Oleh: Bana Fatahillah
Salah satu scene kisah Nabi Musa adalah pertemuannya dengan dua anak perempuan Nabi Syu’aib. Ibnu Katsir menukil pendapat mayoritas mufassir yang menyepakati bahwa ayah perempuan itu adalah nabi yang diutus di Negri Madyan, yaitu Nabi Syu’aib. Kisah mereka direkam jelas dalam Surat Al-Qashas.
Ringkasnya, ketika sampai di sumber air negeri Madyan, Nabi Musa menjumpai sekumpulan orang yang sedang memberi minum ternaknya. Di belakang Kerumunan itu ia menjumpai dua orang perempuan sedang “menghalau” (tadzūdān) ternaknya dari sumber air.
Nabi Musa pun bergegas untuk bertanya, “Apa maksudmu (berbuat begitu)?” Kedua (perempuan) itu menjawab, “Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami) sebelum para penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usia.” (lihat Qs. Al-Qashas: 23)
Lafadznya yang sedikit namun sarat akan makna. Begitulah pesan dalam Al-Quran. Meski hanya satu ayat, namun sejumlah manfaat dapat dipetik dan dijadikan pelajaran.
Pertama, bolehnya seorang perempuan bekerja. Mereka berdua, dalam bahasa hari ini, adalah perempuan karir. Ini membuktikan bahwa Islam tidak menutup gerak perempuan dalam sejumlah sektor, atau mendiskriminasikannya atas laki-laki. Hal ini pun bisa dilihat dari sejumlah shahabiyyat seperti sosok Asma binti Abu Bakar, yang turut bekerja membantu suaminya Zubair bin Awwam.
Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, hukum asal wanita bekerja adalah boleh (jāiz). Bahkan dalam beberapa “keadaan” ia bisa menjadi sangat dianjurkan dan wajib. Seperti perempuan yang harus menafkahi keluarga karena ditinggal suaminya, atau anak yang harus membantu orangtuanya yang sakit, sebagaimana dalam kisah perempuan Nabi Syua’ib di di atas. (lihat https://www.al-qaradawi.net/node/3601 )
Namun pembolehan ini pun tidak secara mutlak. Inilah poin keduanya, di mana pekerjaan perempuan –sebaiknya—dilakukan dalam “keadaan” tertentu. Hal ini bisa ditelaah dari putri Nabi Syua’ib yang bekerja karena ayahnya yang sudah tidak kuat untuk menggembalakan ternaknya (wa abūna Syaikhun kabīr).
Dalam konteks hari ini “keadaan” diperkenankannya perempuan bekerja sangat beragam. Di antaranya saat seorang istri ditinggal suaminya, keinginan membantu nafkah keluarganya, membantu orangtuanya yang sakit, atau memang keadaan perempuan yang gemar bekerja, dengan syarat mendaapt izin dari walinya)
Selain karena kapabilitas seorang perempuan, akseptabilitasnya juga berpengaruh. Dalam arti dunia kerja hari ini sangat mensyaratkan pekerjanya dari perempuan. Mereka lebih diterima karena ketekunan, keuletan dan loyalitas yang ditujukan. Kalian bisa menyaksikan ini dalam sejumlah bisnis hari ini seperti pakaian dan rumah makan yang diprakarsai dan dikelola oleh para perempuan.
Namun, sebagaimna yang saya garisbawahi di atas, adalah keadaan “sebaiknya” perempuan dalam bekerja di luar Rumah. Yaitu dalam keadaan tertentu saja.
Bukan hendak menutup ruang gerak perempuan. Sebab, sebagaimana disampaikan Al-Qaradhawi juga banyak tokoh, tugas utama seorang perempuan adalah mendidik “generasi” (tarbiyat al-Ajyāl). Ini karena fitrah yang diberikan oleh Allah kepada mereka, baik secara jiwa maupun raganya. Siapapun, kata Al-Qaradhawi akan sepakat dengan statement ini. karenanya pendidikan pertamanya itu dimulai dari rumah dan keluarga.
Hal lainnya, karena memang kewajiban memberikan rezeki dalam Islam dibebankan pada laki-laki. (lihat Qs. Al-Baqarah 233 & Al-Thalaq: 6). Kewajiban ini tidak gugur sekalipun penghasilan istri lebih besar atau pangkatnya lebih tinggi. Ketika sudah menjadi suami, kewajiban menafkahi melekat pada dirinya.
Terkait ini ada sebuah kisah nyata dari Negri Jiran. Sepasang suami istri yang merupakan professor di Universitas. Suatu hari, karena menginjak umurnya yang semakin tua, sang istri berkata pada suaminya hendak pensiun dan menyudahi pekerjaannya. Suami pun berkata pada istrinya yang kira-kira intinya, “itulah enaknya kamu jadi perempuan, bisa ngomong demikian. Sebagai laki-laki aku tidak bisa berkata begitu”.
Poin ketiga, masih terkait bolehnya seorang perempuan bekarir, ialah soal menjaga adab dalam pekerjaannya. Hal ini bisa dilihat saat kedua perempuan itu enggan masuk dalam kerumunan orang yang mengambil air. Selain menunjukan sifat perempuan yang lemah, ini juga bentuk menjaga kemuliaannya. Hal yang sama bisa dilihat dari ayat setelahnya, ketika salah satu dari mereka berjalan dengan “malu” di hadapan Nabi Musa. Ini semua menunjukan pentingnya adab seorang perempuan dalam bekerja
Seorang perempuan haruslah menjaga adab dan izzah nya, dari cara jalan, berpakaian hingga perkataan. Al-Quran mengingatkan “…janganlah kamu merendahkan suara (dengan lemah lembut yang dibuat-buat) sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik” (Qs. Al-Ahzab: 32). Kata Syekh Thantawi, maksud “merendahkan suara” adalah jangan berbicara dengan “gemulai” (layyinah mutakassirah) yang membangkitkan nafsu lelaki.
Selain adab ia juga harus memperhatikan pekerjaannya. Jangan sampai masuk dalam pekerjaan yang dilarang dalam agama. Al-Qardhawi menambahkan, jangan sampai pekerjaannya itu bertabrtakan dengan kewjajibannya yang lebih utama, seperti kewajiban pada suami dan anaknya, sebab itulah kewajiban utama seorang istri.
Poin keempat yang bisa diambil dari ayat ini, adalah soal “muru’ah” (kepantasan) perempuan dalam bekerja. Mungkin terbesit sebuah pertanyaan, apakah pantas seorang Nabi memerintahkan anak perempuannya untuk mengerjakan ini. Atau lugasnya, pantaskah seorang perempuan bekerja, seperti menggembala, sebab di sana ada sejumlah lingkungan yang sangat menjaga kemuliaan seorang perempuan hingga tidak memperkenankannya untuk bekerja.
Menjawab hal ini Imam Al-Qurtubi berkata: “adapun muruah (kepantasan) maka manusia berbeda-beda dalam hal tersebut, tradisi pun menjadi pertimbangan akan ini, keadaan Arab juga berbeda dengan keadaan orang di luar Arab (‘ajam), pandangan orang desa pun berbeda dengan orang di perkotaan (ahl al-Hadhar), khususnya jika dalam keadaan terdesak. (https://surahquran.com/aya-tafsir-23-28.html#qurtubi )
Ini adalah pendapat yang sangat adil. Sebab realita hari ini pun berkata demikian. Dalam konteks Indonesia kita hampir tidak bisa menolak peran perempuan dalam berbagai sektornya. Di pedesaan kita melihat sejumlah petani, pedagang di pasar, pelayan rumah makan adalah perempuan. Ini semua jika dikomparasikan dengan daerah lain, Tarim misalnya, tentu akan berbeda cerita. Lagi-lagi sebagaimana pendapat Imam Al-Qurthubi, harus menyesuaikan tempat yang ada.
Alhasil, pekerjaan bagi wanita bukanlah hal yang terlarang dalam Islam. Namun, sebagaimana yang diingatkan oleh Al-Qaradhawi, harus mengikuti syarat dan menjaga adab-adab dalam bekerja. Hal ini bukan berarti laki-laki bisa seenaknya dalam bekerja. Mereka pun turut harus menjaga adabnya. Wallahu a’lam bi al-Shawab.