Sumud: Falsafah Perlawanan Tanpa Senjata dalam Perjuangan Palestina

Sumud: Falsafah Perlawanan Tanpa Senjata dalam Perjuangan Palestina

Pendahuluan

Dalam sejarah panjang konflik Palestina, istilah sumud (صمود) memiliki kedudukan yang istimewa. Kata ini berarti ketabahan, keteguhan, atau ketegaran. Namun, bagi rakyat Palestina, sumud bukan sekadar kata biasa, melainkan falsafah hidup sekaligus strategi perjuangan yang diwariskan lintas generasi.

Di tengah pendudukan, blokade, dan ancaman pengusiran, rakyat Palestina meneguhkan diri untuk tidak pergi. Mereka memilih bertahan di tanah kelahiran mereka, tetap menanam, tetap mendidik, tetap beribadah, dan tetap merawat identitas. Inilah hakikat sumud: bertahan dengan martabat meski dalam penderitaan.

1. Latar Belakang Munculnya Sumud

Konsep sumud mulai menguat setelah Perang Enam Hari tahun 1967, ketika Israel menduduki Tepi Barat, Gaza, Yerusalem Timur, dan Dataran Tinggi Golan. Ribuan rakyat Palestina kehilangan tanah dan rumah. Banyak yang menjadi pengungsi di negara tetangga, namun sebagian lain memilih untuk tetap tinggal meski dalam kondisi terjepit.

Pada saat itulah lahir gagasan sumud, yaitu strategi non-kekerasan yang menekankan keberadaan fisik dan sosial rakyat Palestina di tanah air mereka sendiri. Dengan kata lain, kehadiran rakyat Palestina di tanahnya adalah bentuk perlawanan itu sendiri.

2. Makna Filosofis Sumud

Sumud adalah perlawanan diam, tetapi penuh makna. Jika perlawanan bersenjata sering kali menimbulkan korban besar, maka sumud berusaha menciptakan ketahanan jangka panjang. Filosofi ini menyatakan:

  • Tidak menyerah pada pendudukan.
  • Tidak meninggalkan rumah dan tanah meski digusur berulang kali.
  • Tidak berhenti mendidik generasi baru meski sekolah ditutup.
  • Tidak menghapus identitas budaya meski ada upaya penyeragaman.

Dengan demikian, sumud menjadi perlawanan eksistensial—selama rakyat Palestina masih ada di tanahnya, maka identitas nasional tidak akan hilang.

3. Bentuk-Bentuk Praktik Sumud

  1. Keteguhan di Tanah Pertanian
    Petani Palestina tetap menanam zaitun, gandum, atau sayuran di lahan mereka meski berulang kali digusur atau dihancurkan. Pohon zaitun bahkan menjadi simbol sumud karena usianya panjang dan tetap tumbuh meski ditebang atau dibakar.

  2. Keteguhan dalam Pendidikan
    Guru dan murid Palestina tetap belajar di ruang-ruang darurat, bahkan di bawah tenda, ketika sekolah resmi dihancurkan atau ditutup. Pendidikan menjadi senjata untuk menjaga kesadaran nasional.

  3. Keteguhan Budaya dan Identitas
    Lagu, tarian tradisional (dabke), puisi, dan seni rupa dijadikan alat melawan lupa. Penyair Palestina terkenal, Mahmoud Darwish, sering menulis tentang sumud sebagai roh perlawanan yang abadi.

  4. Keteguhan Sosial dan Ekonomi
    Meski menghadapi blokade, keluarga Palestina berusaha mandiri melalui usaha kecil, koperasi, atau memanfaatkan jaringan diaspora. Hal ini bukan sekadar bertahan hidup, tetapi juga menolak tunduk pada ketergantungan total.

4. Sumud sebagai Strategi Politik

Pada dekade 1970–1980-an, sumud diadopsi sebagai strategi resmi dalam perjuangan nasional Palestina. Banyak organisasi sipil dan politik mendorong konsep ini untuk melawan upaya Israel mengosongkan wilayah Palestina dari penduduk aslinya.

Organisasi seperti Palestine Liberation Organization (PLO) dan lembaga-lembaga sosial lainnya menggalang dukungan internasional agar rakyat Palestina yang bertahan di tanah air mendapat bantuan ekonomi dan moral.

5. Perspektif Tokoh dan Intelektual

Beberapa tokoh menekankan pentingnya sumud:

  • Edward Said, intelektual Palestina, menyebut sumud sebagai “senjata keberadaan”. Menurutnya, keberadaan rakyat Palestina di tanah air mereka adalah tantangan terbesar bagi narasi penjajah.
  • Mahmoud Darwish, penyair nasional Palestina, menulis: “Berdirilah teguh di tanahmu, karena tanah ini adalah identitasmu.”
  • Ulama dan pemimpin spiritual Palestina juga sering mengaitkan sumud dengan konsep kesabaran (sabr) dalam Islam, yang menekankan keteguhan hati dalam menghadapi cobaan.

6. Sumud dan Perlawanan Generasi Muda

Generasi muda Palestina mewarisi konsep sumud dari orang tua mereka. Mereka lahir dalam situasi pendudukan, namun tetap bersekolah, berkarya, dan berjuang di ruang sosial digital. Media sosial kini menjadi ruang baru sumud, di mana anak-anak muda Palestina mengabarkan realitas kehidupan mereka kepada dunia.

Contoh nyata adalah aksi dokumentasi kehidupan di Gaza dan Tepi Barat melalui foto, video, dan tulisan. Hal ini menunjukkan bahwa sumud tidak hanya fisik, tetapi juga digital—sumud informasi.

7. Simbolisme Sumud

Selain pohon zaitun, sumud juga sering digambarkan dalam bentuk:

  • Kunci rumah → melambangkan hak kembali ke tanah air.
  • Keffiyeh (sorban khas Palestina) → simbol keteguhan identitas.
  • Rumah sederhana di kamp pengungsi → meski penuh keterbatasan, menjadi benteng identitas Palestina.

Simbol-simbol ini terus dipertahankan dalam budaya populer Palestina maupun dalam demonstrasi solidaritas di berbagai negara.

8. Relevansi Sumud di Dunia Global

Konsep sumud tidak hanya relevan bagi Palestina, tetapi juga menjadi inspirasi bagi bangsa-bangsa lain yang tertindas. Keteguhan untuk bertahan di tanah sendiri, menjaga bahasa, budaya, dan martabat, adalah bentuk perlawanan universal terhadap kolonialisme dan penindasan.

Banyak aktivis internasional yang mengadopsi istilah ini sebagai simbol perjuangan tanpa senjata, namun tetap kuat secara moral dan politik.

Relawan Indonesia Bergabung dalam Misi Kemanusiaan Global

Relawan Nusantara bersama ratusan pegiat kemanusiaan menghadiri prosesi “Flag Off Indonesia Global Peace Convoy 2025”, yaitu pelepasan resmi delegasi Indonesia yang akan bergabung dengan Global Sumud Flotilla, sebuah gerakan kemanusiaan internasional yang berlayar untuk menembus blokade Zionis Israel di Gaza.

Acara yang berlangsung di Gedung Granadi, Kuningan, Jakarta Selatan ini dihadiri berbagai tokoh nasional, aktivis, hingga figur publik, di antaranya KH. Bachtiar Nasir, Husein Gaza, Ari Untung, Ikang Fawzi, dan Asma Nadia. Momentum pelepasan ini menjadi langkah bersejarah bagi Indonesia yang mengirimkan puluhan relawan guna membawa bantuan sekaligus menyampaikan pesan solidaritas kemanusiaan untuk Palestina.

Sebanyak 20 relawan Indonesia dari beragam latar belakang profesi—mulai dari jurnalis, tenaga medis, aktivis kemanusiaan, pertahanan sipil, hingga influencer—akan bergabung bersama ratusan relawan lainnya dari sekitar 50 negara. Indonesia juga menyiapkan delapan kapal, jumlah terbanyak kedua setelah Malaysia, sebagai wujud nyata kontribusi dalam aksi kemanusiaan global ini.

Kesimpulan

Sumud adalah roh perjuangan Palestina. Ia bukan sekadar bertahan hidup, tetapi juga meneguhkan eksistensi bangsa. Dari petani yang tetap menanam zaitun, murid yang belajar di bawah tenda, hingga generasi muda yang bersuara di dunia digital—semuanya adalah wujud sumud.

Bagi rakyat Palestina, sumud adalah bukti bahwa pendudukan tidak akan pernah bisa menghapus identitas. Selama ada sumud, selama itu pula Palestina tetap hidup dalam sejarah, budaya, dan harapan.

Posting Komentar untuk "Sumud: Falsafah Perlawanan Tanpa Senjata dalam Perjuangan Palestina"