dan menta'thil. Zhahir yang nampak pada pikiran para musyabbih (orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk) dinafikan dari Allah, karena Allah tidak ada yang menyerupai-Nya sesuatupun dari makhluk-Nya, "Tidak ada yang semisal dengan-Nya sesuatupun, dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat." (QS. Asy-Syura : 11). Tetapi perkaranya sebagaimana dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu'aim bin Hammad Al-Khuza'i, guru Al-Bukhari, "Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya maka sungguh dia telah kafir, dan siapa yang menentang apa yang Allah sifatkan untuk diri-Nya maka sungguh ia telah kafir". Dan sama sekali tidak ada tasybih (penyerupaan) pada apa yang Allah sifatkan untuk diri-Nya dan juga oleh rasul-Nya. Siapa yang menetapkan untuk Allah ta'ala apa yang terdapat di dalam ayat-ayat yang jelas dan hadits-hadits yang shahih dengan bentuk yang layak dengan kemuliaan Allah ta'ala, dan menafikan dari Allah kekurangan-kekurangan, maka sungguh ia telah menempuh jalan petunjuk." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/383).

Perhatikan pernyataan Ibnu Katsir di atas, dengan tegas beliau memilih madzhab Salaf dalam aqidah, dan tentu saja Salaf tidak menggunakan metode kalam. Juga menegaskan bahwa apa yang disifatkan oleh Allah dan rasul-Nya terhadap diri-Nya, sama sekali tidak mengandung tasybih. Ini berbeda dengan para ahli kalam termasuk madzhab Asy'ari yang menganggap bahwa nash-nash sebagian sifat itu berkonsekwensi adanya tasybih sehingga harus ditakwil atau ditafwidh dengan versi mereka. Dan beliau mengatakan bahwa anggapan tasybih itu hanya ada di pikiran musyabbih yang mesti dihilangkan, bukan pada makna yang ditunjuki oleh nash. Dan caranya dengan menghilangkan anggapan tersebut dari pikiran, bukan dengan menolak petunjuk nash yang jelas.

Di tempat-tempat yang lain pun di dalam tafsirnya beliau senantiasa mengajak berpegang kepada aqidah Salaf. Misalnya setelah menafsirkan ayat kursi, yang di dalamnya terdapat sifat Allah Maha Tinggi, Maha Besar, beliau berkata :

وَهَذِهِ الْآيَاتُ وَمَا فِي مَعْنَاهَا مِنَ الْأَحَادِيثِ الصِّحَاحِ الْأَجْوَدُ فِيهَا طَرِيقَةُ السَّلَفِ الصَالِحٍ إِمْرَارُهَا كَمَا جَاءَتْ مِنْ غَيْرِ تَكْيِيفٍ وَلَا تَشْبِيهٍ.

"Ayat-ayat ini dan yang semakna dengannya dari hadits-hadits yang shahih, yang terbaik adalah metode Salafush Shaleh, yaitu membiarkannya sebagaimana datangnya, tanpa penentuan bagaimananya dan menyerupakannya." (Tafsir Ibnu Katsir, 1/521).

Bahkan beliau mengecam keras ta'wil, dan menyebutnya sebagai merubah-rubah perkataan dari yang semestinya, diantaranya menta'wilkan istiwa dengan istawla (menguasai), dimana ini menjadi pegangan bagi kalangan Asy'ariyyah.

Beliau menjelaskan:

وهذا البيت تستدل به الجهمية على أن الاستواء على العرش بمعنى الاستيلاء، وهذا من تحريف الكلم عن مواضعه، وليس في بيت هذا النصراني حجة ولا دليل على ذلك، ولا أراد الله عز وجل باستوائه على عرشه استيلاءه عليه، تعالى الله عن قول الجهمية علوا كبيرا

"Bait ini dijadikan dalil oleh Jahmiyyah bahwa istiwa di atas arsy adalah bermakna istila (menguasai). Ini merupakan pengubahan (tahrif) terhadap perkataan dari yang semestinya. Dalam bait seorang nashrani ini sama sekali tidak ada hujjah dan tidak ada dalil di dalamnya. Dan Allah tidak memaksudkan istiwa-Nya di atas arsy-Nya adalah istawla terhadapnya. Maha Tinggi Allah dari perkataan Jahmiyyah, dengan ketinggian yang besar." (Al-Bidayah wan Nihayah, 9/262).

Adapun soal perkataannya yang berbicara dengan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah :

أَنْت تكرهني لأنني أشعري فَقَالَ لَهُ لَو كَانَ من رَأسك إِلَى قدمك شعر مَا صدقك النَّاس فِي قَوْلك أَنَّك أشعري وشيخك ابْن تَيْمِية

"Ia (Ibnu Katsir) berkata, "Kamu membenciku karena aku seorang Asy'ari? Maka ia (Ibnul Qayyim) berkata, " Kalaulah dari kepalamu hingga kakimu penuh dengan rambut, niscaya orang-orang tidak percaya pada perkataanmu bahwa kamu seorang Asy'ari, sedangkan gurumu adalah Ibnu Taimiyyah." (Ad-Durar Al-Kaminah, 1/65).

Justru ini menguatkan ketidak-asy'ariyahan beliau, karena Ibnul Qayyim tidak percaya dengan hal itu dan orang-orang tidak akan percaya dengan hal itu, karena jelas beliau murid Ibnu Taimiyyah dan mengikuti aqidahnya.

Dan dalam perkataan Ibnu Katsir tersebut juga kita bisa menangkap bahwa beliau sedang becanda, buktinya Ibnul Qayyim "memplesetkan" makna asy'ari menjadi memiliki banyak rambut (sya'run), bukan dalam makna bermadzhab Asy'ari dalam aqidah secara hakikat. Karena tidak sesuai dengan fakta aqidah yang beliau uraikan di atas. Dan ini juga selaras dengan penyifatan Ibnu Hajar bahwa Ibnu Katsir adalah seorang yang hasan al-mufakahah (bagus dalam becanda).

Dan bisa juga berkemungkinan bahwa penisbatan Asy'ari itu dengan melihat kepada fase akhir dari pendirian Abul Hasan Al-Asy'ari yang rujuk kepada aqidah Salaf dan mengikuti imam Ahmad, imam Ahlis Sunnah, sebagai fase ketiga/akhir dari kehidupannya, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya; Thabaqat Asy-Syafi'iyyin, hal. 210.

Adapun soal beliau mengajar di Dar Al-Hadits Al-Asyrofiyyah, yang disyaratkan oleh pewakafnya agar pengajarnya bermadzhab Asy'ari, syarat tersebut tidaklah merupakan kemestian, karena sebelum beliau juga ada ulama yang mengajar di sana yang tidak bermadzhab Asy'ari seperti Al-Hafzih Al-Mizzi dan Abu Amr Ibnu Shalah.

Bahkan kita juga akan menjumpai pengingkaran yang tegas dari yang benar-benar mendalami dan menganut madzhab Asy'ari kepada yang mengelompokkan Ibnu Katsir sebagai Asy'ari. Karena bagi mereka jelas, Ibnu Katsir akidahnya sama dengan Ibnu Taimiyyah. Yang tiada lain, sebenarnya, ia merupakan aqidah Salaf. Wallahul Muwaffiq.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama